Minggu, 17 April 2011

MATERI PENULISAN KREATIF PUISI

Bersama: Dimas Arika Mihardja

A.   UNSUR-UNSUR PUISI
Sebagai bentuk wacana sastra, unsur-unsur yang membangun puisi berbeda dengan prosa. Unsur-unsur tersebut adalah (1) diksi (diction), (2) imaji (imagery), (3)  gaya bahasa (figurative language), dan (4) ritme dan rima (rhythm and rime) (Morris, 1964: 617). Beri­kut ini aspek-aspek tersebut di­berikan pen­jelasan secukupnya.

Pertama, diksi. Diksi adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan perasaan (Ahmadi, 1988: 126). Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan tema, audien, dan ke­jadian. Diksi juga berarti penataan, penyusunan, dan pemilahan kata-kata ke dalam susunan tertentu yang secara efektif dapat mengung-kapkan ide, gagasan, dan perasaan. Prinsip utama dalam diksi ada­lah bahwa dalam pemilihan dan penempatan kata harus se­suai, tepat, eko­nomis, dan tegas. Misalnya, larik puisi “Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang” (“Aku”, Chairil Anwar). Kata ‘aku’ dipandang lebih sesuai, tepat, ekonomis, dan tegas daripada kata ‘saya, beta, hamba, atau daku’, diksi ‘binatang jalang’ dipandang lebih tepat daripada “binatang liar atau buas’, dan seterusnya. 
Hal yang penting diperhatikan ten­tang diksi dalam pen­ciptaan puisi, menurut Ahmadi (1988: 126-127), ialah bahwa setiap kata merupa­kan lambang atau simbol yang mengacu kepada sesuatu yang lain. Kata ‘aku’ dan ‘binatang jalang’ keduanya melambangkan kebebasan. Penggunaan diksi dalam puisi, menurut Aminuddin (1995:215) se­cara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar mau­pun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis. 

Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka pencip­taan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan se­mantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat de­notatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Se­cara aso­si­atif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang me­miliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, an­tonimi. Aspek referensial yang digunakan ber­sifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacu­kan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa diguna­kan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.

Kedua, imaji. Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau ka­limat. Imaji meru­pakan un­sur dasar yang khas dalam karya ber­ben­tuk puisi. Menurut Preminger (lihat Badrun, 1989) imaji adalah re­produksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh per­sepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image). Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang ber­hubungan dengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image) (Wellek dan War­ren, 1979: 236-237). Nukilan bait pertama puisi “Riwayat” (Sajak-sajak Lengkap, 1961—2001:8) karya Goenawan Mohamad berikut ini terdapat berbagai macam imaji.

Gelitikkan, musim, panasmu ke usiaku
bersama matari. Dari jauh
bumi tertidur oleh nafasmu, dan oleh daun
yang amat rimbun dan amat teduh
Dan seperti mimpi
laut kian perlahan
kian perlahan

                (Goenawan Mohamad, “Riwayat”)

SEGALA pembicaraan bahasa dan unsur-unsurnya dalam penulisan puisi hakikatnya terkait dengan diksi. Diksi sebagai satu unsur yang ikut membangun keberadaan puisi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya. Peranan diksi di dalam penulisan puisi memiliki arti penting karena kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Bahkan, untuk jenis puisi imajis seperti ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, kata-kata tidak sekadar berperan sebagai sarana yang menghubugkan pembaca dengan gagasan penyair. Dalam puisi imajis, kata-kata sekaligus sebagai pendukung dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.

Dapat dikemukakan bahwa diksi merupakan esensi penulisan puisi. Pilihan kata yang tepat dan cermat dapat mengukuhkan pengalaman penyair di dalam puisi yang ditulisnya. Pilihan kata yang tepat dan cermat memungkinkan kata-kata tidak sekedar merekat dan menempel satu sama lain, tetapi kata-kata itu dinamis dan bergerak serta memberikan kesan yang hidup. Kata-kata seperti itu tidak sekadar menjadi penanda, tetapi sekaligus menjadi dunia puitik itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menulis puisi siapapun tidak boleh meremehkan atau mengabaikan unsur diksi ini. Penulis puisi tidak boleh menafikan kosakata, bahasa kiasan, bangunan imaji dan sarana retorika.

Meskipun diksi dalam penulisan puisi memiliki arti penting, Sanusi Pane pernah mengingatkan bahwa kata-kata yang dipilih dalam penulisan puisi tak serta merta menggunakan kata-kata yang rancak (indah semata), kata-kata yang pelik hanya mengejar estetika (kata-kata yang rumit hanya mengejar keindahan menurut versi penyair dan menjadi asing di mata pembaca), penyair disarankan untuk membuang segala kata yang ciuma mempermainkan mata, hanya dibaca sepintas lalu karena kata-kata itu tidak keluar dari sukma (jiwa, batin, pikiran dan perasaan) penyair. Kita simak sebuah puisi Sanusi Pane berjudul "Sajak" berikut ini

SAJAK

O, bukannya dalam kata yang rancak
kata yang pelik kebagusan sajak,
O, pujangga,buang segala kata,
yang 'kan cuma mempermainkan mata,
dan hanya dibaca selintas lalu,
karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matahari mencintai bumi,
memberi sinar selama-lamanya,
tidak meminta sesuatu kembali,
harus cintamu senantiasa

(Sanusi Pane, Tonggak 1, hlm. 41)

Di akhir puisinya yang berjudul "Sajak", Sanusi Pane menambahkan bahwa puisi yang baik, pilihan kata yang tepat dan cerpat di dalam puisi, memiliki substansi seperti matahari yang setia memberikan sinarnya. Matahari itu setia dan tidak meminta imbalan. Matahari makna itu hanya dapat dipahami, dimengerti dan dihayati oleh 'kecintaan' pembaca. Apa pun diksi yang dipakai oleh penyair haruslah fungsional, komunikatif, menarik perhatian, dan memendarkan makna secara abadi.


Ketiga, gaya bahasa. Gaya menurut Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Rus­tapa, Hani’ah, 1994) adalah cara pengungkapan dalam prosa atau puisi. Analisis gaya meliputi pilihan kata, majas, sarana retorika, bentuk kalimat, bentuk paragraf, dan setiap aspek pemakaian bahasa oleh penulis. Gaya ba­hasa, menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984) adalah pema­kaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang arti har­fiahnya. Gaya bahasa yang baik menimbulkan citra tertentu di dalam pikiran pem­baca puisi. Dengan kata lain, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui ba­hasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepriba­dian. Oleh Hartoko dan Rahmanto (1986) gaya bahasa diarti­kan sebagai cara yang khas untuk mengungkap­kan diri. Cara terse­but meliputi setiap aspek bahasa seperti pemilihan kata-kata, peng­gunaan kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya. Dengan demikian bahasa kias dalam puisi termasuk bagian dari gaya bahasa.

Ruang lingkup kajian gaya bahasa meliputi identifikasi ben­tuk, ciri, unsur, hubungan antarunsur dalam wacana puisi. Dengan demikian, kajian gaya bahasa me­masuki wilayah yang berkaitan dengan komponen yang hadir secara simultan, yakni wacana puisi itu sendiri. Dari wacana puisi itu lebih lanjut dikaji aspek formal yang berkaitan dengan unit-unit gaya bahasa. Ka­jian unit-unit gaya ba­hasa itu dimanfaat­kan sebagai dasar pemilahan jenis gaya bahasa, identifikasi ciri, serta dasar dalam menafsirkan satuan-satuan pesan yang dikandungnya. Jenis gaya bahasa secara umum dibedakan menjadi gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan. Gaya bahasa tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah pe­milihan dan penggunaan kata serta pemvaria­sian struktur. Dalam kaitan ini, Ah­madi (1991) menyatakan bahwa “gaya bahasa adalah kualitas visi, pan­dangan penu­lis/penutur, karena gaya bahasa mere­fleksikan cara seseorang pengarang memilih dan meletakkan kata-kata dan kalimat dalam tubuh karangan”. Pe­milihan dan pema­kaian suatu kata sangat ditentukan oleh kemam­puan penulis dalam menangkap “rasa kata” atau tingkatan makna pada kata tersebut.

Gaya bahasa, termasuk di dalamnya bahasa kias, dapat dike­lompok­kan menurut berbagai segi, antara lain berdasarkan struktur kalimat dan berdasarkan lang­sung-tidaknya makna. Gaya bahasa yang memiliki acuan makna tidak langsung dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris mencakup: aliterasi, asonansi, anastrof, apo­fasis, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, pleo­nasme, tautologi, peri­frasis, prolepsis, pertanyaan retoris, koreksio, hiperbola, para­doks. Gaya ba­hasa kiasan mencakup: persamaan atau simile, metafora, alegori, per­soni­fi­kasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoche, metonimi, antonomasia, hiplase, ironi, satire, antifrasis, dan paranomasia.

Ahmadi (1991) mengelompokkan gaya bahasa ke dalam dua kelom­pok, yakni gaya perasosiasian dan gaya penegasan. Pengelom­pokan Ahmadi ini sejajar dengan kategori gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang dikemukakan oleh Yassin (1996). Dari ber­bagai referensi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa kias sejajar dengan istilah gaya bahasa. Akhirnya, gaya bahasa dapat dikelom­pokkan ke dalam tiga kategori, yakni gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, dan gaya ba­hasa asosiasi (per­tautan dan perulangan) (Darmawan, 1995). Penelitian ini mengacu pada klasifikasi gaya bahasa yang dilakukan oleh Darmawan. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan pemakaian gaya bahasa metafora dalam puisi “Berlayar” karya Linus Suryadi A.G.

Kesetiaan kepada hidup
hidup kepada kesetiaan
Laksana jaring-jaring ikan
dijalin lalu dikembangkan
            ( Linus Suryadi A.G., “Berlayar”)

Keempat, ritme dan rima. Ritme dan rima besar pengaruhnya dalam memperjelas makna sebuah puisi. Ritma dan rima puisi ini erat berhubungan dengan pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan tu­juan (intention). Lebih lanjut, hubungan ritme dan rima dinyatakan oleh Morris, dkk., 1964: 620) “rhythm is the result of sys­temati­cally stressing or accenting words and sylables, whereas rime repeats similar sounds in some apparent scheme”. Dalam sastra Indone­sia, khususnya puisi, ritme tidak selalu berhubungan dengan tekanan dan ak­sen, melainkan pada panjang dan pendeknya tuturan, cepat dan lambatnya pembacaan, dan ditentukan oleh tipografi puisi. 
Rima dibeda­kan men­jadi rima awal dan rima akhir.

Contoh rima awal:
Bagaikan banjir gulung gemulung
Bagaikan topan deruh-menderuh
Demikian rasa datang semasa
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
(J.E. Tatengkeng, “Perasaan Seni” bait I)


Contoh rima akhir:

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
(Amir Hamzah, “Padamu Jua” bait I)

Berdasarkan susunannya rima dapat berupa (1) rima berang­kai dengan susunan aa, bb, cc, dd …; (2) rima berselang, dengan susunan abab, cdcd…; (3) rima berpeluk dengan susunan abba, cddc.


Contoh rima berangkai dengan susunan aa, bb, cc, dd:

Di mata air di dasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam

Di kawan awan kian kemari
Di situ juga jawab kucari

Kepada gung penjaga waktu
Kutanya jawab kebenaran tentu
(J.E. Tatengkeng, “Kucari Jawab”)

Contoh rima berselang dengan susunan abab, cdcd:

Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air-kaca,
Lagu diayunkan lagu ombak

Lautan besar bagai bermimpi
Tiada gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi
Di sana ombak memecah nyaring
       (J.E. Tatengkeng, “Sepantun Laut” bait I, II)

Contoh rima berpeluk dengan susunan abba:

Perasaan siapa takkan nyala
Melihat anak berlagu dendang
Seorang sahaja berlagu dendang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
(M. Yamin, “Gembala”)

Riffaterre (1978:1—2) dengan tepat mengungkapkan karakteristik wacana puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono dalam suatu kesempatan  “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai wacana mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.

Pertama, penggantian arti. Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi “Sajak Putih” karya Chairil Anwar (1959:19) berikut ini.

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah....
                            (Chairil Anwar, “”Sajak Putih”)

Bait pertama baris ke-3: Di hitam matamu kembang mawar dan melati. Kata ‘mawar’ dan ‘melati’ adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain, yakni sesuatu yang indah atau cinta yang murni. Secara umum, bahasa kias di dalam puisi seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu biasa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan lain, memiliki sifat sendiri: metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.

Dalam bait kedua baris pertama sepi menyanyi adalah personi-fikasi, dalam keadaan yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi: ‘sepilah yang menyanyi’ karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah yang beriak seperti air kolam kena angin. Dalam baris ke-3 dan 4 Dan dalam dadaku memerdu lagu menarik menari seluruh aku kata ‘lagu’ dan ‘menari’ itu mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan, yang bersandar pada tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

Dalam bait ketiga baris pertama: Hidup dari hidupku, pintu terbuka, mengiaskan bahwa ada jalan, ada harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya, yang dikiaskan dengan Selama matamu bagiku menengadah. Ketika kekasih masih mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. Selama engkau darah mengalir dari luka berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah, tidak bercerai. Semuanya itu merupakan “Sajak Putih”, yaitu pernyataan hati si penyair (sajak) yang diucapkan dengan tulus ikhlas (putih).

Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil Anwar bait ke-3 dan 4, baris-baris itu sesungguh-nya ambigu: Hidup dari hidupku, pintu terbuka selama mataamu bagiku menengadah. Ini dapat ditafsirkan dengan arti gandi bahwa hidup si aku akan selalu ada jalan keluar, ada harapan-harapan, atau kegairahan. Selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih menghendakinya, masih membutuhkan si aku, maka si aku akan tetap merasa hidup bergairah. Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita Mati datang membelah... itu dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan arti kata dan kalimat yang terdapat di dalam ungkapan itu, misalnya: selama kau masih hidup, masih dapat merasakan sakitnya hidup, antara si aku dan kekasihnya tidak bertengkar, berselisih pendapat, dan juga tidak bercerai, maka si aku hidup penuh dengan harapan.

Di dalam wacana puisi juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardoyo sering meng-gunakan ironi, misalnya pada puisi berjudul “Nyanyian Ladang” berikut.

Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelah selesai melunas hutang
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan.
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang.
Pak tani, jangan menangis.
                   (Subagio Sastrowardoyo, “Nyanyian Ladang”)

Dalam wacana puisi tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah cukup bagi pak tani: cukup istirahat, cukup punya kerja di sawah, punya sandang setelah lunas hutang, cukup punya pangan sesudah kondangan, cukup punya ladang buat bersawah. Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana dan sengsara, sebab penyair banyak menggunakan ungkapan Kau akan.... di balik ungkapan Pak tani, jangan menangis terdapat ironi: pak tani harus menagis dalam keadaan menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, punya makan setelah pergi kondangan.

Penyimpangan arti di dalam wacana puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih seperti sepisaupa, sepisaupi, terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Pot”: potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul “Herman”: kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’, ‘pisau’, dan ‘sapa’ menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’ dan ‘pikul’, menjadi ‘sepikul dosa’, maka dosa itu betapa berat dan sepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.

Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengor-ganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesung-guhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam wacana puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi berjudul “Mari” (1981:25) karya Sutardji Calzoum Bachri yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan.

mari pecahkan botolbotol
ambil lukanya
jadikan bunga
mari pecahkan tiktok jam
ambil jarumnya
jadikan diam
mari pecahkan pelita
ambil apinya
jadikan terang
mari patahkan rodaroda
kembalikan asalnya:
jadikan jalan
mari kembali
pada Adam
sepi pertama
dan duduk memandang
diri kita
yang telah kita punahkan
ada dan tiada
yang disediakan Adam pada kita
dan
mari berlari
pada siri kita
dan kembali menyimaknya
dengan keheranan Adam pada perjumpaan
pertama dengan dunia
(Sutardji Calzoum Bachri, “Mari”)

Wacana puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Wacana puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun wacana puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, wacana puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, wacana puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Wacana puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam wacana puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam wacana puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Misalnya wacana puisi “Pamflet Penyair” karya Rendra berikut ini praktis sama dengan penyairnya sendiri.

Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Kepadamu aku bertanya.
                  (Rendra, “Pamflet Penyair”)

Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari wacana itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Wacana itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Kedua puisi berikut, misalnya, menampilkan wajah aku lirik yang berbeda.

Kami jalan sama. Sudah larut.
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat.
               (Chairil Anwar, “Kawanku dan Aku”)

Kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi satu
karna dindingku, karna dindingmu
dari mana kita, dunia  bersatu
              (Linus Suryadi AG, “Dinding-dinding Kota Yogya”)

Aku lirik di dalam wacana puisi menyapa seseorang, misalnya “engkau”, “kawan”, “-mu”, dan lain-lain.  Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, gejala-gejala, para dewa, angin, awan, samodera, sebuah kota. Dalam sapaan retorik aku lirik memang menyapa seseorang atau sesuatu, tetapi tidak mengharapkan jawaban. Ungkapan serupa itu disebut apostrof.

B. BAHASA KIAS DALAM PUISI
1. Pengertian Bahasa Kias
Secara tradisional, misalnya dalam wawasan Aristoteles, bahasa kias diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perban-dingan ataupun analogi semantis yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan atau analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam meng-gambarkan citraan maupun gagasan baru. 

Pada bentuk bahasa kias Aku ini binatang jalang, misalnya, terdapat dua hal yang diperbandingkan, yakni “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan tersebut dapat ditemukan persamaan ciri semantis antara “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan ciri semantis yang umum, “aku” memiliki ciri semantis sebagai ‘makhluk’, demikian juga “binatang”. “Aku” mempunyai ciri semantis bernyawa, begitu juga “binatang”. Pada sisi lain, perbandingan itu juga merujuk pada ciri semantis yang khusus dengan yang khusus. “Aku” sebagai makhluk ‘berkesadaran’ sebagai ciri khusus manusia diperbandingkan dengan “binatang” yang secara khusus diberi ciri ‘jalang’. Perbandingan sebagai salah satu ciri umum dari bahasa kias antara lain dapat berbentuk metonimi, sinekdok, simile, ironis, dan metafora.

Bahasa kias, menurut Aminuddin (1995:234), umumnya terkait dengan (1) perbandingan atau penghu-bungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap pengamatan realitas secara natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap, maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu kata-kata tersebut; dan (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan terbentuk melalui proses kreatif pemakainya. Proses kreatif tersebut secara esensial terkait dengan kreasi dalam membentuk gagasan, menghubungkan gagasan dengan kata-kata dan kongkretum yang dicitrakannya maupun potensi citraan itu dalam menuansakan pengertian-pengertian tertentu.

Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal, penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan penelusuran pema-haman bahasa kias yang umum. Hal itu disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.

2. Pemilahan Bahasa Kias
Bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.

Dalam metafora, dua objek atau pengertian diperbandingkan secara implisit. Dalam ucapan rumahku melindungi aku bagaikan sebuah benteng, rumah dibandingkan dengan sebuah benteng. Benteng disebut pembanding sedangkan rumah unsur yang dibandingkan. Kata penghubung “bagaikan” berfungsi sebagai mata rantai antara pembanding dan apa yang dibandingkan. Dalam ucapan tersebut motif tidak disebut secara eksplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan antara rumah dan benteng, misalnya, ‘di samping aspek perlindungan dapat juga dibayangkan aspek kokoh-kuat’. Dalam bentuk metaforis, ungkapan tersebut dapat dinyatakan dalam ungkapan “rumahku bentengku” atau cukup “bentengku” saja.

Di dalam wacana puisi, metafora-metafora sering berbelit-belit. Ini antara lain disebabkan karena apa yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Misalnya ungkapan Lorong-lorong tidur yang tuli mengandung metafora ganda. Metafora ganda ini diuraikan dulu menjadi dua, yaitu ‘lorong tidur’ dan ‘lorong tuli’. Kemudian kita meneliti kata-kata itu menurut arti harfiah dan kiasan. Mengingat konteksnya, maka ‘lorong tuli’ rupanya dipakai menurut arti kiasan, sedangkan ‘tidur’ menurut arti harfiah. Kalau kita tinjau ‘lorong tuli’ tersendiri, maka ‘lorong’ dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ‘tuli’ sebagai sebuah metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang diperbandingkan, artinya mencari kata-kata lain sebagai pengganti ‘tuli’ dan ‘lorong’ sehingga terjadi suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai arti. ‘Lorong tuli’ mungkin bisa ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi kenyataan, seperti orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ‘Lorong tidur’ dapat diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi). Jadi apa yang dibandingkan ialah ‘bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan’.
Pembedaan metafora dengan metonimi dalam beberapa kasus dapat ditentukan berdasarkan ciri hubungannya dengan kata yang diperbandingkan atau digantikan. Pada hubungan yang metaforis penentuannya dapat dilakukan dengan melihat karakteristik hubungan kemungkinan kata yang diperbandingkan secara paradig-matis. Pernyataan Berkakuan kapal di pelabuhan, misalnya, mengandaikan “kapal” secara paradigmatis dapat digantikan dengan kata “tubuh”, pernyataan itu dapat dikomposisikan menjadi “Berkakuan tubuh di pelabuhan”. Pernyataan yang metonimik hanya merujuk pada hubungan secara sintagmatis, dalam arti antara kata yang menggantikan itu tidak dapat membentuk hubungan secara paradigmatis.

Bentuk pernyataan yang juga digolongkan sebagai bahasa kias ialah ironi. Kata ironi berasal dari eiron yang berarti ‘penyembunyian’, ‘penipuan’, ‘pura-pura’. Dengan demikian pernyataan yang secara tersembunyi mengan-dung pengertian lain selain yang secara eksplisit dinyatakan merupakan ironi. Dalam ironi penyampaian pengertian secara tidak langsung itu dinyatakan melalui penggunaan kata/kata-kata yang ditinjau dari ciri semantisnya bertentangan atau mungkin memiliki acuan lain yang memiliki hubungan asosiatif. Bahasa kias yang ironik ini merupakan wujud pasemon dalam wacana puisi.

Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada bentuk, citraan yang ditampilkan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Guna memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.

Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan (1) perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil maupun peng-hubungan ciri realitas natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu oleh kata-kata; (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuk-nya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan secara esensial terkait dengan kreasi pembentuknya.

C. KUALITAS PUISI
Dari berbagai referensi dan pengalaman, kiranya dapat diajukan 10 konsep puisi yang berkualitas. Pertama, sebuah puisi dapat dikatakan berkualitas apabila merupakan usaha merekam isi jiwa penyairnya. Rekaman ini tentu menggunakan piranti bahasa. Puisi memang merupakan benuk rekaman isi jiwa penyairnya dengan wahana berupa bahasa. Jika penyair merasa telah sanggup merekam isi jiwanya ke dalam bahasa puisi, dapat diharapkan puisi itu memenuhi konsep puisi berkualitas. Tentu saja upaya merekam isi jiwa itu tak mudah, sebab senyatanya setiap penyair merasa tidak pernah puas akan apa yang telah diungkapkan.

Kedua, puisi yang berkualitas adalah puisi yang komunikatif. Bentuk rekaman kejiwaan itu haruslah komunikatif. Banyak puisi yang dipandang kurang berkualitas lantaran kurang komunikatif. Puisi gelap, puisi yang terlampau menggunakan simbol pribadi. Perihal "komunikatif"ini harus disikapi secara lentur, sebab semua puisi yang komunikatif-gamblang, terang-benderang tidak selalu berkualitas. Pengertian "komunikatif" ini hendaklah diproyeksikan pada sebentuk interaksf-dialektif, pesan komunikasiitu tertangkap namun tidak semuanya terpahami, puisi selalu menyimpan misteri dan jarak pemaknaan. Puisi yang mampu menggoda pembaca untuk terus mendedahkan pesan komunikasi, bisa jadi ttergolong puisi komunikatif yang berkualitas.

Ketiga, puisi yang berkualitas menunjukkan adanya keteraturan. Keteraturan puisi bergantung sistem puisi, kode bahasa, pengemasan pesan, penggunaan piranti keindahan bahasa dan kedalaman makna pesan. Ada keteraturan antaraa bahasa sebagai alat pemapar dan isi pesan yang dipaparkan. Stylistika, retorika, etika menjadi benang merah yang meronai puisi yang teratur. Bagaimana pun juga selain cerdas bergaya,beretorika, juga mampu mengemas pesan yang indah.

Keempat, setiap puisi yang berkualitas menunjukkan adanya integrasi semua unsur, aspek,dan komponen pembentuk puisi. Di dalam puisi berkualitas terdapat keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresinya. Integrasi atau perpaduan antara isi,bentuk,bahasa, dan ekspresi ini menjadi pertaruhan bagi puisi berkualitas.

Kelima, sebuah puisi berkualitas menunjukkan adanya penemuan. Seperti ilmuan dihargai oleh masyarakat lantaran penemuan ilmiahnya yang baru  sehingga memperkaya ilmu, maka penyair yang mumpuni akan sanggup menawarkan adanya penemuan. Penemuan di sini mungkin terkait dengan ertetika, pola ucap, teknik pemaparan, dan pengemasan pesan yang memesona. ChairilAnwar dihargai sebagai penyair lantaran menemukan pola ucapekspresif dalam sajak-sajak yang digubahnya. Sutardji CalzoumBachri dihargai dan diakui sebagai presiden penyair Indonesia lantaran menemukan kekuatan mantra sebagai media ucap puisi-puisinya. Afrizal Malna diakui kepeloporannya dalam mengemas massifikasi dan personifikasi benda-benda dalam puisi-puisinya.

Keenam, puisi yang berkualitas menunjukkan ekspresi penyairnya. Puisi berkualitas dengan demikian hanya bisa dihasilkan oleh penyair yang benar-benar intens, serius, dan mampu mengaktualisasikan sikap,visi dan misinya dalam ekspresi yang tepat di dalam puisi-puisi yang digubahnya. Puisi berkualitas memilikikadar ekspresivitas yang tinggisebagai realisasi kepekaan si penyairnya.

Ketujuh, puisi yang berkualitas selalu pekat,kental,kenyal, lentur,luwes,dan dinamis. Semua itu merupakan buah perenungan atau pemikiran reflektif penyairnya. Penyair dalam konteks ini memang juga seorang pemikir,budayawan, sosiolog,dan psikolog sekaligus.

Kedelapan, puisi yang berkualitas selalu berisi penafsiran kehidupan. Sebuah puisi dihargai lantaran puisi itu mampu menunjukkan segi-segi baru dari kehidupan, memberikan arti kepada kehidupan dan peradaban.

Kesembilan,puisi berkualitas menunjukkan adanya pembaruan, baik dalam tataran ide,kemasan, bentuk,bahasa, dan ekspresinya. Puisi berkualitas menunjukkan bahwa penyair yang menggubahnya tergolog pionir, pembaharu, dan mungkin perintis jalan dengan estetika baru.

Kesepuluh, puisi yang berkualitas mampu memberikan penghiburan spiritual, batiniah, rasa senang, puas, mempesona,dan mungkin membius pembacanya. Jika ada pembaca yang larut kedalam puisi, itu pertanda puisi itu memiliki kualitas. Puisi berkualitas tidak pernah membosankan saat dibaca, bahkan sampai berulang-ulang membacanya.

D. PROSES KREATIF PENCIPTAAN PUISI

SAJAK ATAU PUISI ialah gelegak riak jiwa, kesan-kesan perseptual, rekaman rangsang puitik yang tumbuh memutik di antara kelopak bunga kata. Sajak selalu bergerak serupa riak menjadi ombak lalu bergulung serupa gelombang rasa dengan irama nada sebagai hasil olah pikir, dzikir, dan menafsirkan hidup dan kehidupan. Sajak yang kutulis kadang serupa kaca jerning begitu bening hingga kita dengan mudah bercermin melihat aneka bayang wajah sendiri, orang lain, semesta, dan bisa jadi wajah Tuhan yang secara mimesis tampil dalam aneka rupa. Sajak serupa ini kunamakan sebagai sajak "Sederhana untukmu": kutulis sebuah sajak sederhana untukmu dan untuk-Mu. Sebuah sajak mengelopak di dada, kupersembahkan untukmu dan untuk-Mu. Inilah sajakku, suara sukma yang terpadu melagukan nama-nama mesra menyentuh kalbu".

Sebuah sajak, dalam konteks tertentu serupa dengan hidangan yang siap untuk disantap:"Santaplah sajakku. Anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh dengan kecintaan, sebab di sana ada desah sederhana untuk keselamatan perhelatan". Penggubah sajak, dalam kaitan ini serupa koki yang meracik hidangan buat persembahan. Sajak yang hakikatnya sebuah masakan itu lalu terhidang untuk keselamatan perhelatan. Ya, perhelatan,sebab hiup ini senyatanya merupakan serangkaian ritual peribadatan yang disebut perhelatan. Hidangan berupa sajak yang tersaji memang harus dinikmati dengan kegairahan tersendiri: Santaplah sajakku, anggurnya mewangi. Santaplah buah yang terhidang penuh gairah, sebab di sana ada desah sederhana untukmu. Tugas penggubah sajak telah selesai begitu telah menyajikan puisi di atas meja hidangan.

Selama menekuni karir di bidang penulisan kreatif puisi, saya menemu sebuah konsepsi estetis bahwa puisi itu merupakan saksi yang sexy. Bagi saya, puisi semata-mata berfungsi sebagai saksi. Saksi yang sexy. Sexy? Ya, keseksian menurut pertimbangan nalar saya bukan semata-mata tampil dalam bentuk atau sosok fisikal semata, dan yang terutama ialah keseksian secara batiniah. Nah, "apa pula keseksian yang bersifat batiniah ini?", mungkin Anda bertanya? Baiklah, saya akan berusaha memperkenalkan konsep ini: puisi sebagai saksi yang sexy.

Menurut pertimbangan saya, berdasarkan sedikit pengalaman selama ini, puisi hadir sebagai saksi. Melalui puisi yang diciptakan oleh penyair, siapa pun penyair itu, puisi yang dihadirkannya pertama-tama merupakan pengalaman pribadi, sosial, atau religius terhadap apa yang terjadi di sekeliling yang bersifat kontekstual. Puisi yang hakikatnya merupakan pengalaman yang paling berkesan bagi penyairnya itu, langsung atau tidak langsung memberikan kesaksian atas berbagai fenomena yang secara kontekstual terjadi pada masanya.

Sebagai kesaksian, puisi mengabadikan peristiwa (suasana, fenomena, berita batin, sikap, visi dan misi) yang paling berkesan, yang realisasinya dapat berupa potret hitam putih, gambar beraneka warna, atau lukisan yang terpapar menurut berbagai aliran melalui pilihan kata yang mewakili aneka pencerapan dan perenungan penyairnya. Puisi dengan demikian berfungsi sebagai saksi mata batin penyairnya. Dalam konteks ini, puisi yang sexy ialah puisi yang mampu mengusung spiritualitas, rohaniah, dan batiniah di mata batin penyair dan pembaca puisi.

Selain sebagai saksi puisi ternyata dalam menjalankan fungsinya berpenampilan sexy. Sexy di sini hendaklah diperluas perspektifnya. Keseksian puisi tidak semata-mata tampil melalui tipografi (tata wajah), diksi (pilihan kata) yang diperindah, melangit, di awang-awang, abstrak, dan seterusnya. Puisi tampil sexy bukan semata-mata pada keindahan bahasanya, meskipun keindahan bahasa menjadi ciri pribadi puisi yang sexy, keseksian puisi juga tampil melalui keindahan makna (perenungan, refleksi, nilai, guna, dan manfaatnya). Pemakaian bentuk bahasa yang indah memang sebagai wadah penyampaian makna yang juga indah. Keseksian puisi hadir melalui keindahan bahasa dan keelokan makna bagi kehidupan manusia. Puisi yang sexy, dengan demikian merupakan puisi yang memiliki harmonisasi, intensifikasi, dan korespondensi antara bahasa dan pendaran maknanya.

Puisi yang sexy mempersyaratkan adanya media ekspresi (bahasa) yang indah dan substansi isi (makna) yang juga indah. Keelokan bahasa yang membungkus makna yang bernilai tentu akan mempercantik sosok puisi. Namun, demikian harus buru-buru ditambahkan bahwa fenomena keindahan bahasa dan makna sebagai penanda keseksian puisi ini realisasinya dapat beraneka ragam. Keseksian puisi, sesuai dengan evolusi selera pembaca, terentang antara sosok puisi yang diafan (mudah dipahami) hingga sosok puisi yang prismatis (banyak memendarkan makna seperti prisma). Memang ada sosok puisi yang tergolong hermetis (gelap) yang susah dipahami oleh pembaca. Puisi yang gelap, yang susah dipahami oleh pembaca menurut saya tidaklah termasuk pada puisi yang seksi sebab di sana terdapaat kebuntuan komunikasi. Puisi yang seksi adalah puisi yang "komunikatif" (komunikatif dalam tanda petik).

Puisi hakikatnya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi protes, puisi kamar, atau puisi auditorium semuanya merupakan kesaksian penyairnya. Puisi demo, yakni puisi yang memuat protes berupa unjuk rasa secara jelas memberikan kesaksian terhadapfenomena zaman. Puisi kamar, yakni puisi yang cocok dibaca seorang diri di dalam kamar, yang biasanya berisi perenungan penyairnya, hakikatnya juga memberikan kesaksian atas berbagai hal baik secara personal, sosial, atau dalam konteks religiusitas penyairnya. Demikian pula puisi yang bersorak auditorium, yakni puisi yang cocok dibacakan di hadapan audiens di auditorium (panggung) juga berisi kesaksian penyair terhadap gejolak zaman.

Demikian, salam budaya.

SELAMAT BERKREASI UNTUK MENJADI DIRI YANG BERPRIBADI
Jambi, 16 April 2011

Rabu, 06 April 2011

PERLINDUNGAN HUKUM HAK CIPTA ATAS KARYA SASTRA * Oleh : Abdul Bari Azed**

I.  PENDAHULUAN

Sebelum membicarakan  hal  utama yaitu Hak Cipta Atas Karya Sastra  sebaiknya  kita  melihat dahulu  konsep dasar perlindungan  dari Hak Cipta  itu sendiri, hal tersebut sangatlah penting untuk kita pahami bersama  agar diperoleh suatu  presepsi yang sama  dalam memahami Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Sastra yang  menjadi  topik dalam  Temu Sastra Indonesia ini.
Sebagaimana telah diketahui bahwa Hak Cipta termasuk dalam salah satu rezim perlindungan Hak Kekayaan Intelektual  (HKI) yang terbagi menjadi :
Hak Cipta  (Copyright) dan Kekayaan Industri (Industrial  Property) yang terdiri dari  Paten , Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia dagang.
Pada saat sekarang bangsa Indonesia sedang berhadapan dengan pelbagai perubahan terutama menghadapi perkembangan teknologi digital yang membawa dampak pada kehidupan manusia dalam masyarakat. Perubahan tersebut akan mempengaruhi pada sikap  pola kerja serta pola pikir bagi para intelektual yang segera dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dalam perkembangan tersebut dan berusaha untuk menanggulangi dampak negatip dari adanya kemajuan teknologi yang sangat cepat terutama di bidang hak cipta.
Dalam rangka persaingan global pada dasarnya Indonesia memiliki dukungan yang sangat potensial di pasar global yaitu memiliki keaneka ragaman etnik / suku bangsa dan budaya serta kekayaan di bidang seni dan sastra dengan pengembangan-pengembanganya namun demikian  memerlukan perlindungan  Hak Cipta  terhadap kekayaan intelektual negara yang lahir dari keanekaragaman tersebut.
Keberadaan HKI memang tidak lepas dari kegiatan ekonomi, industri  dan perdagangan, Indonesia telah menjadi anggota dari berbagai konvensi/perjanjian internasional di bidang hak kekayaan intelektual dan khususnya di bidang hak cipta yang memerlukan pengejawantahan lebih lanjut dalam sistim hukum nasionalnya.
Perkembangan perdagangan, Industri dan investasi telah sedemikian pesat sehingga diperlukan suatu undang-undang  di bidang Hak Cipta yang dapat menampung perkembangan tersebut dalam rangka meningkatkan perlindungan bagi pencipta, pemilik hak yang berkaitaan , dan dalam keseimbangan masyarakat luas. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas pemerintah mengganti peraturan Undang-undang Hak Cipta yang ada dengan Undang-undang Hak Cipta yang baru.
Peranan dan tantangan sistim HaKI  di masa depan memiliki arti sangat penting untuk di pikirkan bersama karena; Sistim HKI menciptakan iklim perdagangan dan investasi yang kompetitif; dapat meningkatkan pengembangan teknologi, ilmu pengetahuan seni dan sastra dan budaya serta dapat mengembangakan pengembangan  ekspor produk local yang berkarakter dan memiliki tradisi budaya daerah.
Pemerintah menyadari akan arti penting perlindungan HaKI secara global adalah untuk mengundang investor asing lebih banyak menanamkan modalnya di Indonesia ,sehingga pada tahun 1994 Pemerintah Indonesia meratifikasi TRIPs (TRADE- RELATED ASPECT OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS)   Perlindungan dan Penegakan  Hukum  HaKI bertujuan untuk mendorong timbulnya inovasi, pengalihan dan penyebaran teknologi dan diperoleh manfaat bersama  antara penghasil dan pengguna pengetahuan teknologi ,dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Untuk memenuhi ketentuan dalam TRIPs Indonesia telah melakukan perubahan atau revisi dalam perundang-undangan di bidang HaKI  serta Undang -Undang mengenai Hak Cipta sebelumnya, dan mengganti dengan Undang-undang Hak Cipta yang baru.
Sejalan dengan perubahan Undang-undang HKI  tersebut Indonesia telah meratifikasi 5 (lima) persetujuan internasional dibidang HaKI yaitu :
a)            Keputusan Presiden No.15 Tahun 1997 tentang pengesahan the Paris Convention for the Protection of Industrial Property Organization
b)            Keputusan Presiden No.16 Tahun 1997 tentang pengesahan the Patent Cooperation Treaty (PCT) and regulation under PCT
c)            Keputusan Presiden No.17 Tahun 1997 tentang pengesahan the Trademarks Law Treaty.
d)            Keputusan Presiden No.18 Tahun 1997 tentang pengesahan Berne Convention for the Protection of literary and Artistic Works
e)            Keputusan Presiden No.19 Tahun 1997 tentang pengesahan the WIPO Copyrights Treaty.

Selain persetujuan Internasional tersebut diatas Indonesia bermaksud meratifikasi dua perjanjian international lainnya yaitu adalaah Kovensi Roma  ( Rome Convention , 1961 adalah International Convention  for the Protection of Performer, Producers of Phonograms and Broadcasting  Organisations ) dan WPPT (WIPO Performaance  and Phonogram Treaty 1996 ).

 



II. HAK CIPTA

Perlindungan hukum terhadap karya cipta telah berkali-kali diadakan perubahan yaitu Undang-Undang  No 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang  No 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah lagi dengan dengan Undang-Undang No 12 tahun 1997 dan akan diganti dengan Undang- Undang Hak Cipta yang baru.Ruang lingkup perlindungan Hak Cipta meliputi  karya Cipta  di bidang seni,sastra  dan ilmu pengetahuan yang sangat luas meliputi :
a.            buku, program koputer,pamlet , susunan perwajahan karya tulis karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b.            ceramah,  kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c.             alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan ;
d.            lagu  atau musik dengan atau tanpa teks;
e.            drama ,atau drama musikal, tari , koreografi , pewayangan, patomim;
f.              seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis,gambar seni ukir,seni kaligrafi, seni pahat, seni  patung, kolase,seni terapan;
g.            arsitektur;
h.            peta;
i.              seni batik;
j.              fotografi;
k.             sinematografi;
l.              terjemahan ,tafsir, saduran,bunga rampai ,dan karya lainnya  dari hasil pengalih wujudan; .

Ciptaan sebagaimana disebut dalam huruf l dilindungi sebagai ciptaan tersendiri  tidak mengurangi Hak Cipta atas ciptaan aslinya.Dalam perlindungan sebagaimana dimaksud diatas  termasuk juga semua ciptaan yang tidak atau belum diumumkan ,tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.  
Berkaitan dengan hal tersebut diatas pengertian dari hak Cipta adalah hak eklusif bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Catatan: pengertian mengumumkan atau memperbanyak  termasuk kegiataan menterjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkaan, mempertunjukan  kepada publik, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.

Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama  yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, ketrampilan, atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
Hak yang dimiliki oleh Pencipta adalah :
a).     Hak Ekonomi yaitu hak untuk mengumumkan , memperbanyak, memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya. Hak Ekonomi ini dapat di alihkan kepada orang atau badan hukum., Hak ekonomi ini dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk Hak Terkait.
b).     Hak Moral adalah hak yang tidak dapat dialihkan , karena pencipta tetap melekat pada ciptaannya ,sehingga disini terdapat hubungan yang erat antara pencipta dan ciptaannya yang pada dasrnya tidak dapat dihilangkan  atau dihapus  tanpa alasan apapun , walaupun  Hak Cipta atau Hak Terkait trelah dialihkan.

Undang-undang  Hak Cipta  mengatur pembatasan Hak Cipta    
Tidak dianggap sebagai pelanggaraan Hak Cipta :
a.            Pengumuman dan /atau perbanyakan Lambang Negara dan lagu Kebangsaan  menurut sifatnya yang asli;
b.            Pengumuman dan /atau Perbanyakan segala sesuatu yang di  umumkan dan/ atau diperbanyak oleh atau atas nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri  atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan / atau diperbanyak atau;
c.             Pengambilan berita acktual baik seluruhnya maupun sebagian dari Kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan  secara Lengkap.
Pembatasan Hak Cipta berdasarkan ketentuan pasal 15 Undang-Undang Hak Cipta bahwa dengan syarat sumbernya harus disebut atau dicantumkan maka tidak dianggap sebagai pelanggar Hak Cipta :
a.            Penggunaan ciptaan pihak lain untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah dengan ketentuan dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
b.            Pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya maupun sebagian guna keperluan pembelaan didalam dan diluar pengadilan;
c.             Pengambilan ciptaan pihak lain baik seluruhnya maupun sebagian guna keperluan :
1.            Ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
2.            Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi pencipta;
d.            Perbanyakan suatu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dalam huruf braile guna keperluan para tuna netra kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersil;
e.            Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau lembaga pendidikan atau pusat dokumentasi yang non komersial semata-mata untuk keperluan aktifitasnya;
f.              Perubahan yang dilakukan atas karya arsitektur seperti ciptaan bangunan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis;
g.            Pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.

Pengaturan Lisensi wajib  dalam Undang-undang Hak cipta :
Untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, Ciptaan dalam ilmu pengetahuan dan sastra Menteri setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta  dapat :
a.            Mewajibkan Pemegang  Hak Cipta  untuk melaksanakan sendiri penerjemahan  dan / atau Perbanyakan ciptaan tersebut  di wilayah Negara Republik Indonesia dalam waktu yang di tentukan;
b.            Mewajibkan Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan untuk    memberikan izin kepada pihak lain untuk menerjemahkan/ atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.             Menunjuk pihak lain untuk melakukan penerjemahan/atau perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b;
Kewajiban untuk menerjemahkan sebagaimana dimaksud diatas  dapat dilaksanakan setelah lwwat jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan dibidang ilmu pengetahuan dan sastra selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia;
Kewajiban untuk memperbanyak seperti dimaksud diatas dapat dilaksanakan setelah lewat jangka waktu :
a.            3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak diwilayah Negara Republik Indonesia.
b.            5 (lima) tahun sejak diterbitkan buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c.             7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu belum pernah diperbanyak di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Penerjemahan atau perbanyakan seperti dimaksud diatas hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
pelaksanaan ketentuan mengenai pemberian imbalan besarnya ditetapkan dengan keputusan Presiden. ketentuan  tentang tata cara pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak  diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden.

Pengaturan Hak Cipta atas Potret diatur tersendiri.  
Untuk memperbanyak atau mengumumkan hak atas potret harus mendapat izin dari orang yang di potret atau ahli warisnya.
Apabila potret itu memuat dua orang atau lebih, Pemegang Hak Cipta harus mendapat ijin dari setiap orang dalam potret itu, hal ini berlaku hanya potret yang dibuat  atas permintaan sendiri  dari orang yang di  Potret dan permintaan yang dilakukan atas nama orang yang di potret serta untuk kepentingan yang di potret.
Perlindungan Hak Cipta diberikan selama hidup pencipta ditambah 50 tahun sejak ciptaan tersebut diumumkan : untuk a) buku, pamflet, dan ciptaan hasil karya tulis lainnya; b) Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lainnya yang diwujudkan dengan cara diucapkan ; d) Ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks, termasuk karawitan; e) drama tari (koreografi), pewayangan, pantomim; f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, seni terapan yang berupa seni kerajinan tangan; g) Arsitektur; h) peta; i) Seni batik; j) Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.
Hak Cipta atas ciptaan : Program komputer, Sinematografi, dan data base , fotografi, database, karya pengalihwujudan,  diberikan perlindungan , selama lima puluh tahun sejak pertama kali diumukan. Hak cipta seperti yang disebutkan diatas ( a-j ) yang dipegang oleh badan hukum diberikan untuk perlindungan selama lima puluh tahun.
Rekaman suara ,Karya pertunjukan, diberikan selama 50 th (lima puluh tahun) sejak pertama kali di umumkan termasuk apabila dimiliki  atau di pegang oleh suatu Badan hukum. Untuk karya siaran perlindungan hukum akan diberikan selama 20 tahun sejak pertama kali diumumkan.
Hak Cipta  atas ciptaan yang dipegang atau dilaksanakan oleh negara  diberikan perlindungan tanpa batas waktu.

Dewan Hak Cipta

Dewan Hak Cipta ini terdiri dari wakil  pemerintah ,wakil organisasi profesi yang memiliki kompetensi di bidang Hak Cipta diangkat dan di berhentikan oleh Presesiden atas usul Menteri. Tugasnya adalah untuk membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan hukum dan pembimbingan serta pembinaan Hak Cipta. dimana nanti tugas, fungsi,tata kerja pembiayaan diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Pada dasarnya perlindungan hak Cipta merupakan perlindungan yang otomatis, pendaftaran tidak merupakan suatu kewajiban ,karena tanpa didaftarpun suatu ciptaan tetap dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta. Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas isi ,arti atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan.
Apabila pencipta atau pemegang  Hak cipta tetap ingin melakukan pendaftaran maka pendaftaran ciptaan dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh pencipta atau oleh pemegang hak cipta kepada Menteri Kehakiman dan HAM dengan mengisi formulir  ,diajukan secara tertulis  dalam bahasa Indonesia  dalam rangkap dua  di sertai dengan biaya pendaftaran dan  dilengkapi dengan  contoh ciptaan atau penggantinya.
Hak Cipta dapat beralih dan dialihkan ,baik seluruh maupun  sebagian, karena    :
§    Pewarisan
§    Hibah
§    Perjanjian tertulis
§    Sebab-sebab yang dibenarkan UU.

Lisensi
Pemegang Hak Cipta berhak memberikan lisesnsi berdasarkan perjanjian, untuk melaksanakan hak ekonominya selama jangka waktu yang diperjanjikan, dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Royalti diberikan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman  kepada kesepakataan organisasi profesi.
Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia  atau memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku. Perjanjiaan lisensi tersebut wajib dicatat di Direktorat Jenderal Ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP.
Pelanggaran Hak Cipta dianggap  sebagai suatu kejahatan dan Delik dalam Hak Cipta adalah merupakan  delik biasa. Delik pidana yang diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 diklasifikasi sebagai delik aduan, kemudian dalam Undang-undang No.7 Tahun 1987 pada pada Undang –undang No 12 tahun 1997 serta pada undang-undang Hak Cipta  yang baru delik nya tetap adalah delik biasa . Hal ini disebabkan perlindungan hak cipta timbul secara otomatis  yang berbeda dengan undang-undang HaKI lainnya  dimana haknya timbul berdasarkan pendaftaran selanjutnya diharapkan aparat penegak hukum dapat secara aktif untuk mengambil langkah-langkah dalam menangani pelanggaran Hak Cipta tanpa adanya pengaduan dari pencipta atau pemegang Hak Cipta.
Perlindungan terhadap ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, sesuai dengan Bern Convention perlu adanya penegasan pengaturan mengenai pemberian perlindungan bagi ciptaan yang tidak diketahui siapa penciptanya dan belum pernah diterbitkan. Untuk ciptaan seperti tersebut  diatas Hak Ciptanya dikuasai oleh negara,sedangkan terhadap ciptaan yang telah diterbitkan tetapi tidak diketahui siapa penciptanya , maka hak ciptanya di pegang oleh penerbit.
Ketentuan pidana di bidang Hak Cipta; tercantum dalam :
Pasal 44
(1)         Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) pada undang-undang Hak Cipta yang baru dipidana paling singkat satu bulan penjara  dan denda paling sedikit satu juta rupiah atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan /atau denda Rp.5.000.000.000( lima miliar rupiah ).
(2)         Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan ataubarang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dalam Undang-undang Hak Cipta yang baru denda menjadi Rp. 500.000.000.-
(3)         Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun dan atau denda paling banyak Rp 500.000.000.-( lima ratus juta rupiah )
Permasalahan hak Cipta di Indonesia,
Pada dasarnya sama dengan permasalahan hak Cipta di negara-negara lain baik dinegara maju maupun negara berkembang yang membedakan adalah jumlah dan kualitas. Sebagai contoh pembajakan buku , kaset,CD,musik dsb  di negara majupun  terjadi akan tetapi jumlah pelanggarannya sangat sedikit sekali,sedangkan di Indonesia dikatagororikan salah satu negara yang terbesar melakukan pembajakan.Berkembangnya kemajuan tenologi digital sangat mempermudah pembajakan dipelbagai bidang seperti dalam CD,DVD, Optical Disk dan juga penayangan film pada internet banyak yang merupakan film bajakan .Dalam kesempatan ini Indonesia ditempatkan dalam kelompok negara priority wacht list

III. HAK CIPTA ATAS KARYA SASTRA
Karya sastra tidak dapat dipandang sebelah mata. Dari karya sastra kita mendapatkan pembelajaran. Menengok pada sejarah, ternyata dari lingkup karya sastralah konsep hak cipta muncul. Dimulai sejak 2500 tahun yang lalu yakni, pada zaman Yunani Kuno dimana diciptakan tanda baca dan tulis yaitu ’titik dan koma’ oleh Pehriad. Namun oleh pemerintah Yunani ternyata kurang mendapat tanggapan. Justru di pemerintahan Roma, Pehriad, melalui perjuangan anaknya, Appulus, mendapatkan pengakuan sekaligus penghargaan berupa honorarium atas penggunaan ’titik’. Penggunaan tanda baca ’koma’ diserahkan bagi pemerintahan Roma. Dapat dibayangkan betapa repotnya kita apabila tidak pernah diciptakan kedua tanda baca ini. Suatu karya tulis tidak akan memiliki lagu ataupun keindahan.
Apa yang dilindungi sebagai suatu ciptaan sebagaimana yang dikonsepkan oleh Undang-Undang Hak Cipta dimanapun juga di seluruh dunia, adalah: ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Karya sastra diartikan sebagai suatu karya tulis. Pertanyaan berikutnya adalah karya tulis yang seperti apa?
Sampai sejauh ini, cukup sulit untuk mendefinisikan apa yang diartikan sebagai karya sastra. Aristoteles mungkin mengartikan karya sastra sebagai hasil karya orang-orang yang mampu mewujudkan ide yang ada dalam pikirannya disesuaikan dengan realita masyarakat. Maka, hasil akhirnya suatu karya sastra lebih cenderung sebagai pengejawantahan kehidupan seorang pengarang dengan imajinasi-imajinasinya sebagai individu maupun dalam kehidupannya sebagai suatu masyarakat. Tidak heran karya sastra bersifat sangat ekspresif, kritis bahkan ada yang vulgar. Sering saya dibuat terkagum-kagum pada saat membaca suatu karya sastra dimana seorang pengarang begitu mahir menyatukan kata-kata asli ataupun kiasan yang oleh orang awam seperti saya harus dibaca berulang-ulang, dan pada saat saya akhirnya mengerti maknanya, mampu membuat saya tersenyum.
Uniknya lagi suatu karya sastra, terkadang hampir sama dengan lukisan abstrak. Pembaca dapat menginterpretasikan karya sastra jauh melebihi maksud pengarang ataupun bahkan berbeda sama sekali dengan maksud si pengarang. Interpretasi ini tentunya juga tergantung dari latar belakang si pembaca yang berbeda-beda. Disinilah mungkin yang diartikan sebagai kematian pengarang, karena pada saat pembaca membaca suatu karya sastra, si pengarang akan ditiadakan. Pembaca akan sibuk sendiri dengan pengartian-pengartian mereka atas karya sastra tersebut.
            Apa yang membedakan karya sastra dengan karya tulis biasa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bahwa karya sastra adalah karya tulis yang menggunakan bukan bahasa sehari-hari, memiliki keaslian dan keartistikan dalam bahasa dan pengungkapannya. Bahkan Dr. Abdullah Dahana mengatakan bahwa arti sastra sendiri adalah ilmu yang mempelajari kebudayaan. Menurutnya sejauh ini definisi sastra terlalu dipersempit hanya dalam arti sastra saja.
            Definisi karya sastrapun menjadi tugas untuk dijawab oleh kalangan pemerhati karya sastra. Apalagi melihat peraih nobel sastra ada yang berasal dari kalangan yang justru bukan sastrawan. Misalnya saja Clifford Geertz yang menulis tentang sabung ayam di Bali. Karyanya mengangkat fenomena masyarakat di Bali, menceritakan latar belakang dari kegiatan sabung ayam, makna-makna yang terkandung dari kegiatan-kegiatan tersebut. Dengan demikian apakah definisi dari suatu karya sastra masih meliputi bahasa yang harus indah? Mungkin lebih tepat apabila sastra diartikan sebagai budaya. Tinggal pembatasannya yang harus diperjelas.
            Apapun definisi karya sastra, hak cipta tetap memberikan perlindungan. Namun karena banyaknya penegak hukum yang awam akan karya sastra, sudah seharusnya para sastrawan mulai aware, setidaknya untuk mau melindungi hak ciptanya.
            Di Indonesia, kasus hak cipta yang cukup marak masih bersifat pembajakan buku, belum sampai ke tahap pelanggaran hak cipta pada kutipan, pembacaan oleh pihak yang tidak ber hak. Berbeda dengan di Eropa, seperti yang dialami oleh Taufiq Ismail. Stasiun radio Denmark memberikan royalti kepada Taufiq karena sajaknya dibacakan oleh radio tersebut. Disinilah uniknya, perbedaan negara tidak menghalangi seseorang yang beritikad baik untuk membayar royalti atas karya cipta orang lain yang telah dimanfaatkannya, walaupun kecil kemungkinannya si Pencipta tahu kalau karyanya telah dieksploitasi. Hal seperti ini patut dicontoh oleh para pengguna karya cipta orang lain.
            Sastrawan disini juga harus lebih hati-hati terutama dengan kemajuan tehnologi. Misalnya saja adanya mesin pencari Google yang akan meluncurkan portal yang didedikasikan untuk dunia sastra. Mesin ini akan mempromosikan semua bentuk karya sastra secara online. Tentunya kecanggihan jaman memiliki nilai positif dan negatif. Positif untuk seseorang dapat lebih mudah mempublikasikan karyanya, negatif, apabila suatu karya cipta dimanfaatkan oleh orang lain tanpa memberikan imbalan yang layak bagi penciptanya. Apalagi kondisi ini sudah dimudahkan dengan adanya sistem online.
            Walaupun undang-undang hak cipta merupakan delik biasa dan bukan merupakan delik aduan, namun tanpa bantuan para pencipta yakni sastrawan disini pastinya sangat sulit untuk menegakkan hukum hak cipta atas karya sastra.
            Pemerintah telah membuat undang-undang hak cipta yaitu dengan maksud memberikan penghargaan bagi pencipta berupa hak moral dan hak ekonomi. Apabila hak-hak ini hanya sekedar penghias saja tentunya sangat disayangkan. Para sastrawan harus memperjuangkan hak mereka. Dengan memperjuangkan hak moral, sastrawan akan dihormati namanya, dan dengan hak ekonomi, sastrawan akan digantikan jerih payahnya.
            Tidak pernah ada istilah terlambat, budaya bangga ditiru tentunya harus sudah diganti. Bangga dengan adanya acknowledgement tentunya akan lebih indah. Indah seperti karya-karya sastra yang telah diciptakannya.

 
Kesimpulan

1.      Bahwa tingginya budaya suatu bangsa tercermin dari karya-karya  seni dan sastra yang dihasilkan oleh bangsa itu sendiri.
2.      Guna menghargai dan menumbuh kembangkan suatu seni  dan sastra perlu  adanya   perlindungan hukum bagi para pencipta.
3.      Dalam era  globalisasi seperti saat sekarang ini  kesenian dan sastra   telah menjadi  komoditi  komersial  yang dapat mendatangkan keuntungan besar.
4.      Hanya saja sebagian besar seniman/seniwati  tidak menyadari atau bahkan tidak tahu sama sekali kalau hasil karyanya telah dikomersialkan orang lain yang seharusnya dapat mereka nikmati sebagai  jerih payah menciptakan karya seni atau sastra tersebut.
5.      Oleh karena itu Temu Sastra Indonesia ini sangat penting artinya untuk memberikan solusi-solusi agar kesenian dan sastra Bangsa Indonesia terus tumbuh dan berkembang dengan baik tanpa melupakan jerih payah para pencipta, karena kalau para pencipta dan seniman sudah tidak ada kemauan  memajukan budaya berarti kemunduran  dari dari bangsa itu sendiri .









* disampaikan pada acara “Temu Sastra Indonesia” di Jambi, tanggal 9 -10Juli 2008

** Guru Besar FHUI, Sekjen Departemen Hukum dan HAM RI