Selasa, 22 Februari 2011

BAHASA KIAS DALAM PUISI

1. Pengertian Bahasa Kias
Secara tradisional, misalnya dalam wawasan Aristoteles, bahasa kias diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perban-dingan ataupun analogi semantis yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan atau analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam meng-gambarkan citraan maupun gagasan baru. 

Pada bentuk bahasa kias Aku ini binatang jalang, misalnya, terdapat dua hal yang diperbandingkan, yakni “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan tersebut dapat ditemukan persamaan ciri semantis antara “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan ciri semantis yang umum, “aku” memiliki ciri semantis sebagai ‘makhluk’, demikian juga “binatang”. “Aku” mempunyai ciri semantis bernyawa, begitu juga “binatang”. Pada sisi lain, perbandingan itu juga merujuk pada ciri semantis yang khusus dengan yang khusus. “Aku” sebagai makhluk ‘berkesadaran’ sebagai ciri khusus manusia diperbandingkan dengan “binatang” yang secara khusus diberi ciri ‘jalang’. Perbandingan sebagai salah satu ciri umum dari bahasa kias antara lain dapat berbentuk metonimi, sinekdok, simile, ironis, dan metafora.

Bahasa kias, menurut Aminuddin (1995:234), umumnya terkait dengan (1) perbandingan atau penghu-bungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap pengamatan realitas secara natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap, maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu kata-kata tersebut; dan (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan terbentuk melalui proses kreatif pemakainya. Proses kreatif tersebut secara esensial terkait dengan kreasi dalam membentuk gagasan, menghubungkan gagasan dengan kata-kata dan kongkretum yang dicitrakannya maupun potensi citraan itu dalam menuansakan pengertian-pengertian tertentu.

Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal, penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan penelusuran pema-haman bahasa kias yang umum. Hal itu disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.

2. Pemilahan Bahasa Kias
Bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.

Dalam metafora, dua objek atau pengertian diperbandingkan secara implisit. Dalam ucapan rumahku melindungi aku bagaikan sebuah benteng, rumah dibandingkan dengan sebuah benteng. Benteng disebut pembanding sedangkan rumah unsur yang dibandingkan. Kata penghubung “bagaikan” berfungsi sebagai mata rantai antara pembanding dan apa yang dibandingkan. Dalam ucapan tersebut motif tidak disebut secara eksplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan antara rumah dan benteng, misalnya, ‘di samping aspek perlindungan dapat juga dibayangkan aspek kokoh-kuat’. Dalam bentuk metaforis, ungkapan tersebut dapat dinyatakan dalam ungkapan “rumahku bentengku” atau cukup “bentengku” saja.

Di dalam wacana puisi, metafora-metafora sering berbelit-belit. Ini antara lain disebabkan karena apa yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Misalnya ungkapan Lorong-lorong tidur yang tuli mengandung metafora ganda. Metafora ganda ini diuraikan dulu menjadi dua, yaitu ‘lorong tidur’ dan ‘lorong tuli’. Kemudian kita meneliti kata-kata itu menurut arti harfiah dan kiasan. Mengingat konteksnya, maka ‘lorong tuli’ rupanya dipakai menurut arti kiasan, sedangkan ‘tidur’ menurut arti harfiah. Kalau kita tinjau ‘lorong tuli’ tersendiri, maka ‘lorong’ dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ‘tuli’ sebagai sebuah metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang diperbandingkan, artinya mencari kata-kata lain sebagai pengganti ‘tuli’ dan ‘lorong’ sehingga terjadi suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai arti. ‘Lorong tuli’ mungkin bisa ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi kenyataan, seperti orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ‘Lorong tidur’ dapat diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi). Jadi apa yang dibandingkan ialah ‘bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan’.
Pembedaan metafora dengan metonimi dalam beberapa kasus dapat ditentukan berdasarkan ciri hubungannya dengan kata yang diperbandingkan atau digantikan. Pada hubungan yang metaforis penentuannya dapat dilakukan dengan melihat karakteristik hubungan kemungkinan kata yang diperbandingkan secara paradig-matis. Pernyataan Berkakuan kapal di pelabuhan, misalnya, mengandaikan “kapal” secara paradigmatis dapat digantikan dengan kata “tubuh”, pernyataan itu dapat dikomposisikan menjadi “Berkakuan tubuh di pelabuhan”. Pernyataan yang metonimik hanya merujuk pada hubungan secara sintagmatis, dalam arti antara kata yang menggantikan itu tidak dapat membentuk hubungan secara paradigmatis.

Bentuk pernyataan yang juga digolongkan sebagai bahasa kias ialah ironi. Kata ironi berasal dari eiron yang berarti ‘penyembunyian’, ‘penipuan’, ‘pura-pura’. Dengan demikian pernyataan yang secara tersembunyi mengan-dung pengertian lain selain yang secara eksplisit dinyatakan merupakan ironi. Dalam ironi penyampaian pengertian secara tidak langsung itu dinyatakan melalui penggunaan kata/kata-kata yang ditinjau dari ciri semantisnya bertentangan atau mungkin memiliki acuan lain yang memiliki hubungan asosiatif. Bahasa kias yang ironik ini merupakan wujud pasemon dalam wacana puisi.

Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada bentuk, citraan yang ditampilkan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Guna memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.

Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan (1) perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil maupun peng-hubungan ciri realitas natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu oleh kata-kata; (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuk-nya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan secara esensial terkait dengan kreasi pembentuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar