Catatan Dimas Arika Mihardja
Patut dicatat, ada empat esai pendek yang berupaya mengapresiasi
sebuah puisi “Di Ruang Operasi” karya Kemala YK terkait Indonesian
Poetry Idol Edisi Oktober 2012. Selama dua pekan, redaktur BPSM
mencermati aneka komentar pendek dan esai-esai yang ditulis, sebuah esai
apresiatif yang dimaksudkan melatih diri berani menulis esai
apresiatif. Empat esai pendek itu lebih bercorak opini pribadi warga
BPSM. Masing-masing penulis esai pendek yang berupa opini pribadi itu
ditulis oleh (1) Doni Arman, (2) Bismi Rahimi, (3) Yusti Aprilina, dan
(4) Alfiah Muntaz. Mari kita baca kembali seutuhnya esai-esai pendek
terkait dengan Indonesian Poetry Idol Edisi Oktober untuk kemudian
ditentukan esai terfavorite.
Doni Arman dengan mengamalkan “teori bulu kuduk”-nya kang Acep Zamzam Noor menulis seperti ini:
BULU KUDUK SAYA DAN PUISI KEMALA YK
Kang Acep Zamzam Noor (AZM), tahun 2011 lalu, pernah menulis esai
'Puisi dan Bulu Kuduk' dalam sebuah buku setebal 290 halaman dengan
judul sama. Dalam esai itu, Kang AZM mengatakan bahwa bulu kuduk dapat
menjadi salah satu indikator berhasilnya sebuah puisi. Jika bulu kuduk
kita berdiri tanda merinding, setelah membaca sebuah puisi, maka dapat
dikatakan puisi tersebut telah berhasil menyampaikan sesuatu kepada
kita.
Membaca puisi Kemala Yk berikut, saya langsung merinding. Spontan,
karena puisinya tidak panjang, sehingga tidak perlu waktu lama untuk
mengalami hal tersebut.
DI RUANG OPERASI
senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam
BPSM, 2012
Membaca puisi ini, dapat saya simpulkan, bahwa Kemala Yk mengalami
hal yang ditulisnya tersebut. Kesimpulan ini muncul karena puisi ini
terasa penuh rasa. Apapun yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Kemala Yk
melalui puisi ini, menjadi tidak penting lagi bagi saya. Yang saya
tahu, puisi ini menghadirkan kengerian yang luar biasa dari sebuah ruang
operasi.
Kengerian pada detik-detik menunggu lampu kode di pintu ruang operasi
padam (tanda operasi selesai), sangat berhasil memecut saya untuk lebih
menghargai kesehatan. Tidak dapat dibayangkan jika operasi dengan degup
seperti ini terjadi pada diri saya. Pola hidup sembarangan dengan pola
makan yang juga sembarangan selama ini, tentu akan membawa saya ke ruang
operasi suatu saat nanti. Saya berjanji akan membenci dokter dan rajin
berolah raga, banyak minum air putih dan tidak begadang lagi jika tak
ada perlunya (seperti kata Bang Haji).
Hanya karena bulu kuduk yang berdiri saat membaca puisi Kemala Yk,
saya jadi sadar betapa pentingnya menjaga kesehatan agar tidak berakhir
di ruang operasi.
Darma 06/10/2012
Esai apresiatif Doni yang bertolak dari “teori bulu kuduk” langsung
menuliskan simpulan yang tentu saja bersifat subyektif. Subyektifitas
dalam pembacaan sebuah puisi adalah suatu kewajarana juga. Dasar yang
dijadikan pangkal tolak Doni ialah ukuran “like and dislike” (suka atau
tidak suka) setelah membaca sebuah puisi. Ukuran suka ataa tidak suka
ini lalu dikaitkan dengan merinding atau tidaknya bulu kuduk saat
melakukan pembacaan, sayangnya, Doni tidak berbagi kesan perasaannya
mengapa bulu kuduknya berdiri secara terurai, menelisik ke ceruk-ceruk
puisi yang diapresiasi, akibatnya segala kemungkinan pemaknaan dapat
didedaqhkan secara rinci. Pembaca esai pendek ini langsung disuguhi
kesimpulan dan pesan yang dapat dipetik dari puisi karya Kemala YK.
Jika Doni lebih menumpukan pada merinding atau tidaknya bulu kuduk, seorang Bismi Rahimi tampak
mengaplikasikan pendekatan parafrastis dalam esai apresiatifnya. Yuk
kita baca esai apresiatif Bismi Rahimi. Bismi Rahmini juga merespon
puisi karya Kemala YK, seperti ini:
Puisi berikut adalah puisi karya penyair Kemala YK yang dipublikasikan di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), sebuah group puisi Facebook;
DI RUANG OPERASI
senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam
BPSM, 2012
Johnson (dalam Tarigan, 1984: 5) berpendapat bahwa puisi adalah
peluapan spontan dari perasaan penuh daya yang bercikal-bakal dari emosi
kemudian berpadu kembali dalam kedamaian.
Bertolak dari pendapat Johnson di atas, puisi ternyata adalah luapan
perasaan dengan macam-macam emosi, yang pada akhirnya, hendaklah tetap
berujung kedamaian. Sesungguhnya begitu banyak pendapat tentang hakikat
puisi, tetapi saya ditarik untuk setuju dengan pendapat di atas ketika
membaca puisi karya Kemala YK yang dipilih mengikuti ajang IPI ini.
Awalnya, membaca puisi tersebut, saya menangkap upaya penyampaian kesan
perasaan di dalamnya. Impresi ini diungkapkan dengan singkat tapi cukup
sampai. Namun, ketika membaca lagi dan lagi, ternyata puisi ini tidaklah
sekadar penyampaian kesan/impresi belaka. Saat menyampaikan, ternyata
penyair ini juga menyelipkan pesan renungan yang menyihir.
Menggunakan judul “DI RUANG OPERASI”, secara tidak langsung, Kemala
YK telah berhasil membawa imajinasi saya ke suasana dalam ruang operasi.
Alhamdulillah, saya belum pernah mengalami langsung bagaimana suasana
tersebut. Kalaupun pernah, tentu saya dalam keadaan terbius tak sadar.
Bayangan bagaimana suasana di ruang operasi, saya peroleh dari film-film
yang pernah ditayangkan di televisi. Suasananya adalah sunyi dan
mencekam, kira-kira begitu. Begitu pula yang tertangkap dalam puisi ini.
Kemala YK membuka puisinya dengan larik pertama “senyap berkuasa
penuh”. Larik ini mampu menegasturunkan suasana yang telah tertangkap
pada judul. Larik ini pula yang membuat saya berpendapat bahwa puisi ini
akan menyampaikan sebuah kesan yang pernah dialami/dirasakan/diketahui
oleh penyairnya.
Diksi pada puisi “DI RUANG OPERASI” tidaklah rumit dan sulit
dimengerti. Kata-kata yang dipakai adalah kata-kata yang biasa dibaca
sehari-hari. Namun, setiap kata seakan bicara dan memang dipilih dengan
cermat. Untuk sebuah puisi pendek, kecermatan memilih kata ini sangat
menentukan keberhasilan sampainya puisi kepada pembaca. Dokter dan
perawat adalah makhluk hidup, tisu dan tong sampah adalah benda mati.
Dokter dan perawat dipasangkan sebagai simbol adanya usaha untuk sebuah
harapan. Tisu dan tong sampah dipasangkan, mungkin sebagai simbol usaha
membersihkan diri dari kotoran (dosa).
(PERENUNGAN) DI RUANG OPERASI
(DALAM RUANG OPERASI, HANYA) senyap (YANG) berkuasa penuh
dokter dan perawat (YANG DITITIPI HARAPAN), tisu dan tong sampah (YANG MEMBERSIHKAN DAN MENAMPUNG)
(MEREKA) sama(-SAMA) diam. (BEGITU)pun aku dan kepala yang (SEDANG/TELAH DI-)belah.
(SEMUA INI SEPERTI) pertunjukan (TENTANG)kekosongan(/KEHAMPAAN) dan (PERTUNJUKAN YANG MENGHADIRKAN)degup(TANDA HARAP-HARAP CEMAS)
(KAMI) menunggu (PERTUNJUKAN YANG AKAN BERAKHIR KETIKA) lampu (RUANG OPERASI)padam
BPSM, 2012
Parafrase terhadap puisi ini pun ternyata menghasilkan sebuah
“cerita” di ruang operasi. Tidak lebih ... Ups, tunggu dulu, tidak
lebih? Bagaimana jika “ruang operasi” adalah majas simbolik dari
“dunia”? Saya coba membaca kembali puisi ini dengan mengganti
simbol-simbol di dalamnya. Maka jadinya begini:
Dalam menjalani kehidupan di dunia, perlu sesekali menghadirkan
kesenyapan (waktu untuk merenung/introspeksi diri). Saat senyap ini
hadir, kita seperti sedang semadi/meditasi, dimana dalam kesunyian
gerak, semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dilepaskan
dari pikiran. Dalam semadi demi tercapainya susana kontemplatif,
pemikiran tentang harapan (disimbolkan: dokter dan perawat) dan juga
pemikiran atau keinginan menghapus dosa/tobat (disimbolkan tisu dan tong
sampah), hendaknya sejenak dilepaskan. Cukuplah diam saja. Bayangkan
kepala yang terbelah dan ternyata hanya berisi kekosongan, meskipun kita
selalu merasa isi kepala kita yang paling “banyak”. Begitu pula degup
di dada yang selalu berharap-harap cemas akan hasil dari sesuatu yang
sedang diupayakan. Kekosongan dan degup, sebenarnya dua hal ini yang
berulang terjadi dalam kehidupan kita. Kepasrahan dan pengharapan. Hidup
di dunia dengan segala macam problematikanya, sesungguhnya adalah
kumpulan usaha demi sebuah hasil yang akan diketahui ketika kehidupan di
dunia itu sendiri berakhir (disimbolkan: lampu padam).
Tanpa metafora yang “(me)wah” dan tanpa penyampaian yang
bertele-tele, Kemala YK melalui puisinya “DI RUANG OPERASI”, telah
berhasil menyihir saya selaku pembaca, yang biasanya sulit terkesan.
Terima kasih atas sajian puisi yang nikmat ini, dan mohon maaf andai
tulisan saya ini tidak sesuai dengan maksud penyairnya. Namanya juga
puisi.
6 Oktober 2012
#Bismi Rahimi
Pendekatan parafrastis yanag diterapkan oleh Bismi Rahimi terkesan
akademis, sebuah risalah yang bertolak dari konsepsi puisi, lalu secara
impresionis-subyektif membongkar puisi bertolak dari parafrase puisi.
Upaya menerapkan parafrase pada puisi ini cukup membawa pemahaman makna
lugas puisi, tetapi pendekatan parafrastis ini kurang menyentuk makna
kias puisi. Puisi bukanlah “berita pikiran atau perasaan” biasa,
melainkan telah mengalami proses panjang untuk berkomunikasi dengan para
pembacanya. Pendekatan parafrastis yang dilakukan Bismi Rahimi sampai
pada pengungkapan makna lugas, dan belum ditindaklanjuti ke penguraian
aneka kemungkinan makna kias, metafora, dan lambang yang digunakan dalam
puisi. Namun begitu, esai apresiatif Bismi Rahimi “relatif” memiliki
sistematika yang lebih lengkap dibandingkan esai Doni. Esai apresiatif
Bismi lengkap dengan adanya pengantar, isi, dan penutup.
Esai apresiatif yang bertolak dari kesan subyektif pribadi, seperti
dilakukan oleh Doni dan Bismi, dilakukan juga oleh Yusti Aprilina. Yusti Aprilina dalam merespon puisi Kemala YK menulis:
APRESIASI PUISI IPI BULAN OKTOBER 2012
Tulisan ini adalah tulisan saya yang pertama dalam mengapresiasikan
sebuah puisi di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri itupun berkat dorongan dan
ajakan pak Diamas Arika Mihardja sebagai sesepuh dari bengkel ini,
dengan segenap kemampuan yang ada saya berusaha untuk berenang di lautan
puisinya Kemala YK dari beberapa pilihan puisi yang disodorkan yang
semuanya bagus-bagus. Untuk pertama kali ini saya mencoba pada puisi
pendek Kemala Yasuka yang berjudul DI RUANG OPERASI.
DI RUANG OPERASI
(Kemala YK)
senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam
BPSM, 2012
Puisi ini tergolong puisi pendek yang terdiri dari lima larik yang
sangat kuat yang saling mengikat di antara ke lima lariknya. Jika kita
dihadapkan pada sebuah ruang operasi tentu bayangan kita adalah suatu
ruang senyap, tak ada suara selain suara gunting, pisau operasi dan
peralatan medisr lainnya. Ruang yang sangat steril, tidak boleh ada
kuman yang masuk. Memasuki ruang operasi hanya ada dokter, perawat dan
pasien yang akan dioperasi dengan memakai baju khusus bebas dari kuman
yang lolos dari mata telanjang kita. Yang digambarkan penulis dengan senyap berkuasa penuh.
Di sekeliling ruang ada tisu dan tong sampah yang digambarkan diam
seakan benda-benda mati itupun ikut merasakan keprihatinan yang
dirasakan aku lirik di ruang operasi dengan kepala belah dengan larik dokter dan perawat, tisu dan tong sampah sama diam. Pun aku dengan kepala belah..
Saat lampu operasi dinyalakan mulailah aktifitas dokter dan perawatnya
mengerjakan pekerjaannya. Aku lirik menggantungkan harapannya pada doker
dan perawat demi kesembuhannya dan harapannya digambarkan dengan larik pertunjukan kekosongan dan degup . Dalam keadaan tak berdaya karena pembiusan yang digambarkan kekosongan atau hampa namun degup jantung masih ada.
Pada larik terakhir ditutup dengan menunggu lampu padam.
Dengan padamnya lampu adalah menunjukkan bahwa segala kegiatan dan
aktifitas di ruang operasi telah selesai dilaksanakan. Pertarungan di
dalam kehidupan membutuhkan perjuangan yang berat seperti yang dilakukan
oleh dokter dan perawatnya bukan tak mungkin perjuangn akan mengalami
kegagalan berakhir pada kematian. Saat yang ditunggu-tunggu baik
pasien ataupun keluarga yang menunggu di luar ruangan operasi yang
berharap dalam kecemasan semoga operasi berjalan dengan lancar dan
berhasil menyelamatkan nyawa sang pasien. Menunggu lampu padam
mengingatkan pada keadaan sekarat, yang akan mengalami kematian namun
belum mati.
Demkianlah yang dapat saya apresiasikan atas puisi pendek Kemala YK
ini, saya yakin pembacaan setiap orang tidaklah sama, walaupun pada
puisi yang sama....Salam.
BPSM, 05102012
Esai apresiatif yang dilakukan oleh Yusti Aprilina patut dihargai,
sebab ia telah berani menuliskan kesan pembacaan atas sebuah puisi. Esai
yang dibuat oleh Doni, Bismi, dan Yusti dapat dikatakan baru samapai
pada pembacaan heuristik, pembacaan dan menuliskan kesan pertama atau
tahap pertama setelah membaca puisi. Idealnya, setelah pembacaan
heuristik dilaanjutkan ke pembacaan hermeneutik, sebuah pembacaan yang
berupaya memberikan tafsir makna secara lengkap dengan aneka
kemungkinannya. Tiga esai apresiatif yang dibuat oleh Doni, Bismi, dan
Yusti sama-sama menuliskan “kesan pertama” setelah membaca puisi.
Padahal, setelah berulang-ulang membaca (dan berupaya memaknai secara
hermeneutis) dimungkinkan ada pemaknaan lain. Puisi bukanlah taafsir
tunggal, puisi memungkinkan multiinterpretasi. Tawaran-tawaran
interpretasi seperti apa yang dibuat secara lengkap (multitafsir)
memungkinkan memperkaya puisi yang ditulis. Ketiga esai apresiatif ini
tampaknya baru mengungkap apa yang terjadi “Di Ruang Operasi” pada
umumnya. Selaian tiga esai pendek tersebut, Alfiah Muntaz juga merespon puisi Kemala YK seperti ini:
Sebagian benak masyarakat awam berpikir menulis puisi pendek lebih
gampang ketimbang puisi yang relatif panjang. Menurut saya, pikiran
semacam ini kurang tepat. Dalam menulis puisi pendek, penyair harus
lebih memadatkan kata, mendapatkan koherensi lugas dan kias antar larik
serta tidak lari dari kontemplasi (renungan) yang dituju.
Dalam even Indonesian Poetry Idol (IPI) edisi Oktober 2012
yang diselenggarakan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri ada satu puisi
pendek yang menyita perhatian saya. Puisi ini tidak hanya membenarkan
pendapat HB Jassin bahwa sebuah puisi adalah pengucapan dengan perasaan
tapi juga mengaminkan Matheew Arnold (seperti dikutip Sitor Situmorang)
yang mengatakan puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah,
impresif dan paling efektif mendendangkan sesuatu.
Apa yang dapat kita bayangkan ketika mendengar atau membaca tentang
ruang operasi? Ya, di antaranya adalah kengerian dan harapan. Entah itu
operasi kecil atau besar yang akan terjadi, tetap saja masuk ke kamar
putih yang disterilkan itu mencekam. Rasa ngeri bercampur harap-harap
cemas itu saya temui pada satu puisi yang diunggulkan dalam even IPI kali ini, DI RUANG OPERASI.
Saya akan mencoba melakukan "operasi kecil" terhadap puisi karya Kemala YK berikut ini;
DI RUANG OPERASI
senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam
BPSM, 2012
Pada larik pertama, saya langsung dihadapkan dalam suasana sepi yang
sangat. Layaknya ruang operasi yang ada hanya tenaga medis dan beberapa
peralatan pendukung. Di sini penulis memilih tisu dan tong sampah
sebagai alat. Ada apa dengan dua benda ini? Ke mana jarum suntik, obat
bius atau pisau bedah yang identik dengan operasi? Tentu ada alasan
penulis hanya memilih tisu dan tong sampah.Tisu yang berbahan dasar
kertas lazimnya dipakai untuk menghapus atau menyerap suatu cairan.
Sedang tong sampah sebagaimana namanya pasti berfungsi sebagai tempat
penampungan sampah.
Larik berikutnya saya tiba pada keadaan diam yang mencekam, kengerian
saya meningkat di sini. Penulis memilih luka di kepala sebagai sasaran
operasi. Seperti kita ketahui di dalam kepala ada otak yang merupakan
organ tubuh penting untuk mengatur segala aktivitas/gerakan tubuh
manusia. Ide-ide kreatif kita dibentuk sel-sel yang bermukim di kepala.
Pasti tak ada seorang pun berharap ada secuil retak di kepalanya. Antara
batas ada dan tiada, perasaan tegang mengantar kepasrahan pada larik
terakhir. Baik dokter, perawat maupun kerabat yang di luar kamar, semua
menunggu.
Puisi ini tanpa jarum suntik, obat bius atau pisau bedah, sebab operasi telah selesai.
Tisu membersihkan sisa-sisa cairan yang tercecer. Tong sampah siap menampung kemasan jarum suntik, obat dan lain-lain.
Secara struktur puisi ini hadir dengan diksi-diksi sederhana, bahasa
figuratif yang juga tak berlebihan namun berhasil membawa imaji saya
membayangkan dan merasakan hal-hal yang terjadi dalam sebuah operasi.
Sebaik-baik puisi mestinya rendah hati, tidak berkesan menggurui
pembaca. Kemala YK di ruang operasi ini telah bertahan dengan kerendahan
hati yang ia miliki. Puncak kontemplasi pada puisi ini menurut saya
jatuh di larik terakhir.
Membaca puisi ini membuat saya merenung, hidup ini ibarat di dalam
sebuah ruang operasi. betapa banyak hal yang terjadi di antara waktu
menunggu tersebut. Maka dengan kesadaran penuh saya berusaha tak
menelantarkan kepala yang masih baik-baik ini. Meski saya paham harapan
dan kecemasan selalu berlomba dalam hidup. Saya pun tahu ada dokter yang
bertindak sebagai penyembuh, namun pemilik sebenar yang menentukan
kapan saat tepat membisikkan lampu pada suatu operasi nyala adalah Dia,
pemilik muasal segala hal di semesta ini. Kemala YK berhasil membawa
saya merasakan kesepian, ketegangan yang berujung kepasrahan setelah
segala usaha yang entah apapun hasilnya dalam operasi ini, sebab lampu
saya juga masih belum menyala!
Jakarta, 6 Oktober 2012
Hakikatnya pembacaan (dan pemaknaan) yang dilakukan oleh Alfiah
Muntaz sama dengan ketiga apresiasi sebelumnya. Bedanya, pada esai
apresiatif Alfiah Muntaz telah memasukkan penilaian kritis atas puisi
Kemala YK. Esai Alfiah Muntaz terasa lebih komunikatif, lebih menukik ke
puisi yang ditelisik (meski belum lengkap juga hasil telisiknya) namun
pembacaan Alfiah Muntaz bertumpu pada larik-larik puisi, menyampaikan
pemikiran kritisnya, dan sedikit mengungkai puisi yang diapresiasi.
Meski dalam kapasitas masih terbatas, esai Alfiah Muntaz telah meraambah
tak hanya apembacaan heuristik, meliankan telah mengarah ke pembacaan
hermeneutik. Inilah poin lebih esai apresiatif yang ditulis oleh Alfiah
Muntaz.
Lantaran esai apresiatif ini (semoga tidak keliru) ditulis pertama
kali di BPSM, redaktur memutuskan akan memberikan bingkisan berupaa buku
kepada (1) Doni, (2) Bismi, (3) Yusti, dan (4) Alfiah sebagai sebentuk
apresiasi positif dari Direktur Bengkel Puisi Swadaya mandiri. Selain
kepada empat orang ini, Direktur Eksekutif juga akan memberikan
bingkisan buku kepada Kemala YK yang puisinya telah difavoritkan,
diapresiasi, meski apresiasinya masih sederhana, hal itu patut dihargai.
Kepada nama-nama ini diminta mengirimkan alamat pengirimana paket ke
inbox DAM.
Salam DAM 123 sayang semuanya