Sabtu, 19 Maret 2011

3 KOTA 1 ANTOLOGI 1001 MAKNA

Hary Soedarto Harjono*

Berkumpul bersama adalah permulaan, tetap bersama adalah kemajuan, dan bekerja bersama adalah keberhasilan. Pernyataan Henry Ford ini agaknya tepat mewakili kerja kolaborasi 3 dukun kata dari 3 kota yang menghasilkan antologi sajak 3 di Hati. Jika mengintip latar historis terciptanya antologi ini yang tidak dapat dilepaskan dari atmosfir ‘negeri gurindam” tempat masyhurnya nasihat-nasihat Raja Ali Haji yang bernafaskan Melayu dan Islam, maka aura sastra klasik itu —  setidaknya atmosfir syair, pantun, atau gurindam dan nilai-nilai Islam — dapat diduga mewarnai sajak-sajak yang terhimpun di dalamnya. Meskipun sudah barang tentu penyair juga melakukan transformasi  estetika dan nilai-nilai tersebut dalam proses penciptaan sehingga dihasilkan sajak-sajak universal yang ‘melesat’ meninggalkan lingkungan fisik, sosial, psikologi, dan budayanya.

Antologi 3 di Hati, tiga “djiwa” dalam satu hati, sejatinya mengguratkan tiga dimensi pewarnaan sajak yang berbeda intensitasnya: merah, kuning, dan hijau, warna pelangi (bukan warna PDI-P, Golkar, dan PPP). Sajak-sajak Dimas Arika Mihardja lebih memerah, penuh semangat  ‘memanen senja/melukis bianglala di dada’, yang dengan elan vital menyala-nyala ‘menatah sajak emas di beranda’ menebar ‘mantra kamasutra’.  Sementara sajak-sajak D. Kemalawati (Deknong) lebih menguning, menyuarakan ‘isyarat tentang berbagai alamat dunia dan akhirat’ dengan bahasa yang lebih lugas, yang menurut Dimas lebih ‘berpijak di bumi/melukis cakrawala saat laut dan langit bertaut’ (‘Tiga Dimensi’). Sedangkan sajak-sajak Diah Hadaning (Diha) lebih kontemplatif menghijau, sejuk, hening dan teduh, serupa ‘kearifan pelangi’. Tema-tema demikian ini secara eksplisit terimplisitkan dari sajak-sajak seperti dalam “Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam”, “Perempuan-perempuan Pulau Sunyi”, “Hujan Oktober dan Gurindam Hati”, “Teratak Kecil di Pulau Sunyi”, dan “Intan dari Pulau Sunyi”.

Ketiga dimensi itu menghadirkan sajak-sajak yang ‘merah kuning hijau’ yang lengkap, tidak saja menggantung ‘di langit yang biru’, melainkan juga mendarat di bumi yang pekat. Dengan kata lain, komposisi warna pelangi ini dapat dikatakan merepresentasikan cita rasa artistik para penciptanya, yang membumi dan melangit.  Di dalamnya ada nuansa lirik yang personal, nuansa kemanusiaan, nuansa sosial, dan juga religiusitas yang kesemuanya mengajak pembaca menikmati, merenung, dan memaknai sajak sesuai dengan latar pengetahuan, pengalaman, dan cakrawala harapan masing-masing. Dengan kata lain, 1001 makna dapat didedahkan dari antologi ini sesuai dengan perspektif pemaknaan pembacanya.

Sajak-sajak Diha dalam antologi ini amat kental dengan nuansa esoteris melalui penyelisikan hakikat yang diangkat dari alam kosmos dan tema-tema hidup keseharian yang direnung-renungkan, dihayati dengan sepenuh-penuh perasaan (dengan tidak begitu hirau pada logika), dan diungkapkan dengan bahasa yang padat. Yang menarik, penyair perempuan pemegang rekor MURI yang menerbitkan kumpulan sajak paling tebal (700 halaman) dalam usia paling senior (70 tahun) , yang juga dikenal dengan sajak-sajak kejawen ini seperti dirasuki roh Melayu, atau setidaknya terpanggil, terusik, ‘terganggu’ batin dan jiwanya untuk hanyut dalam ekstase di lautan estetika dan nilai-nilai Melayu Lama. Misalnya terlihat dalam ‘Semak Bakau yang Menyapa dalam Diam’:

semak bakau
semak pulau
menyapa sukma
dalam bahasa purba:
simak akarku       
dengan mata batin, tuturnya.

Dalam kutipan sajak tersebut terdapat variasi permainan bunyi yang kuat dan khas syair Melayu, yang mengisyaratkan adanya keinginan yang kuat untuk menggali esensi sampai ke akar-akarnya. Begitu juga dalam ‘kisah reraja Batak/tak usai disibak-sibak’ (‘Memandang Pulau Penyengat dari Seberang’), ‘orang-orang dari seberang/ datang bertandang/ ada syair ada dendang/ diusung rasa senang’ (Perempuan-perempuan Jilbab Kuning), dan lebih jelas lagi modifikasi nuansa gurindam yang terintegrasikan dalam ‘Hujan Oktober dan Gurindam Hati:

hujan membisik pelan
gurindam pasal empat:
hati itu kerajaan di dalam tubuh
jikalau zolim segala anggota pun rubuh.

Begitulah, roh sebagian petuah Melayu yang Islami dari Raja Ali Haji dalam Gurindam 12 merasuki jasad dan jiwa sajak ini, yang selanjutnya dipertegas dengan gubahan pernyataan sikap penyair sendiri berdasarkan pengalaman hidup yang panjang bergumul dengan kata: ‘dalam kata adalah kekuatan/ dalam kata adalah perbuatan’.  Tidak hanya itu, dalam ‘Membaca Angin Anjung Cahaya’ roh syair dan pantun Melayu juga merasuki jasad sajak ini, yang sekaligus mengisyaratkan kekaguman dan keinginan,  serta keterbukaan dan kesadaran penyair pada daya magis alam pikir, rasa, dan estetika Melayu.

Kekaguman dan keinginan penyair itu tersirat dari ‘umbai-umbai menyimpan anggun/ aku semakin ngungun’. Untuk mengejar kesesuaian bunyi, secara kreatif digunakan diksi dari khazanah bahasa Jawa ngungun. Juga dalam ‘Membaca Wajah-wajah’: ‘aku ingin mencium wangi/ aroma syair kearifan’. Keterbukaan dan kesadaran untuk menerima dengan suka cita tercermin dari: segenap hati tengah bersuka/ membangun keajaiban dunia kata’ (‘Membaca Angin Anjung Cahaya’). Ini semakin memperlihatkan bahwa Sang Pencari berupaya  menyelami khazanah pemikiran dan estetika Melayu dalam memperkaya pengalaman batin dan pengungkapan sajak-sajaknya. Dengan kata lain, ada upaya penyair dalam pencarian kali ini untuk melakukan transformasi dan revitalisasi nilai-nilai Melayu (lama) menjadi sajak-sajak kini yang lebih longgar secara fisik dengan metafor yang khas tetapi padat dalam penyampaian pesan. Penggunaan diksi Melayu seperti ‘tuan’, ‘puan’, ‘reraja’, ‘rebana’, ‘barzanji’, ‘pompong’, ‘tongkang’, dan juga pengungkapan ritmis seperti ‘zikirnya memantik hati/ lusa selalu bisa ditata kembali’, serta persajakan yang kaya dengan permainan bunyi khas syair dan pantun (meskipun tidak secara utuh), dan roh gurindam menjadi warna dominan sajak-sajak Diha yang hening tetapi menyimpan 1001 makna dalam antologi ini.

Berbeda warna dengan sajak-sajak Diha, sajak-sajak Dimas menampung berbagai tema kaya nuansa yang diungkapkan dengan bahasa yang lebih lentur, cair dan kadang sangat transparan layaknya prosa pendek. Misalnya terdapat dalam ‘Kisah Pagi Sehabis Hujan’, yang merupakan representasi konkret pergulatan psiko-religi-eksistensial  penyair dalam dunia kepenyairannya. Dalam sajak ini penyair terlibat dalam monolog pergulatan batin yang berat dan berlarat-larat. Di satu pihak, interpretasi kalangan tertentu dari perspektif agama (Islam) secara tegas menyatakan bahwa penyair (tertentu) sangat dibenci dan dilaknat oleh Tuhan karena biasanya hanya ‘mengatakan sesuatu yang tak pernah dilakukannya/ ia melukis cinta, tetapi dengan pakaian dusta/ Ia menyatakan setia, namun seperti domba berbulu serigala’, bukan sebaliknya.  Di pihak lain, dunia kepenyairan, ‘negeri kata-kata’ sudah menjadi pilihan hidup bagi Dimas, dan juga dua D lainnya, Diha dan Deknong. Penyair dalam hal ini dihadapkan pada situasi yang dilematis.

Pada akhirnya pergulatan batin itu dimenangkan oleh Dimas dengan penyikapan reflektif yang merunduk dan arif: ‘Ya, Allah ampunilah khilaf dan salahku/ Jadikan aku kupu-kupu di atas aroma bunga/  Jadikan aku sayap-sayap laron yang tanggal saat mengecup lampu/ Maafkan segala kata dan cintaku/ Sungguh di hadapan-Mu aku hanyalah serpihan debu’. Sebuah ungkapan kepasrahan yang mencerminkan sikap religiusitas penyair, yang mengisyaratkan juga pengakuan atas transendensi kekuasaan Allah yang demikian untouchable, tak tersentuh, tak terbatas — yang dipertegas lagi dengan ungkapan ‘aku lenyap saat Kauhapus jejak debu di Terompah-Mu’. Juga, ungkapan senada dalam ‘Esok Hari Saat Mentari Meninggi’: lalu kembali luruh sedalam simpuh, yang semakin mengekalkan ketidakberdayaan penyair di hadapan Sang Khalik.

Pada sajaknya yang lain Dimas mengurai dimensi mata, detak djiwa, dan hati, yang sejatinya mengisyaratkan visi penyair dalam pergumulannya dengan dunia kata dan kesesuaian pandangannya dengan penyair lain (khususnya Diha dan Deknong), meskipun disadari bahwa yang melandasi kesesuaian itu adalah adanya perbedaan yang diibaratkan seperti bumi, laut, dan langit atau simbol lain serupa pelangi (bianglala). Dalam simbolisme ini dimensi mata dapat dimaknai memberikan arah, petunjuk, penerang, yang menuntun dalam penciptaan. Dimensi detak djiwa melambangkan jejak langkah spiritual, puja puji dan kerinduan penyair pada Yang Maha Kasih: ‘tak lelah kulidahkan bahasa sajadah/ menautkan jemari rindu yang rindang/ lalu kuronce jadi qasidah yang indah/ mengabadikan percintaan’ yang dalam konsep mistis Jawa barangkali ungkapan ini sejiwa dengan upaya-upaya penyatuan diri dengan Tuhan (manunggaling kawulo lan Gusti).  Selanjutnya, dalam dimensi hati semangat kebersamaan itu mengkristal menjadi sinergi: ‘aku perahu dan engkau kemudi/ maka berlayarlah kita/ bersama dalam badai dan damai’, yang diperkuat lagi dalam ungkapan bait berikutnya: ‘engkau orkestra simphoni di beranda hati/ kita bersama melangitkan jutaan merpati’. Dengan sinergi kolektif seperti inilah, maka dunia kata, dunia kepenyairan—meskipun berada ‘di dermaga paling sunyi’ dapat dihidupkan, diberi roh untuk tetap ‘abadi di hati’ sehingga sanggup menggerakkan mata dan tangan untuk ‘membaca bianglala dan melukis pelangi’.

Dimensi lain yang juga mengemuka dalam sajak-sajak Dimas dalam antologi ini adalah kesaksiannya pada kenestapaan orang lain, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’, ‘Meratapi Merapi’, ‘Air Mata Doa: untuk Mbah Maridjan’, ‘Kalkulasi Tragedi’, ‘Puisi Tragedi’, dan ‘Gempa 9,9 Skala Richter’. Kecuali dalam ‘Gempa 9,9 Skala Richter’ yang secara eksplisit menyarankan penyikapan untuk  berserah diri kepada yang Maha Berkuasa: ‘sebelum benarbenar tiarap di kedalaman dekap-Mu’, dalam sajak-sajak tragedi yang lain Dimas lebih nyaman memposisikan sebagai narator, misalnya dalam ‘Sajak Mentawai’:

dengar teriak ombak yang bangkit menggulung pantai
muaro
malin kundang digulung gelombang
dan orangorang berteriak tsunami:
suami istri itu pun mati

Begitu juga dalam ‘Meratapi Merapi’: ‘di tengah sawah berarak wedhus gembel/ menyapu rumputan/ berlarian di lapak yang sesak isak’, dan juga dalam ‘Air Mata Doa’: ‘mbah Maridjan/ pengabdianmu sebagai abdi/ lunas di tangan juru kunci’, atau dalam ‘Puisi Tragedi’: ‘sebelah sayapku patah lagi, ayah/ hujan tumpah’. Pada sajak-sajak seperti ini Dimas cenderung menyerahkan sepenuhnya interpretasi dan tanggapan kepada pembaca secara netral tanpa mendampinginya dengan ungkapan-ungkapan lain yang memancing keterlibatan dan empati seperti yang dilakukan oleh D. Kemalawati dalam ‘Siapakah Kau Setelah Erupsi’: ‘lalu siapakah engkau kini/ yang sebelum erupsi/ mengirimkan aku cinta petani/ pada sajak padi merunduk hati’. Lebih jelas lagi perbedaan itu terlihat dari penyikapan D. Kemalawati dalam sajak tragedi pasca-Tsunami Aceh 2005 yang diekspresikan dalam ‘Dahaga Laut’: ‘biarkan kami mendekat/ memungut kayu-kayu yang berserakan/ untuk tiang gubuk kami yang baru’. Dengan perbandingan ini dapat diindikasikan bahwa terhadap persoalan yang sama (tragedi), intensitas penyikapan penyair bisa berbeda.  Perbedaan ini justru memperkaya dan pada taraf tertentu saling melengkapi. Perbedaan itu mungkin disebabkan karena kepekaan psikologis, empati, gender, dan mungkin juga perbedaan keterlibatan dalam persoalan (langsung atau tidak).

Selebihnya, sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini lebih dominan diwarnai kegelisahan psikologis, relasi antarmanusia yang bisa mendatangkan duka, suka, dan penjelajahan spiritual yang salah satu manifestasi bentuknya adalah kerinduan pada Tuhan. Dalam ‘Sebelum Jejakmu Raib’, relasi antarmanusia yang mendatangkan disharmoni dan kekecewaan itu diekspresikan secara tegas oleh penyair. Segala yang dilakukan oleh aku lirik serba salah, tidak pernah dihargai: ‘setelah garasi dipenuhi cermin/ jejakmu raib entah kemana’. Warna serupa tercermin dari sajak ‘Setelah Kerelaan Kau Abaikan’: ‘apakah artinya kerelaanku terkurung dalam/ sangkarmu/ sedang pintu telah terbuka dan kau menjauh pergi’. Namun, dalam menghadapi situasi seperti itu Deknong menunjukkan ketegaran dan kedewasaannya, seperti tersirat dari ungkapan ‘kutahu dan sungguh aku tak mau/ kepergianmu/ menguburkan seluruh bait puisiku’. Lebih tegas lagi, kedewasaan penyikapan menghadapi persoalan itu terungkap dalam sajak ‘Keyakinanku’:

biar semua pintu terkunci
biar semua dentang tak berbunyi
biar semua kelam menuju pekat
tak kubiarkan hati ini mengubah arah
kau lah langitku
tempat asal seluruh cahaya menyatu

Terlepas dari tema yang diangkatnya, yang menarik dan menonjol dalam sajak-sajak D. Kemalawati dalam antologi ini adalah berkelebatnya imaji-imaji ‘liar’ yang telah dijinakkan sehingga menjadi metafor unik yang sanggup menghidupkan dan menguatkan ungkapan-ungkapannya. Misalnya, dalam ‘telah kugeraikan rambutku/ hingga pucuk-pucuk cemara merunduk malu’ atau ‘sekarang lidah laut sedang menjilati jejakku’ (Tarian Pelangi). Demikian juga dalam ungkapan ‘tapi akupun serupa gunung yang menjulang’ (Setelah Kerelaan Kau Abaikan), ‘berpacu binal riakku’ (Aku Rapuh Tanpa Karangku), dan dalam sajak ‘Izinkan Aku Ibu’ yang sarat kandungan metafor serupa, misalnya ‘Ibu, izinkan aku berteduh di rimbun daun hutanmu’, ‘…basahi parit jiwaku’, ‘..palung kalbuku’, ‘agar kristal keringat duniawi/ tak membeku di dada’, ‘menggigil bagai pucuk kuyup diterpa angin/ bentangkan selimut semestamu’.

Lebih eksplisit lagi, metafor liar itu berkeliaran dalam sajak ‘Kangen’: kalau kangenku makin membara/ tak cukup lautan kata/ meredamnya/ maka berikan aku sebilah rencong/ untuk kutikam di dada hampa’. Selain itu, dalam sajak-sajak yang bernafaskan penjelajahan spiritual pun dijalin dengan metafor-metafor seperti itu dengan menggunakan simbolisme persetubuhan, kerinduan (kangen) pada kekasih, atau makam, seperti yang secara eksplisit diungkapkan dalam ‘Kangenku’, ‘Kangen Menujumu’, ‘Ruang Diri’, atau ‘Pagi di Cengkareng’.  Metafor seperti ini — meskipun telah secara intens dijelajahi juga oleh Amir Hamzah dalam kumpulan sajaknya Nyanyi Sunyi atau Rendra dalam Nyanyian Angsa-nya, namun tetap tidak menghilangkan kesan bahwa metafor yang digunakan D. Kemalawati pada konteks ini memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dari para pendahulunya itu.

Demikianlah, memungkasi tulisan ini perlu saya ingatkan bahwa yang tersaji di sini hanya serpihan-serpihan pemaknaan impulsif terhadap sepilihan sajak yang pertimbangan, cara kerja, dan pendekatannya sangat subjektif dan jauh dari ilmiah. Ini hanya salah satu kemungkinan pemaknaan yang sudah barang tentu menyisakan ribuan bahkan jutaan kemungkinan pemaknaan lain yang lebih menarik dan mencerahkan.  Akhirnya, terpaksa harus saya sudahi tulisan ini karena tiba-tiba saya teringat ancaman dari gurindam Raja Ali Haji: apabila banyak berkata-kata/ di situlah jalan masuk dusta.***

*) Hary Soedarto Harjono (Hary S. Haryono) adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di FKIP Universitas Jambi dan Program Magister Pendidikan Pascasarjana Universitas Jambi; kertas kerja ini disajikan dalam acara DIALOG SASTRA DAN TEMU PENYAIR 3 KOTA (Jakarta, Jambi, Aceh) di Aula Rektorat Lt. III Kampus Universitas Jambi, Mendalo Darat,Jambi 22 Maret 2011, pukul 08.30-selesai).




Kamis, 03 Maret 2011

BOLA DAN SEPATU DALAM PUISI-PUISI FATHUR

~ Sebuah review buku kumpulan puisi karya Fathurrahman Helmi


"AKU, BOLA,  DAN SEPATU" adalah sebuah buku himpunan puisi karya Fathurrahman Helmi (Meulaboh, Aceh Barat 21 Juni 1995) diterbitkan oleh LaPena, 2009. Buku ini tergolong istimewa, sebab diantar oleh dua orang sekaligus (Wiratmadinata dan Damiri Mahmud) serta diiringi endorsment dari banyak kalangan (Mustafa Ismail, Herman RN, Mutia Erawati, Dino Umahuk, Jauhari Samalanga, Sulaiman Tripa, Medri, Raja Ahmad Aminullah, dan Wina SW1). Review ini, tentu menggunakan sudut pandang yang lebih bersifat pribadi, sebab saya tak hendak memperhatikan (tak membaca) keseluruhan pengantar dan endorsment yang ada dengan satu pengharapan dapat mereview puisi-puisi yang dihasilkan oleh Fathur yang saat buku ini diterbitkan masih tergolong usia anak-anak.

Dalam satu hal, saya seperti Stephen Spenders lebih menyukai puisi-puisi yang ditulis oleh penyair di awal karir kepenyairan, sebab puisi-puisi yang ditulis pada awal karier kepenyairan terasa lebih murni, lebih jujur, lebih spontan, dan jauh dari manipulasi (begitu sederhana: sama sekali terbuka). Karya-karya (puisi) yang dihasilkan oleh penyair usia muda seperti John Keats (Inggris), Arthur Rimbaud (Perancis), atau Chairil Anwar (Indonesia) mewakili kebanggaan bangsanya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika kita “tidak menganggap ada”  atau mencoret puisi-puisi mereka begitu mereka menulis puisi di usia dini, apakah sejarah perpuisian Inggris, Perancis, atau Indonesia dapat ditulis? Kita dalam konteks ini tidak dapat meremehkan usia muda, sebab di usia muda ini juga tersedia nilai-nilainya. Dalam konteks memberikan nilai inilah, atau tepatnya, memberikan penghargaan bagi karya anak bangsa inilah tulisan apresiatif ini dibuat.

Bola, Dunia dan Sepatu dalam Puisi Fathur
Ketika menulis puisi, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh kreator. Dua pendekatan itu, pinjam terminologi Sapardi Djoko Damono, ialah sudut pandang “anak kecil” dan sudut pandang “Sang Nabi”. Secara pragmatis, ketika kita menganlisis secara kritis wacana puisi, dua pandangan itu dapat diibaratkan sebagai pintu. Pintu-pintu itu seperti imajinasi Sapardi Djoko Damono digambarkan: terbuka perlahan-lahan .... satu persatu terbuka .... hingga akhirnya tak ada yang bernama rahasia; begitu sederhana: sama sekali terbuka.  Dalam alam pikir anak kecil yang penuh fantasi atau khayalan berpendar aneka imajinasi yang luar biasa. Dalam bayangan anak kecil, sebuah sapu bisa berubah menjadi pesawat terbang, bisa berubah menjadi kuda, dan dapat berubah secara imajinatif menjadi “apa saja” sesuai dengan apa yang dikhayalkan, dibayangkan, atau diangankan. Gambaran angan yang berujud imajinasi itu begitu menonjol di kepala anak kecil. Selain itu, dengan kekayaan imajinasinya itu si anak kecil asyik dalam konteks permainan yang ia ciptakan. Imajinasi itu taklain sebagai buah fantasi. Dunia anak-anak memang penuh fantasi.

Bagaimana bola dilukiskan dalam puisi-puisi Fathur? Di halaman 33 saya menemukan puisi berjudul "Bumi". Dalam pandangan umum, bumi menggambarkan sesuatu yang bulat, bundar, dan selalu saja ditemukan dalam puisi banyak penyair. Dalam alam pikir Fahur, bumi yang bulat itu digambarkan sebagai manusia yang sakit: "Aku di sini terpaku/menatap tanah yang tandus/bumi ini sedang sakit akibat ulah manusia" Bumi yang sedang sakit itu juga dibandingkan dengan sosok manusia yang makin tua dan mulai keriput. Puisi ini diungkapkan dengan sikap jujur, jernih, dan menggunakan perbandingan yang dengan cepat dapat dibayangkan "orang tua yang keriput dan sakit". Meski pendek, puisi ini sesungguhnya tak sekedar memotret, melainkan telah menunjukkan usaha melukis fenomena kerusakan bumi melalui kata-kata.

Lukisan mengenai hidup atau mengarah pada filosofi tentang hidup dilukiskan secara hidup, dinamis, lincah, dan penuh gerak dalam puisi berjudul "Sepakbola" (hal. 35): Aku berlari/Tak tentu arah/Terus menendang/Bagaikan senapan yang memuntahkan peluru". Lukisan mengenai hidup yang terus bergerak seperti ini justru terinspirasi saat menyaksikan sepakbola. Bagi orang kebanyakan, saat nonton sepak bola hanyalah nonton, tetapi berbeda dengan Fathur,sembari nonton sepakbola pikirannya (imajinasi dan fantasinya) merembet bergerak ke sebuah lukisan tentang hidup. Meski sederhana, penyair muda usia ini telah merambah ke dunia filsafat atau setidaknya pemikiran filosofis. Dalam kehidupan kadang-kadang orang berlari tak tentu arah (tak memiliki tujuan yang jelas), terus menendang (tendang kanan-tendang kiri, sikut kanan, sikut kiri, bahkan kalau perlu dengan kekerasan "bagaikan senapan memunyahkan peluru".

Dalam hidup manusia tentu ada sasaran atau target atau tujuan (boleh juga cita-cita, harapan, keinginan dan sebagainya). Hal ini dilukiskan oleh Fathur dengan ungkapan seperti ini: "Gawang yang kuincar/Dengan semangat menggebu/Walau tidak gol/Aku akan terus berusaha". Ada gambaran semangat berusaha di dalamlukisan ini. Sebuah gambaran yang melukiskan upaya pantang menyerah untuk sampai tujuan. Fantasi dan imajinasi di dalam kepala Fathur lalu menghadirkan lukisan yang hidup tentang hidup itu sendiri: "Bola yang bergelinding/ Bagaikan hidup yang terus berlanjut/Tak ada kata-kata menyerah/Sebelum pertandingan usai." Lukisan ini luar biasa. Fathur sanggup menghadirkan metafora secara jernih yang membandingkan hidup dan kehidupan dengan permainan sepakbola!

Masih terkait dengan filosofi tentang hidup. Fathur selanjutnya menulis "Hidup" (hal. 37):" Kehidupan/ Bagaikan roda/Sebentar diatas sebentar di bawah/Aku harus menjalani kehidupan ini// Tak ada kata menyerah/ Sebelum mencoba sesuatu/Hidup adalah simbol/Di mana akan terus dicamkan dalam dunia ini". Meski ungkapan hidup itu ibarat roda pedati, kadang di atas dan kadang di bawah telah menjadi ungkapan umum, namun kita menjadi terkagum saat ungapan ini meluncur dari alam pikir anak-anak. Alam pikir Fathur serupa aneka bentuk benda yang dicerap dan dipersepsi hadir dalam bentuk bulatan (bola, bumi, roda, bulan, dan sebagainya). Terkait dengan gambaran bulan, Fathur menulis puisi berjudul "Bulan" yang menurut pembacaan dan pemaknaannya hadir secara lembut, romantis, dan hangat: "...Bulan sabit/Melengkung/ bagai celurit// Saat bulan dan bintang menyatu/Membentuk wajah yang tersenyum/Mengingatkan aku pada senyummu yang indah". Wow, anak seusia Fathur bisa mengungkapkan kehalusan rasa seperti ini, tentu luar biasa.

Lalu bagaimana Fathur melukis sepatu? Dalam puisinya berjudul "Sepatu" di halaman 63, Fathur menulis seperti ini:

Bagaikan peluru
Cept dan langsung menuju sasaran
Sepatu itu melesat
Mengarah kepala mister ni. 1 Amerika
Andai kena aku akan tertawa

Warga bersorak
Tertawa juga mengecam
Sepatu itu
Anggap saja salam dari orang-orang teraniaya
Yang telah kau hancurkan hidup mereka
Semoga kau jera
Dan tak pernah
Memperlakukan orang dengan hina lagi
Salam dari kami para pemakai sepatu

Banda Aceh, 16 Desember 2008

Bagi pembaca yang memiliki referensi, minimal acap membaca berita "tragedi" (tragikomedi?) pelembaran sepatu yang mengarah ke orang nomor 1 (presiden) Amerika Serikat, puisi ini tampil secara memikat. Daya pikat puisi ini tentu saja bertolak dari aktualitas peristia, lalu bertolak dari aktualitas peristiwa itu dibawa ke arah perenungan mengenai hidup dan kehidupan,lengkap dengan etika dan norma yang menyertainya. Dalam konteks ini, dalam hal pemaparan puisi, saya jadi teringat kekuatan refleksi puisi-puisi Rendra. Fathur, yang juga disayang oleh Rendra, memiliki potensi kreatif seperti Rendra dalam hal diksi, visi, dan ketajaman/kedalaman renungan mengenai hidup.
 
Melalui alam pikir anak kecil yang suka berkhayal, berimajinasi, dan berangan-angan atau berfantasi dapat dihasilkan kekayaan penggambaran yang memiliki makna. Demikianlah, ketika kreator menggunakan pendekatan “anak kecil yang suka bermain-main” dalam menulis puisi dan berusaha menjauhkan diri dari kesan “main-main” dengan kesengajaan serta dilambari oleh orisinalitas pengungkapan yang jujur akan terbuahkan aneka puisi yang penuh dengan imajinasi. Imajinasi ini dibuahkan melalui upaya pemaksimalan aktivitas psikis berkayal, melamun, merenung, dan memikirkan satu hal.

Selain puisi dibuahkan kreator dari sudut pandang “anak kecil” yang penuh imajinasi, puisi juga dihasilkan melalui pendekatan “sang nabi”. Apabila puisi dihasilkan melalui sudut pandang “anak kecil” tercipta puisi yang kaya imajinasi, lincah, tak terduga, mengejutkan, dan menyenangkan, maka di pihak lain puisi yang dihasilkan dari sudut pandang “sang nabi” berisi fatwa-fatwa agamais yang religius sifatnya. Puisi-puisi yang digubah dengan sudut pandang “sang nabi” berisi dengan aneka ajaran dan pesan moral. Penyampaian ajaran dan pesan moral ini realisasinya dapat terungkap secara sederhana, namun di pihak lain dapat pula terungkap secara kompleks. Religius yang bertaraf permulaan tampil melalui kesederhanaan, sedangkan religiusitas yang bertaraf tinggi cenderung menggambarkan kompleksitasnya (berbagai tingkatan: syariat, tariqat, hakikat, dan makrifat, dan berbagai paham serta keyakinan lainnya).

Hal yang menurutku termasuk "gila" (gila dalam tanda petik) ialah remaja seperti Fathur memiliki pedang kata-kata yang tajam, menyimpan kekuatan renungan. Seperti apa lukisan kegilaan Fathur dalam merespons lingkungan kehidupannya, terdedah dengan baik pada puisi berjudul "Gila" (hal. 86) yang untuk menunjukkan kepada pembaca saya kutipkan secara keseluruhan:

                          Gila

Semua yang terjadi
Selalu di luar kendali

Kehidupan kini makin hancur
Pembunuhan
Kekerasan
Korupsi
Semua yang tak lazim
Sudah menjadi makanan sehari-hari

Hidup ini kian gila
Semua memperebutkan kekuasaan
Kekuasaan dianggap sebagaiharga mati

Dunia makin gila
Akankah kiamat terus mendekat?
Jangan tanyakan padaku
Karena aku tak tahu

Banda Aceh,25 Desember 2008.

Pembaca, kita telah sedikit berkenalan dengan pandangan dunia penyair muda usia dari Banda Aceh mengenai hidup dan kehidupan yang digali dari peristiwa keseharian di sekitar kita. Sebagian besar puisi Fathur memilikipotensi seperti kekuatan ekspresi Rendra, sebagian puisi lainnya lebih mengarah ke puisi-puisi yang liris-imajis, yang merupakan trend penulisan puisi yang tak pernah ditinggalkan oleh penyair dalam konsepsi estetis apapun juga. Saya masih menanti perkembangan karya Fathurrahman Helmi (putra sulung Helmi Hass dan D Kemalawati). Saya memiliki keyakinan, lantaran Fathur diasuh dan dibesarkan oleh orang-orang hebat di bidang sastra dan budaya, kelak jika setia menjalani proses kepenulisan dan mengasah diri terus-menerus dapat diharapkan sebagai penyair yang diharapkan. Demikian, salam budaya.

Selasa, 01 Maret 2011

ESTETIKA DAN KUALITAS PUISI

~ Sebuah Pengantar Ringkas

ESTETIKA adalah ilmu tentang keindahan. Estetika merupakan cabang filsafat yang membahas keindahan yang melekat pada karya seni. Istilah estetis, biasanya merujuk pada indah, tentang keindahan, atau memiliki nilai keindahan. NIai estetis sebuah karya seni, dalam ha lini puisi, mampu memberikan hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin ketika puisi itu dibaca, didengarkan, atau diresapi. Ada keindahan yang terkait dengan bahasa dan ada keindahan terkait dengan isi, makna, amanat, atau struktur mentalnya. Puisi mengandung keindahan fisik terkait dengan bahasa dan sekaligus keindahan struktur batinnya. Kandungan makna di dalam puisi, misalnya, banyak memberi manfaat bagi kehidupan, sebab makna itu terkait dengan nasihat, petuah, ajaran tentang moral, budi pekerti mulia, nilai kebijakan, keutamaan, dan keluhuran yang dapat menuntun ke arah jalan kebenaran.

Aktivitas apresiasi puisi terkait dengan keindahan dan kualitasnya. Setiap aktivitas apresiasi puisi tentu berusaha menikmati keindahan serta menakar mutu yang terkandung di dalam puisi. Hubungan antara keindahan dan kualitas puisi dapat dibandingkan dengan rangkaian permata yang disamping mempunyai keindahan bentuk juga memiliki kualitas. Sebuah puisi memilikikeindahan apabila puisiitu memiliki susunan atau komposisi yang memenuhi syarat (1) keutuhan (unity)yang membentuk unsur-unsur sistem puisi, (2) keselarasan (harmony) unsur-unsur yang mendukung puisi, (3) keseimbangan (balance) antara bentuk, isi, dan ekspresi, dan (4) adanya fokus (right emphasis). Sebuah puisi dinilai memiliki keindahan apabila keempat syarat itu terpenuhi. Semakin terpenuhi keempat syarat itu, maka semakin estetislah sebuah puisi.

Terkait empat syarat keindahan itu, kita lantas dapat merinci syarat-syarat kualitas sebuah puisi. Dari berbagai referensi dan pengalaman, kiranya dapat diajukan 10 konsep puisi yang berkualitas. Pertama, sebuah puisi dapat dikatakan berkualitas apabila merupakan usaha merekam isi jiwa penyairnya. Rekaman ini tentu menggunakan piranti bahasa. Puisi memang merupakan benuk rekaman isi jiwa penyairnya dengan wahana berupa bahasa. Jika penyair merasa telah sanggup merekam isi jiwanya ke dalam bahasa puisi, dapat diharapkan puisi itu memenuhi konsep puisi berkualitas. Tentu saja upaya merekam isi jiwa itu tak mudah, sebab senyatanya setiap penyair merasa tidak pernah puas akan apa yang telah diungkapkan.

Kedua, puisi yang berkualitas adalah puisi yang komunikatif. Bentuk rekaman kejiwaan itu haruslah komunikatif. Banyak puisi yang dipandang kurang berkualitas lantaran kurang komunikatif. Puisi gelap, puisi yang terlampau menggunakan simbol pribadi. Perihal "komunikatif"ini harus disikapi secara lentur, sebab semua puisi yang komunikatif-gamblang, terang-benderang tidak selalu berkualitas. Pengertian "komunikatif" ini hendaklah diproyeksikan pada sebentuk interaksf-dialektif, pesan komunikasiitu tertangkap namun tidak semuanya terpahami, puisi selalu menyimpan misteri dan jarak pemaknaan. Puisi yang mampu menggoda pembaca untuk terus mendedahkan pesan komunikasi, bisa jadi ttergolong puisi komunikatif yang berkualitas.

Ketiga, puisi yang berkualitas menunjukkan adanya keteraturan. Keteraturan puisi bergantung sistem puisi, kode bahasa, pengemasan pesan, penggunaan piranti keindahan bahasa dan kedalaman makna pesan. Ada keteraturan antaraa bahasa sebagai alat pemapar dan isi pesan yang dipaparkan. Stylistika, retorika, etika menjadi benang merah yang meronai puisi yang teratur. Bagaimana pun juga selain cerdas bergaya,beretorika, juga mampu mengemas pesan yang indah.

Keempat, setiap puisi yang berkualitas menunjukkan adanya integrasi semua unsur, aspek,dan komponen pembentuk puisi. Di dalam puisi berkualitas terdapat keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresinya. Integrasi atau perpaduan antara isi,bentuk,bahasa, dan ekspresi ini menjadi pertaruhan bagi puisi berkualitas.

Kelima, sebuah puisi berkualitas menunjukkan adanya penemuan. Seperti ilmuan dihargai oleh masyarakat lantaran penemuan ilmiahnya yang baru  sehingga memperkaya ilmu, maka penyair yang mumpuni akan sanggup menawarkan adanya penemuan. Penemuan di sini mungkin terkait dengan ertetika, pola ucap, teknik pemaparan, dan pengemasan pesan yang memesona. ChairilAnwar dihargai sebagai penyair lantaran menemukan pola ucapekspresif dalam sajak-sajak yang digubahnya. Sutardji CalzoumBachri dihargai dan diakui sebagai presiden penyair Indonesia lantaran menemukan kekuatan mantra sebagai media ucap puisi-puisinya. Afrizal Malna diakui kepeloporannya dalam mengemas massifikasi dan personifikasi benda-benda dalam puisi-puisinya.

Keenam, puisi yang berkualitas menunjukkan ekspresi penyairnya. Puisi berkualitas dengan demikian hanya bisa dihasilkan oleh penyair yang benar-benar intens, serius, dan mampu mengaktualisasikan sikap,visi dan misinya dalam ekspresi yang tepat di dalam puisi-puisi yang digubahnya. Puisi berkualitas memilikikadar ekspresivitas yang tinggisebagai realisasi kepekaan si penyairnya.

Ketujuh, puisi yang berkualitas selalu pekat,kental,kenyal, lentur,luwes,dan dinamis. Semua itu merupakan buah perenungan atau pemikiran reflektif penyairnya. Penyair dalam konteks ini memang juga seorang pemikir,budayawan, sosiolog,dan psikolog sekaligus.

Kedelapan, puisi yang berkualitas selalu berisi penafsiran kehidupan. Sebuah puisi dihargai lantaran puisi itu mampu menunjukkan segi-segi baru dari kehidupan, memberikan arti kepada kehidupan dan peradaban.

Kesembilan,puisi berkualitas menunjukkan adanya pembaruan, baik dalam tataran ide,kemasan, bentuk,bahasa, dan ekspresinya. Puisi berkualitas menunjukkan bahwa penyair yang menggubahnya tergolog pionir, pembaharu, dan mungkin perintis jalan dengan estetika baru.

Kesepuluh, puisi yang berkualitas mampu memberikan penghiburan spiritual, batiniah, rasa senang, puas, mempesona,dan mungkin membius pembacanya. Jika ada pembaca yang larut kedalam puisi, itu pertanda puisi itu memiliki kualitas. Puisi berkualitas tidak pernah membosankan saat dibaca, bahkan sampai berulang-ulang membacanya.