Selasa, 23 Oktober 2012

MENGAPRESIASI PUISI INDONESIAN POETRY IDOL EDISI OKTOBER 2012

Catatan Dimas Arika Mihardja

Patut dicatat, ada empat esai pendek yang berupaya mengapresiasi sebuah puisi “Di Ruang Operasi” karya Kemala YK terkait Indonesian Poetry Idol Edisi Oktober 2012. Selama dua pekan,  redaktur BPSM mencermati aneka komentar pendek dan esai-esai yang ditulis, sebuah esai apresiatif yang dimaksudkan melatih diri berani menulis esai apresiatif.  Empat esai pendek itu lebih bercorak opini pribadi  warga BPSM. Masing-masing penulis esai pendek yang berupa opini pribadi itu ditulis oleh  (1) Doni Arman, (2) Bismi Rahimi, (3) Yusti Aprilina, dan (4) Alfiah Muntaz. Mari kita baca kembali seutuhnya esai-esai pendek terkait dengan Indonesian Poetry Idol Edisi Oktober untuk kemudian ditentukan  esai terfavorite.

Doni Arman dengan mengamalkan “teori bulu kuduk”-nya kang Acep Zamzam Noor menulis seperti  ini:
BULU KUDUK SAYA DAN PUISI KEMALA YK

Kang Acep Zamzam Noor (AZM), tahun 2011 lalu, pernah menulis esai 'Puisi dan Bulu Kuduk' dalam sebuah buku setebal 290 halaman dengan judul sama. Dalam esai itu, Kang AZM mengatakan bahwa bulu kuduk dapat menjadi salah satu indikator berhasilnya sebuah puisi. Jika bulu kuduk kita berdiri tanda merinding, setelah membaca sebuah puisi, maka dapat dikatakan puisi tersebut telah berhasil menyampaikan sesuatu kepada kita.
Membaca puisi Kemala Yk berikut, saya langsung merinding. Spontan, karena puisinya tidak panjang, sehingga tidak perlu waktu lama untuk mengalami hal tersebut.

DI RUANG OPERASI

senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam

BPSM, 2012

Membaca puisi ini, dapat saya simpulkan, bahwa Kemala Yk mengalami hal yang ditulisnya tersebut. Kesimpulan ini muncul karena puisi ini terasa penuh rasa. Apapun yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Kemala Yk melalui puisi ini, menjadi tidak penting lagi bagi saya. Yang saya tahu, puisi ini menghadirkan kengerian yang luar biasa dari sebuah ruang operasi.
Kengerian pada detik-detik menunggu lampu kode di pintu ruang operasi padam (tanda operasi selesai), sangat berhasil memecut saya untuk lebih menghargai kesehatan. Tidak dapat dibayangkan jika operasi dengan degup seperti ini terjadi pada diri saya. Pola hidup sembarangan dengan pola makan yang juga sembarangan selama ini, tentu akan membawa saya ke ruang operasi suatu saat nanti. Saya berjanji akan membenci dokter dan rajin berolah raga, banyak minum air putih dan tidak begadang lagi jika tak ada perlunya (seperti kata Bang Haji).
Hanya karena bulu kuduk yang berdiri saat membaca puisi Kemala Yk, saya jadi sadar betapa pentingnya menjaga kesehatan agar tidak berakhir di ruang operasi.

Darma 06/10/2012

Esai apresiatif Doni yang bertolak dari “teori bulu kuduk” langsung menuliskan simpulan yang tentu saja bersifat subyektif.  Subyektifitas dalam pembacaan sebuah puisi adalah suatu kewajarana juga. Dasar yang dijadikan pangkal tolak Doni ialah ukuran “like and dislike” (suka atau tidak suka) setelah membaca sebuah puisi.  Ukuran suka ataa tidak suka ini lalu dikaitkan dengan merinding atau tidaknya bulu kuduk saat melakukan pembacaan, sayangnya, Doni tidak berbagi kesan perasaannya mengapa bulu kuduknya berdiri secara terurai, menelisik ke ceruk-ceruk puisi yang diapresiasi, akibatnya  segala kemungkinan pemaknaan dapat didedaqhkan secara rinci. Pembaca esai pendek ini langsung disuguhi kesimpulan dan pesan yang dapat dipetik dari puisi karya Kemala YK.
 Jika Doni lebih menumpukan pada  merinding atau tidaknya bulu kuduk, seorang Bismi Rahimi tampak mengaplikasikan pendekatan parafrastis dalam esai apresiatifnya.  Yuk kita baca esai apresiatif Bismi Rahimi. Bismi Rahmini juga merespon puisi  karya Kemala YK, seperti ini:

Puisi berikut adalah puisi karya penyair Kemala YK yang dipublikasikan di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), sebuah group puisi Facebook;

DI RUANG OPERASI

senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam

BPSM, 2012


Johnson (dalam Tarigan, 1984: 5) berpendapat bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan penuh daya yang bercikal-bakal dari emosi kemudian berpadu kembali dalam kedamaian.
 Bertolak dari pendapat Johnson di atas, puisi ternyata adalah luapan perasaan dengan macam-macam emosi, yang pada akhirnya, hendaklah tetap berujung kedamaian. Sesungguhnya begitu banyak pendapat tentang hakikat puisi, tetapi saya ditarik untuk setuju dengan pendapat di atas ketika membaca puisi karya Kemala YK yang dipilih mengikuti ajang IPI ini. Awalnya, membaca puisi tersebut, saya menangkap upaya penyampaian kesan perasaan di dalamnya. Impresi ini diungkapkan dengan singkat tapi cukup sampai. Namun, ketika membaca lagi dan lagi, ternyata puisi ini tidaklah sekadar penyampaian kesan/impresi belaka. Saat menyampaikan, ternyata penyair ini juga menyelipkan pesan renungan yang menyihir.
 Menggunakan judul “DI RUANG OPERASI”, secara tidak langsung, Kemala YK telah berhasil membawa imajinasi saya ke suasana dalam ruang operasi. Alhamdulillah, saya belum pernah mengalami langsung bagaimana suasana tersebut. Kalaupun pernah, tentu saya dalam keadaan terbius tak sadar. Bayangan bagaimana suasana di ruang operasi, saya peroleh dari film-film yang pernah ditayangkan di televisi. Suasananya adalah sunyi dan mencekam, kira-kira begitu. Begitu pula yang tertangkap dalam puisi ini.

 Kemala YK membuka puisinya dengan larik pertama “senyap berkuasa penuh”. Larik ini mampu menegasturunkan suasana yang telah tertangkap pada judul. Larik ini pula yang membuat saya berpendapat bahwa puisi ini akan menyampaikan sebuah kesan yang pernah dialami/dirasakan/diketahui oleh penyairnya.

 Diksi pada puisi “DI RUANG OPERASI” tidaklah rumit dan sulit dimengerti. Kata-kata yang dipakai adalah kata-kata yang biasa dibaca sehari-hari. Namun, setiap kata seakan bicara dan memang dipilih dengan cermat. Untuk sebuah puisi pendek, kecermatan memilih kata ini sangat menentukan keberhasilan sampainya puisi kepada pembaca. Dokter dan perawat adalah makhluk hidup, tisu dan tong sampah adalah benda mati. Dokter dan perawat dipasangkan sebagai simbol adanya usaha untuk sebuah harapan. Tisu dan tong sampah dipasangkan, mungkin sebagai simbol usaha membersihkan diri dari kotoran (dosa).

(PERENUNGAN) DI RUANG OPERASI

(DALAM RUANG OPERASI, HANYA) senyap (YANG) berkuasa penuh
dokter dan perawat (YANG DITITIPI HARAPAN), tisu dan tong sampah (YANG MEMBERSIHKAN DAN MENAMPUNG)
(MEREKA) sama(-SAMA) diam. (BEGITU)pun aku dan kepala yang (SEDANG/TELAH DI-)belah.
(SEMUA INI SEPERTI) pertunjukan (TENTANG)kekosongan(/KEHAMPAAN) dan (PERTUNJUKAN YANG MENGHADIRKAN)degup(TANDA HARAP-HARAP CEMAS)
(KAMI) menunggu (PERTUNJUKAN YANG AKAN BERAKHIR KETIKA) lampu (RUANG OPERASI)padam

BPSM, 2012

Parafrase terhadap puisi ini pun ternyata menghasilkan sebuah “cerita” di ruang operasi. Tidak lebih ... Ups, tunggu dulu, tidak lebih? Bagaimana jika “ruang operasi” adalah majas simbolik dari “dunia”? Saya coba membaca kembali puisi ini dengan mengganti simbol-simbol di dalamnya. Maka jadinya begini:

Dalam menjalani kehidupan di dunia, perlu sesekali menghadirkan kesenyapan (waktu untuk merenung/introspeksi diri). Saat senyap ini hadir, kita seperti sedang semadi/meditasi, dimana dalam kesunyian gerak, semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dilepaskan dari pikiran. Dalam semadi demi tercapainya susana kontemplatif, pemikiran tentang harapan (disimbolkan: dokter dan perawat) dan juga pemikiran atau keinginan menghapus dosa/tobat (disimbolkan tisu dan tong sampah), hendaknya sejenak dilepaskan. Cukuplah diam saja. Bayangkan kepala yang terbelah dan ternyata hanya berisi kekosongan, meskipun kita selalu merasa isi kepala kita yang paling “banyak”. Begitu pula degup di dada yang selalu berharap-harap cemas akan hasil dari sesuatu yang sedang diupayakan. Kekosongan dan degup, sebenarnya dua hal ini yang berulang terjadi dalam kehidupan kita. Kepasrahan dan pengharapan. Hidup di dunia dengan segala macam problematikanya, sesungguhnya adalah kumpulan usaha demi sebuah hasil yang akan diketahui ketika kehidupan di dunia itu sendiri berakhir (disimbolkan: lampu padam).

Tanpa metafora yang “(me)wah” dan tanpa penyampaian yang bertele-tele, Kemala YK melalui puisinya “DI RUANG OPERASI”, telah berhasil menyihir saya selaku pembaca, yang biasanya sulit terkesan. Terima kasih atas sajian puisi yang nikmat ini, dan mohon maaf andai tulisan saya ini tidak sesuai dengan maksud penyairnya. Namanya juga puisi.

6 Oktober 2012
#Bismi Rahimi

Pendekatan parafrastis yanag diterapkan oleh Bismi Rahimi terkesan akademis, sebuah risalah yang bertolak dari konsepsi puisi, lalu secara impresionis-subyektif membongkar puisi bertolak dari parafrase puisi. Upaya menerapkan parafrase pada puisi ini cukup membawa pemahaman makna lugas puisi, tetapi pendekatan parafrastis ini kurang menyentuk makna kias puisi. Puisi bukanlah “berita pikiran atau perasaan” biasa, melainkan telah mengalami proses panjang untuk berkomunikasi dengan para pembacanya. Pendekatan parafrastis yang dilakukan Bismi Rahimi sampai pada pengungkapan makna lugas,  dan belum ditindaklanjuti ke penguraian aneka kemungkinan makna kias, metafora, dan lambang yang digunakan dalam puisi. Namun begitu, esai apresiatif Bismi Rahimi “relatif” memiliki sistematika yang lebih lengkap dibandingkan esai Doni. Esai apresiatif Bismi lengkap dengan adanya pengantar, isi, dan penutup.

Esai apresiatif yang bertolak dari kesan subyektif pribadi, seperti dilakukan oleh Doni dan Bismi, dilakukan juga oleh Yusti Aprilina. Yusti Aprilina dalam merespon puisi Kemala YK menulis:

APRESIASI PUISI IPI BULAN OKTOBER 2012

Tulisan ini adalah tulisan saya yang pertama dalam mengapresiasikan sebuah puisi di Bengkel Puisi Swadaya Mandiri itupun berkat dorongan dan ajakan pak Diamas Arika Mihardja sebagai sesepuh dari bengkel ini, dengan segenap kemampuan yang ada saya berusaha untuk berenang di lautan puisinya Kemala YK dari beberapa pilihan puisi yang disodorkan yang semuanya bagus-bagus. Untuk pertama kali ini saya mencoba pada puisi pendek Kemala Yasuka yang berjudul DI RUANG OPERASI.
DI RUANG OPERASI
(Kemala YK)

senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam

BPSM, 2012

Puisi ini tergolong puisi pendek yang terdiri dari lima larik yang sangat kuat yang saling mengikat di antara ke lima lariknya. Jika kita dihadapkan pada sebuah ruang operasi tentu bayangan kita adalah suatu ruang senyap, tak ada suara selain suara gunting, pisau operasi  dan peralatan medisr lainnya. Ruang yang sangat steril, tidak boleh ada kuman yang masuk. Memasuki ruang operasi hanya ada dokter, perawat dan pasien yang akan dioperasi dengan memakai baju khusus  bebas dari kuman yang lolos dari mata telanjang kita. Yang digambarkan penulis dengan senyap berkuasa penuh.

Di sekeliling ruang ada tisu dan tong sampah yang digambarkan diam  seakan benda-benda mati itupun ikut merasakan keprihatinan yang dirasakan aku lirik  di ruang operasi dengan kepala belah dengan larik dokter dan perawat, tisu dan tong sampah sama diam. Pun aku dengan kepala belah.. Saat lampu operasi dinyalakan mulailah aktifitas dokter dan perawatnya mengerjakan pekerjaannya. Aku lirik menggantungkan harapannya pada doker dan perawat demi kesembuhannya dan harapannya digambarkan dengan larik pertunjukan kekosongan dan degup . Dalam keadaan tak berdaya karena pembiusan yang digambarkan kekosongan atau hampa namun degup jantung masih ada.

Pada larik terakhir ditutup dengan menunggu lampu padam. Dengan padamnya lampu adalah menunjukkan bahwa segala kegiatan dan aktifitas di ruang operasi telah selesai dilaksanakan. Pertarungan di dalam kehidupan membutuhkan perjuangan yang berat seperti yang dilakukan oleh dokter dan perawatnya bukan tak mungkin perjuangn akan mengalami kegagalan berakhir pada kematian.   Saat yang ditunggu-tunggu baik pasien ataupun keluarga yang menunggu di luar ruangan operasi yang berharap dalam kecemasan semoga operasi berjalan dengan lancar dan berhasil menyelamatkan nyawa sang pasien. Menunggu lampu padam mengingatkan pada keadaan sekarat, yang akan mengalami kematian  namun belum mati.
Demkianlah yang dapat saya apresiasikan atas puisi pendek Kemala YK  ini, saya yakin pembacaan setiap orang tidaklah sama, walaupun pada puisi yang sama....Salam.

BPSM, 05102012

Esai apresiatif yang dilakukan oleh Yusti Aprilina patut dihargai, sebab ia telah berani menuliskan kesan pembacaan atas sebuah puisi. Esai yang dibuat oleh Doni, Bismi, dan Yusti dapat dikatakan baru samapai pada pembacaan heuristik, pembacaan dan menuliskan kesan pertama atau tahap pertama setelah membaca puisi. Idealnya, setelah pembacaan heuristik dilaanjutkan ke pembacaan hermeneutik, sebuah pembacaan yang berupaya memberikan tafsir makna secara lengkap dengan aneka kemungkinannya.  Tiga esai apresiatif yang dibuat oleh Doni, Bismi, dan Yusti sama-sama menuliskan “kesan pertama” setelah membaca puisi. Padahal, setelah berulang-ulang membaca (dan berupaya memaknai secara hermeneutis) dimungkinkan ada pemaknaan lain. Puisi bukanlah taafsir tunggal, puisi memungkinkan multiinterpretasi. Tawaran-tawaran interpretasi seperti apa yang dibuat secara lengkap (multitafsir) memungkinkan memperkaya puisi yang ditulis. Ketiga esai apresiatif ini tampaknya baru mengungkap apa yang terjadi “Di Ruang Operasi” pada umumnya. Selaian tiga esai pendek tersebut, Alfiah Muntaz juga merespon puisi Kemala YK seperti ini:

Sebagian benak masyarakat awam berpikir menulis puisi pendek lebih gampang ketimbang puisi yang relatif panjang. Menurut saya, pikiran semacam ini kurang tepat. Dalam menulis puisi pendek, penyair harus lebih memadatkan kata, mendapatkan koherensi lugas dan kias antar larik serta tidak lari dari kontemplasi (renungan) yang dituju.
 Dalam even Indonesian Poetry Idol  (IPI) edisi Oktober 2012 yang diselenggarakan oleh Bengkel Puisi Swadaya Mandiri ada satu puisi pendek yang menyita perhatian saya. Puisi ini tidak hanya membenarkan pendapat HB Jassin bahwa sebuah puisi adalah pengucapan dengan perasaan tapi juga mengaminkan Matheew Arnold (seperti dikutip Sitor Situmorang) yang mengatakan puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif dan paling efektif mendendangkan sesuatu.

 Apa yang dapat kita bayangkan ketika mendengar atau membaca tentang ruang operasi? Ya, di antaranya adalah kengerian dan harapan. Entah itu operasi kecil atau besar yang akan terjadi, tetap saja masuk ke kamar putih yang disterilkan itu mencekam. Rasa ngeri bercampur harap-harap cemas itu saya temui pada satu puisi yang diunggulkan dalam even IPI kali ini, DI RUANG OPERASI.

Saya akan mencoba melakukan "operasi kecil" terhadap puisi karya Kemala YK berikut ini;
 DI RUANG OPERASI

senyap berkuasa penuh
dokter dan perawat, tisu dan tong sampah
sama diam. pun aku dan kepala yang belah.
pertunjukan kekosongan dan degup
menunggu lampu padam

BPSM, 2012
Pada larik pertama, saya langsung dihadapkan dalam suasana sepi yang sangat. Layaknya ruang operasi yang ada hanya tenaga medis dan beberapa peralatan pendukung. Di sini penulis memilih tisu dan tong sampah sebagai alat. Ada apa dengan dua benda ini? Ke mana jarum suntik, obat bius atau pisau bedah yang identik dengan operasi? Tentu ada alasan penulis hanya memilih tisu dan tong sampah.Tisu yang berbahan dasar kertas lazimnya dipakai untuk menghapus atau menyerap suatu cairan. Sedang tong sampah sebagaimana namanya pasti berfungsi sebagai tempat penampungan sampah.

Larik berikutnya saya tiba pada keadaan diam yang mencekam, kengerian saya meningkat di sini. Penulis memilih luka di kepala sebagai sasaran operasi. Seperti kita ketahui di dalam kepala ada otak yang merupakan organ tubuh penting untuk mengatur segala aktivitas/gerakan tubuh manusia. Ide-ide kreatif kita dibentuk sel-sel yang bermukim di kepala. Pasti tak ada seorang pun berharap ada secuil retak di kepalanya. Antara batas ada dan tiada, perasaan tegang mengantar kepasrahan pada larik terakhir. Baik dokter, perawat maupun kerabat yang di luar kamar, semua menunggu.

Puisi ini tanpa jarum suntik, obat bius atau pisau bedah, sebab operasi telah selesai.
Tisu membersihkan sisa-sisa cairan yang tercecer. Tong sampah siap menampung kemasan jarum suntik, obat dan lain-lain.

Secara struktur puisi ini hadir dengan diksi-diksi sederhana, bahasa figuratif yang juga tak berlebihan namun  berhasil membawa imaji saya membayangkan dan merasakan hal-hal yang terjadi dalam sebuah operasi. Sebaik-baik puisi mestinya rendah hati, tidak berkesan menggurui pembaca. Kemala YK di ruang operasi ini telah bertahan dengan kerendahan hati yang ia miliki. Puncak kontemplasi pada puisi ini menurut saya jatuh di larik terakhir.
Membaca puisi ini membuat saya merenung,  hidup ini ibarat di dalam sebuah ruang operasi. betapa banyak hal yang terjadi di antara waktu menunggu tersebut. Maka dengan kesadaran penuh saya berusaha tak menelantarkan kepala yang masih baik-baik ini. Meski saya paham harapan dan kecemasan selalu berlomba dalam hidup. Saya pun tahu ada dokter yang bertindak sebagai penyembuh, namun pemilik sebenar yang menentukan kapan saat tepat membisikkan lampu pada suatu operasi nyala adalah Dia, pemilik muasal segala hal di semesta ini.  Kemala YK berhasil membawa saya merasakan kesepian, ketegangan yang berujung kepasrahan setelah segala usaha yang entah apapun hasilnya dalam operasi ini, sebab lampu saya juga masih belum menyala!
 Jakarta, 6 Oktober 2012

Hakikatnya pembacaan (dan pemaknaan) yang dilakukan oleh Alfiah Muntaz sama dengan ketiga apresiasi sebelumnya. Bedanya, pada esai apresiatif Alfiah Muntaz telah memasukkan penilaian kritis atas puisi Kemala YK. Esai Alfiah Muntaz terasa lebih komunikatif, lebih menukik ke puisi yang ditelisik (meski belum lengkap juga hasil telisiknya) namun pembacaan Alfiah Muntaz bertumpu pada larik-larik puisi, menyampaikan pemikiran kritisnya, dan sedikit mengungkai puisi yang diapresiasi. Meski dalam kapasitas masih terbatas, esai Alfiah Muntaz telah meraambah tak hanya apembacaan heuristik, meliankan telah mengarah ke pembacaan hermeneutik. Inilah poin lebih esai apresiatif yang ditulis oleh Alfiah Muntaz.

Lantaran esai apresiatif ini (semoga tidak keliru) ditulis pertama kali di BPSM, redaktur memutuskan akan memberikan bingkisan berupaa buku kepada (1) Doni, (2) Bismi, (3) Yusti, dan (4) Alfiah sebagai sebentuk apresiasi positif dari Direktur Bengkel Puisi Swadaya mandiri. Selain kepada empat orang ini, Direktur Eksekutif juga akan memberikan bingkisan buku kepada Kemala YK yang puisinya telah difavoritkan, diapresiasi, meski apresiasinya masih sederhana, hal itu patut dihargai. Kepada nama-nama ini diminta mengirimkan alamat pengirimana paket ke inbox DAM.

Salam DAM 123 sayang semuanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar