~ Sebuah review buku kumpulan puisi karya Fathurrahman Helmi
"AKU, BOLA, DAN SEPATU" adalah sebuah buku himpunan puisi karya Fathurrahman Helmi (Meulaboh, Aceh Barat 21 Juni 1995) diterbitkan oleh LaPena, 2009. Buku ini tergolong istimewa, sebab diantar oleh dua orang sekaligus (Wiratmadinata dan Damiri Mahmud) serta diiringi endorsment dari banyak kalangan (Mustafa Ismail, Herman RN, Mutia Erawati, Dino Umahuk, Jauhari Samalanga, Sulaiman Tripa, Medri, Raja Ahmad Aminullah, dan Wina SW1). Review ini, tentu menggunakan sudut pandang yang lebih bersifat pribadi, sebab saya tak hendak memperhatikan (tak membaca) keseluruhan pengantar dan endorsment yang ada dengan satu pengharapan dapat mereview puisi-puisi yang dihasilkan oleh Fathur yang saat buku ini diterbitkan masih tergolong usia anak-anak.
Dalam satu hal, saya seperti Stephen Spenders lebih menyukai puisi-puisi yang ditulis oleh penyair di awal karir kepenyairan, sebab puisi-puisi yang ditulis pada awal karier kepenyairan terasa lebih murni, lebih jujur, lebih spontan, dan jauh dari manipulasi (begitu sederhana: sama sekali terbuka). Karya-karya (puisi) yang dihasilkan oleh penyair usia muda seperti John Keats (Inggris), Arthur Rimbaud (Perancis), atau Chairil Anwar (Indonesia) mewakili kebanggaan bangsanya. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana jika kita “tidak menganggap ada” atau mencoret puisi-puisi mereka begitu mereka menulis puisi di usia dini, apakah sejarah perpuisian Inggris, Perancis, atau Indonesia dapat ditulis? Kita dalam konteks ini tidak dapat meremehkan usia muda, sebab di usia muda ini juga tersedia nilai-nilainya. Dalam konteks memberikan nilai inilah, atau tepatnya, memberikan penghargaan bagi karya anak bangsa inilah tulisan apresiatif ini dibuat.
Bola, Dunia dan Sepatu dalam Puisi Fathur
Ketika menulis puisi, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan oleh kreator. Dua pendekatan itu, pinjam terminologi Sapardi Djoko Damono, ialah sudut pandang “anak kecil” dan sudut pandang “Sang Nabi”. Secara pragmatis, ketika kita menganlisis secara kritis wacana puisi, dua pandangan itu dapat diibaratkan sebagai pintu. Pintu-pintu itu seperti imajinasi Sapardi Djoko Damono digambarkan: terbuka perlahan-lahan .... satu persatu terbuka .... hingga akhirnya tak ada yang bernama rahasia; begitu sederhana: sama sekali terbuka. Dalam alam pikir anak kecil yang penuh fantasi atau khayalan berpendar aneka imajinasi yang luar biasa. Dalam bayangan anak kecil, sebuah sapu bisa berubah menjadi pesawat terbang, bisa berubah menjadi kuda, dan dapat berubah secara imajinatif menjadi “apa saja” sesuai dengan apa yang dikhayalkan, dibayangkan, atau diangankan. Gambaran angan yang berujud imajinasi itu begitu menonjol di kepala anak kecil. Selain itu, dengan kekayaan imajinasinya itu si anak kecil asyik dalam konteks permainan yang ia ciptakan. Imajinasi itu taklain sebagai buah fantasi. Dunia anak-anak memang penuh fantasi.
Bagaimana bola dilukiskan dalam puisi-puisi Fathur? Di halaman 33 saya menemukan puisi berjudul "Bumi". Dalam pandangan umum, bumi menggambarkan sesuatu yang bulat, bundar, dan selalu saja ditemukan dalam puisi banyak penyair. Dalam alam pikir Fahur, bumi yang bulat itu digambarkan sebagai manusia yang sakit: "Aku di sini terpaku/menatap tanah yang tandus/bumi ini sedang sakit akibat ulah manusia" Bumi yang sedang sakit itu juga dibandingkan dengan sosok manusia yang makin tua dan mulai keriput. Puisi ini diungkapkan dengan sikap jujur, jernih, dan menggunakan perbandingan yang dengan cepat dapat dibayangkan "orang tua yang keriput dan sakit". Meski pendek, puisi ini sesungguhnya tak sekedar memotret, melainkan telah menunjukkan usaha melukis fenomena kerusakan bumi melalui kata-kata.
Lukisan mengenai hidup atau mengarah pada filosofi tentang hidup dilukiskan secara hidup, dinamis, lincah, dan penuh gerak dalam puisi berjudul "Sepakbola" (hal. 35): Aku berlari/Tak tentu arah/Terus menendang/Bagaikan senapan yang memuntahkan peluru". Lukisan mengenai hidup yang terus bergerak seperti ini justru terinspirasi saat menyaksikan sepakbola. Bagi orang kebanyakan, saat nonton sepak bola hanyalah nonton, tetapi berbeda dengan Fathur,sembari nonton sepakbola pikirannya (imajinasi dan fantasinya) merembet bergerak ke sebuah lukisan tentang hidup. Meski sederhana, penyair muda usia ini telah merambah ke dunia filsafat atau setidaknya pemikiran filosofis. Dalam kehidupan kadang-kadang orang berlari tak tentu arah (tak memiliki tujuan yang jelas), terus menendang (tendang kanan-tendang kiri, sikut kanan, sikut kiri, bahkan kalau perlu dengan kekerasan "bagaikan senapan memunyahkan peluru".
Dalam hidup manusia tentu ada sasaran atau target atau tujuan (boleh juga cita-cita, harapan, keinginan dan sebagainya). Hal ini dilukiskan oleh Fathur dengan ungkapan seperti ini: "Gawang yang kuincar/Dengan semangat menggebu/Walau tidak gol/Aku akan terus berusaha". Ada gambaran semangat berusaha di dalamlukisan ini. Sebuah gambaran yang melukiskan upaya pantang menyerah untuk sampai tujuan. Fantasi dan imajinasi di dalam kepala Fathur lalu menghadirkan lukisan yang hidup tentang hidup itu sendiri: "Bola yang bergelinding/ Bagaikan hidup yang terus berlanjut/Tak ada kata-kata menyerah/Sebelum pertandingan usai." Lukisan ini luar biasa. Fathur sanggup menghadirkan metafora secara jernih yang membandingkan hidup dan kehidupan dengan permainan sepakbola!
Masih terkait dengan filosofi tentang hidup. Fathur selanjutnya menulis "Hidup" (hal. 37):" Kehidupan/ Bagaikan roda/Sebentar diatas sebentar di bawah/Aku harus menjalani kehidupan ini// Tak ada kata menyerah/ Sebelum mencoba sesuatu/Hidup adalah simbol/Di mana akan terus dicamkan dalam dunia ini". Meski ungkapan hidup itu ibarat roda pedati, kadang di atas dan kadang di bawah telah menjadi ungkapan umum, namun kita menjadi terkagum saat ungapan ini meluncur dari alam pikir anak-anak. Alam pikir Fathur serupa aneka bentuk benda yang dicerap dan dipersepsi hadir dalam bentuk bulatan (bola, bumi, roda, bulan, dan sebagainya). Terkait dengan gambaran bulan, Fathur menulis puisi berjudul "Bulan" yang menurut pembacaan dan pemaknaannya hadir secara lembut, romantis, dan hangat: "...Bulan sabit/Melengkung/ bagai celurit// Saat bulan dan bintang menyatu/Membentuk wajah yang tersenyum/Mengingatkan aku pada senyummu yang indah". Wow, anak seusia Fathur bisa mengungkapkan kehalusan rasa seperti ini, tentu luar biasa.
Lalu bagaimana Fathur melukis sepatu? Dalam puisinya berjudul "Sepatu" di halaman 63, Fathur menulis seperti ini:
Bagaikan peluruCept dan langsung menuju sasaranSepatu itu melesatMengarah kepala mister ni. 1 AmerikaAndai kena aku akan tertawa
Warga bersorakTertawa juga mengecamSepatu ituAnggap saja salam dari orang-orang teraniayaYang telah kau hancurkan hidup merekaSemoga kau jeraDan tak pernahMemperlakukan orang dengan hina lagiSalam dari kami para pemakai sepatu
Banda Aceh, 16 Desember 2008
Bagi pembaca yang memiliki referensi, minimal acap membaca berita "tragedi" (tragikomedi?) pelembaran sepatu yang mengarah ke orang nomor 1 (presiden) Amerika Serikat, puisi ini tampil secara memikat. Daya pikat puisi ini tentu saja bertolak dari aktualitas peristia, lalu bertolak dari aktualitas peristiwa itu dibawa ke arah perenungan mengenai hidup dan kehidupan,lengkap dengan etika dan norma yang menyertainya. Dalam konteks ini, dalam hal pemaparan puisi, saya jadi teringat kekuatan refleksi puisi-puisi Rendra. Fathur, yang juga disayang oleh Rendra, memiliki potensi kreatif seperti Rendra dalam hal diksi, visi, dan ketajaman/kedalaman renungan mengenai hidup.
Melalui alam pikir anak kecil yang suka berkhayal, berimajinasi, dan berangan-angan atau berfantasi dapat dihasilkan kekayaan penggambaran yang memiliki makna. Demikianlah, ketika kreator menggunakan pendekatan “anak kecil yang suka bermain-main” dalam menulis puisi dan berusaha menjauhkan diri dari kesan “main-main” dengan kesengajaan serta dilambari oleh orisinalitas pengungkapan yang jujur akan terbuahkan aneka puisi yang penuh dengan imajinasi. Imajinasi ini dibuahkan melalui upaya pemaksimalan aktivitas psikis berkayal, melamun, merenung, dan memikirkan satu hal.
Selain puisi dibuahkan kreator dari sudut pandang “anak kecil” yang penuh imajinasi, puisi juga dihasilkan melalui pendekatan “sang nabi”. Apabila puisi dihasilkan melalui sudut pandang “anak kecil” tercipta puisi yang kaya imajinasi, lincah, tak terduga, mengejutkan, dan menyenangkan, maka di pihak lain puisi yang dihasilkan dari sudut pandang “sang nabi” berisi fatwa-fatwa agamais yang religius sifatnya. Puisi-puisi yang digubah dengan sudut pandang “sang nabi” berisi dengan aneka ajaran dan pesan moral. Penyampaian ajaran dan pesan moral ini realisasinya dapat terungkap secara sederhana, namun di pihak lain dapat pula terungkap secara kompleks. Religius yang bertaraf permulaan tampil melalui kesederhanaan, sedangkan religiusitas yang bertaraf tinggi cenderung menggambarkan kompleksitasnya (berbagai tingkatan: syariat, tariqat, hakikat, dan makrifat, dan berbagai paham serta keyakinan lainnya).
Hal yang menurutku termasuk "gila" (gila dalam tanda petik) ialah remaja seperti Fathur memiliki pedang kata-kata yang tajam, menyimpan kekuatan renungan. Seperti apa lukisan kegilaan Fathur dalam merespons lingkungan kehidupannya, terdedah dengan baik pada puisi berjudul "Gila" (hal. 86) yang untuk menunjukkan kepada pembaca saya kutipkan secara keseluruhan:
Gila
Semua yang terjadiSelalu di luar kendali
Kehidupan kini makin hancurPembunuhanKekerasanKorupsiSemua yang tak lazimSudah menjadi makanan sehari-hari
Hidup ini kian gilaSemua memperebutkan kekuasaanKekuasaan dianggap sebagaiharga mati
Dunia makin gilaAkankah kiamat terus mendekat?Jangan tanyakan padakuKarena aku tak tahu
Banda Aceh,25 Desember 2008.
Pembaca, kita telah sedikit berkenalan dengan pandangan dunia penyair muda usia dari Banda Aceh mengenai hidup dan kehidupan yang digali dari peristiwa keseharian di sekitar kita. Sebagian besar puisi Fathur memilikipotensi seperti kekuatan ekspresi Rendra, sebagian puisi lainnya lebih mengarah ke puisi-puisi yang liris-imajis, yang merupakan trend penulisan puisi yang tak pernah ditinggalkan oleh penyair dalam konsepsi estetis apapun juga. Saya masih menanti perkembangan karya Fathurrahman Helmi (putra sulung Helmi Hass dan D Kemalawati). Saya memiliki keyakinan, lantaran Fathur diasuh dan dibesarkan oleh orang-orang hebat di bidang sastra dan budaya, kelak jika setia menjalani proses kepenulisan dan mengasah diri terus-menerus dapat diharapkan sebagai penyair yang diharapkan. Demikian, salam budaya.
Amin, semoga jalan yang membentang di depannya nanti adalah jalan yang diridhoiNya. Trimakasih telah memotivasi Fatur dan tentu juga menyadarkan kami selaku orang tua untuk lebih menyediakan ruang bagi fatur untuk mengasah dan berkaca kata-katanya. Salam De
BalasHapus