Sabtu, 19 Februari 2011

BUAH KAJIAN "PASEMON" DALAM TEKS PUISI INDONESIA


Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma­salah kehidupan. Berbagai ma­salah kehidupan, baik berupa peris­tiwa yang terjadi dalam kehidupan se­hari-hari, se­suatu yang dialami oleh sastrawan, masalah sejarah-so­sial-politik-ekonomi-bu­daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha­yatan, pe­mikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik teks puisi tersebut realisa­sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sas­trawan selaku kreator. Sastrawan yang kreatif akan dapat menghasilkan teks puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri. Teks puisi “di­bentuk dan dicipta­kan oleh sastrawan berdasarkan de­sakan emosional dan rasional” (Su­mardjo, 1982: 12). 

Puisi menu­rut wawasan Luxemburg (1986: 5), merupakan se­buah ciptaan, se­buah kreasi, dan bukan sebuah imi­tasi. Oleh karena itu, wajar apa­bila un­sur-unsur pribadi sastrawan seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsinya meronai puisi yang dicipta­kannya. Teks puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra, selain prosa dan drama. Secara fisik, puisi terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe­nuh dengan simbol, bahasa kias, dan gaya bahasa lainnya. Peng­gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa oleh seorang sas­trawan dimak-sudkan untuk me­madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung­kapan. Dengan pemakaian simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa tersebut, sastrawan dapat mencipta­kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas. Intensi­fi­kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam karya sastra berbentuk puisi (bandingkan Esten, 1985; Semi, 1985; Teeuw, 1985). Intensifikasi merupakan upaya sastrawan memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon­densi merupakan upaya sastrawan menjalin gagasan menjadi satu ke­satuan. Musikalitas meru­pakan upaya penyair mempermanis, mem­perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu­sikalitas yang baik sas­trawan mampu men­ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebih bersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi­fat memusat dalam perenungan.

Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, dapat dikemukakan rangkuman berupa gambaran umum tentang fenomena “pasemon” dalam teka puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa sebagai berikut. Pertama, wujud bahasa “pasemon” dalam teks puisi Indonesia dapat dikenali melalui bentuk struktur dan unsur-unsur pendukungnya. Wujud “pasemon” sebagai cara ekspresi dan cara berkomunikasi secara tidak langsung dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yakni (1) “pasemon” berwujud kalimat kias yang terdiri atas unsur-unsur yang berbentuk nominatif, predikatif, atau kalimatif; (2) “pasemon” berwujud bait yang terdiri atas unsur-unsur kias atau lambang berupa kalimat-kalimat berkategori metaforis, metonimis, atau ironis; dan (3) “pasemon” berwujud wacana yang terdiri atas unsur-unsur  bait dan kalimat-kalimat metaforis, metonimis, atau ironis. “Pasemon” di dalam teks puisi merupakan suatu bentuk ekspresi verbal-tulis. Ekspresi verbal-tulis tersebut terpapar dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dalam teks puisi yang bercorak “pasemon’’ itu merupakan ‘bahasa pilihan’ penyair, yakni merupakan bahasa yang ditemukan dan dikembangkan sendiri oleh penyairnya. Bahasa pilihan itu merupakan wilayah pribadi penyair (private domain). 

Kedua, makna “pasemon” dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa menurut (1) topik puisi dapat berupa tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas (edukatif), tanggapan penyair terhadap masalah hidup dan kehidupan (filosofis), tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat (etis), tanggapan penyair terhadap masalah keindahan (estetis), dan tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan (religius); (2) latar puisi dapat berupa agama, kebajikan atau ajaran tertentu, paham-paham kepercayaan, adat tradisi Jawa, dan alam semesta; dan (3) tujuan puisi ialah untuk “nyemoni”, mengkritik, dan menyindir baik untuk diri sendiri maupun untuk berbagai masalah hidup dan kehidupan. Berbagai tanggapan penyair melalui “pasemon” itu kristalisasinya berupa nilai-nilai budaya. Nilai-nilai itu secara konsepsional dijadikan sebagai  penggerak tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai makhluk pribadi, sosial, dan hamba Tuhan; sebagai pengendali tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia dalam hidup dan kehidupannya; sebagai proyeksi dan cita-cita hidup dan kehidupan manusia; sebagai tolok ukur tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, makhluk sosial, dan hamba Tuhan; dan sebagai rujukan atau acuan tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan.

 Makna “pasemon”  di dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa diungkapkan oleh penyair dengan cara (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyim-pangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. 
Ketiga, fungsi komunikatif “pasemon” yang terdapat di dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni (1) fungsi ekspresif “pasemon” realisasinya dapat berupa respon penyair terhadap paham, ajaran, dan keyakinan agama tertentu (edikatif-religius); respon penyair terhadap norma-norma, kebiasaan, adat dan tradisi masyarakat Jawa (adat-tradisi); respon penyair terhadap fenomena alam semesta (mikro-makrokosmos); respon penyair terhadap pandangan hidup, misteri hidup dan maut (filosofis); (2) fungsi estetis “pasemon” realisasinya berupa respon penyair terhadap persoalan keindahan dan kebenaran (estetis); dan (3) fungsi direktif “pasemon” realisasinya berupa respon penyair terhadap persoalan baik-buruk, benar-salah, dan berbagai pranata dalam kehidupan yang ada di tengah masyarakat (etis).
Karya sastra berbentuk puisi dengan estetika “pasemon” dapat dipandang sebagai sis­tem lam­bang budaya yang intersubjektif dari suatu masyarakat (Cassirer, 1987: 287; Kun­towijoyo, 1987: 127-150; Kartodirdjo, 1987: 24; Faruk, 1988: 30-31); Kayam, 1988; 1990; 1990a; 1991). Sebagai lam­bang budaya yang inter­subjektif, karya puisi dengan estetika “pasemon” bukanlah sekadar artefak (ar­tefact) atau fakta kebendaan seba­gaimana dinyatakan oleh beberapa ahli sastra (Teeuw, 1984: 191; Pradopo, 1995: 106). Karya puisi dengan estetika “pasemon” adalah sebuah teks yang merupakan inskripsi yang menjadi fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran kolektif bu­daya, dan fakta sosial (sociofact) dari masyarakat yang menghasil­kannya (Durkheim, 1986: 32; Brinton, 1985: 201; Karto­dirdjo, 1992: 176-179; Soedjat­moko, 1994: 87; Saryono, 1997: 1). Sebagai sistem lambang budaya puisi Indonesia dengan estetika “pasemon” berhubungan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan terhadap nilai tertentu dalam konteks dialektika bu­daya Indonesia. 

Teks puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa dengan estetika “pasemon” selalu berhubungan dengan konstruksi pengetahuan budaya Jawa (Da­mono, 1984; 1993; Kleden, 1986; Kartodirdjo, 1987; 1992; Kuntowijoyo, 1972; 1991; Soedjatmoko, 1984; 1994; Nasr, 1993; 1994; Pearson, 1994). Puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa dengan estetika “pasemon” itu merupakan representasi konstruksi realitas nilai budaya Jawa dalam proses dialektika budaya Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa puisi Indonesia yang ditulis dengan estetika “pasemon” selalu erat berkaitan dengan nilai budaya Indonesia karena ke­beradaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya mem­buat­nya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika bu­daya (Teeuw, 1982; Mulder, 1987; Damono, 1995; Ajidarma, 1995; Saryono, 1997). 

Puisi Indonesia yang ditulis dengan estetika “pasemon” menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya Indonesia. Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa dengan estetika “pasemon” itu menam­pilkan ha­yatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang kon­struksi realitas budaya Jawa di tengah konteks dan proses dialek­tika bu­daya Indonesia. Puisi Indonesia yang ditulis dengan estetika “pasemon” dengan demikian selalu membayangkan atau menghadirkan ten­tang konstruksi re­alitas bu­daya Indonesia yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, diga­gas, dan dipandang oleh penyair (Mulder, 1985: 72; 1987: 27-28; Ab­dullah, 1991: 44-45). Puisi Indonesia yang ditulis berdasarkan estetika “pasemon” juga dipandang sebagai teks (teks) dan sekali­gus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi re­alitas budaya Indonesia. Yang terepresentasi dalam puisi Indonesia adalah konstruksi realitas nilai bu­daya Indonesia.

Penyair Indonesia yang berbahasa ibu bahasa Jawa dan menulis da­lam bahasa Indonesia dan dijadikan sebagai subjek penelitian ini adalah Subagio Sastrowardoyo, Goe­nawan Mo­hamad, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Darmanto Jatman, Linus Suryadi AG. Puisi Indonesia yang ditulis oleh para penyair berlatar belakang budaya Jawa telah meninggalkan bahasa primordialnya (bahasa Jawa sebagai bahasa ibu) dan melakukan “migrasi budaya” menuju ke dalam kehidupan bahasa baru yang disebut bahasa Indonesia. Para penyair itu telah memilih bahasa Indonesia sebagai basis komunikasi verbalnya. Para penyair juga berusaha merepresentasikan “sesuatu” dalam puisi Indonesia, terutama tampak secara luas dalam penulisan puisi yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai media ekspresinya. Bahasa Indonesia itu sendiri adalah “sesuatu”. 

“Sesuatu” yang digunakan sebagai wahana ekspresi dan komunikasi oleh penyair itu realitasnya bukan merupakan bahasa ibu penyair berlatar belakang budaya Jawa, sehingga para penyair itu pada awalnya cenderung gagap dalam menggunakan bahasa Indonesia. Hal itulah, antara lain, yang melatarbelakangi ‘perjuangan’ para penyair Indonesia dalam melakukan pencarian cara ekspresi dan komunikasi puitik bagi puisi-puisinya. Satu cara ekspresi dan komunikasi yang dipilih oleh penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa ketika menulis puisi dalam bahasa Indonesia ialah “pasemon”. Dengan “pasemon” para penyair Indonesia dapat “bilang begini, maksudnya begitu” atau menurut ungkapan Riffaterre “Says of thing, means another” (Riffatere, 1978).

Dalam hubungannya dengan cara ekspresi dan komuni-kasi melalui “pasemon”, penyair Indonesia yang menciptakan puisi lirik dapat menemukan pijakan konseptual yang dengan konsisten dipertahankan, yakni meniadakan subjek (aku lirik) di dalam puisi-puisi yang diciptakan. Aku-lirik dalam peniadaan subjek ini oleh penyair diredam sedemikian rupa, mengalami sublimasi, atau subjek melakukan transformasi terus-menerus dari satu metafor ke metafor lainnya. Puisi-puisi yang bercorak “pasemon”, dalam konteks ini dapat disebut sebagai puisi-puisi suasana, sebab apabila subjek (aku-lirik) yang biasa hadir sebagai pusat pemberi makna telah ditiadakan dalam puisi, maka yang tinggal hanyalah suasana. Peneliti mengalami massifikasi imaji yang lebih longgar untuk bebas menempatkan diri dan memberi makna ketika berhadapan dengan puisi-puisi bercorak “pasemon” yang dihasilkan oleh penyair Indonesia. 

Satu hal yang menarik dari fenomena puisi-puisi sebagai teks baru dalam kancah penulisan puisi di Indonesia adalah adanya anggapan bahwa kata sebagai segala-galanya dalam puisi. Penyair Sapardi Djoko Damono telah melakukan mistifikasi baru dari “aku-lirik” menjadi “aku-kata” di dalam puisi-puisinya. Subjek yang meleburkan diri ke dalam dunia kata itu merupakan konsekuensi yang harus diambil oleh seorang penyair ketika penyair itu melihat kata sebagai segala-galanya dalam puisi. Hasil akhir dari mistifikasi antara “aku” dengan “kata” ini, pada keseluruhan puisi Sapardi Djoko Damono, justru sekaligus merupakan tindakan demistifikasi terhadap aku-lirik yang selama ini dikukuhkan sebagai pusat pemaknaan. Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisi-puisinya melakukan minimalisasi peran aku-lirik sebagai satu-satunya pusat pemberi makna, dan bahkan meniadakan sama sekali pada sebagian besar puisi-puisinya. Otoritas subjek di sini kemudian diberikan kepada peneliti selaku pembaca untuk melakukan pemaknaan. Tanpa tindakan ini peneliti selaku pembaca akan cenderung kehilangan penuntun untuk memahami puisi-puisi Sapardi Djoko Damono. Transformasi aku-lirik yang dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono itu, kemudian lebih mendapatkan proyeksi politik pemaknaannya ketika Goenawan Mohamad melakukan deideo-logisasi terhadap keyakinan-keyakinan semu dalam sebuah puisinya “Kwatrin Tentang Sebuah Poci”. Penyair Goenawan Mohamad menunjukkan bahwa pada dasarnya eksistensi manusia itu dapat diibaratkan sebuah poci: tanpa nama, kelak retak dan kehilangan segi-segi fungsionalnya hingga terancam kehilangan makna. Penyair Goenawan Mohamad menunjukkan perlawan-annya pada segala makna dan tafsir yang dibuat mapan, keras, dan total sehingga menjadi totaliter. Dalam konteks inilah puisi sebagai “pasemon” mulai diperkenalkan oleh Goenawan Mohamad.

Dalam khazanah perpuisian Indonesia dapat dikemuka-kan bahwa kualitas estetis yang mantap umumnya justru lahir dari tangan-tangan penyair yang memberi harga pada tradisi silam, selain merangkul juga diskursus modernitas sastrawi Barat. Penyair-penyair yang diteliti, antara lain Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, Darmanto Jatman, dan Linus Suryadi AG dapat mencapai kekukuhan estetik ketika mereka melakukan perluasan dan pendalaman konvensi estetis melalui “pasemon”. Dalam perspektif kualitas estetis, penyair yang benar-benar unggul dan berkualitas adalah penyair yang dalam berkarya menggunakan estetika “pasemon” untuk menyampaikan parodi, sindiran, atau kritikan sehingga pembaca dapat merasakan adanya hiburan (banyol), mampu menimbulkan ketegangan sehingga menggugah emosi pembaca (greget), mampu membuat terharu ketika dalam suasana sedih dan membuat geram serta marah ketika dalam suasana menjengkelkan (nges), dan mampu membangkitkan kepekaan erotik pembaca (sem).
Penyair Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, dan Linus Suryadi AG dalam menyampaikan “pasemon”  secara estetis melakukan pergeseran terhadap posisi aku-lirik—selain menunjukkan pengetahuan dan simpati yang hangat, baik kepada khazanah wayang dan babad-babad tradisi, maupun khazanah diskursif Barat. Penyair Sapardi Djoko Damono pun tampaknya mengikuti jejak-jejak konvensi estetis itu dan diam-diam melakukan pergeseran-pergeseran serius dengan menjadi-kan suasana lebih penting daripada aku-lirik. Penyair Sapardi Djoko Damono tampaknya juga menyambut hangat tradisi leluhur dan warisan sastra dunia dalam menyampaikan “pasemon”. Hal yang serupa juga dilakukan oleh penyair Linus Suryadi AG. Penyair yang disebut terakhir ini tampaknya sebagai generasi penerus estetika yang digunakan oleh Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono (Sumanto, 1999:62). Bedanya, Linus Suryadi AG dalam teks puisinya cenderung mengolah keyakinan, mitologi, dan kepercayaan Jawa secara kental. Penyair Darmanto Jatman yang semula diduga menggunakan estetika “pasemon” dalam puisi-puisinya, ternyata hanya ditemukan dalam 6 puisi dari sekitar 170 puisi. Dengan demikian penyair Darmanto Jatman kurang memanfaatkan “pasemon” secara signifikan dalam puisi-puisinya. Darmanto Jatman di dalam teks puisinya cenderung bergaya guyon parikeno, bercanda dengan memadukan banyak bahasa.

Perjalanan estetis perpuisian Indonesia, khususnya puisi lirik sebagaimana dilakukan oleh Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, W.S. Rendra, dan Linus Suryadi AG menghadapi tantangan ketika di dalam komunitas berbahasa masa kini yang sarat dengan eufemisme dan tindak berbahasa metaforikal. Menulis puisi di dalam situasi seperti itu tidak mudah, sebab kata telah kehilangan basis empirisnya. Satu upaya yang berhasil dilakukan oleh para penyair berbahasa ibu bahasa Jawa ketika menulis puisi berbahasa Indonesia ialah memanfaatkan “pasemon” sebagai cara ekspresi dan komunikasi. Kenyataan sosial, politik, ekonomi, dan budaya oleh penyair Indonesia diolah dan disampaikan melalui “pasemon” sehingga memberi peluang dan ruang gerak bagi berbagai tanggapan terhadap gejala sosial akibat pembangunan. Keberpihakan penyair pada kelompok yang dirugikan dalam pembangunan merupakan manifestasi dari kesaksian penyair atas perubahan besar-besaran dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya Indonesia.

Secara teoretis dan akademis dalam hubungannya dengan pendidikan dan pengajaran sastra, tampilnya “pasemon” di dalam teks puisi merupakan fenomena baru dalam perpuisian Indonesia yang perlu dideskripsikan, diterangjelaskan, dan disosialisasikan secara luas. Dari pemaparan dan penjelasan diketahui bahwa “pasemon” merupakan cara ekspresi dan cara berkomunikasi yang tidak langsung karena menggunakan kias atau lambang berupa metafora-metafora dan ironi yang unik. Di dalam “pasemon” terdapat ciri “bilang begini, maksudnya begitu” untuk menyindir atau mengkritik, atau apa yang dimaksudkan oleh penyair perlu dimaknai terlebih dulu. Dalam konteks ini “pasemon” memiliki kedekatan pengertian dengan ilmu pragmatik seperti implikatur percakapan, praanggapan,  presuposisi,  tindak tutur, dan kesantunan. 

Secara teoretis dan akademis, yakni untuk kepentingan  teori atau pengembangan ilmu dan pengajaran sastra di lembaga pendidikan formal dan nonformal—dari pendidikan dasar, menegah, hingga perguruan tinggi—fenomena “pasemon” yang disdajikan dalam bab-bab sebelumnya memiliki kontribusi bagi teori-teori puisi lirik dan teori pragmatik. Selain itu, oleh karena “pasemon” menggunakan bahasa kias atau lambang dalam bentuk struktur (wujud), makna, dan fungsi komunikatif tertentu (dan bentuk struktur, makna, dan fungsi komunikatifnya itu perlu dimaknai) maka hasil pemaknaan yang dibuahkan berkorespondensi dengan teori semantik, semiotik, dan hermeneutik. Pada tataran teoretis dan akademis hasil yang dibuahkan dengan penelitian wujud, makna, dan fungsi komunikatif “pasemon” dapat memberikan kontribusi dan relevansi dalam pengembangan ilmu sastra dan pragmatik. Sehubungan dengan hal itu  apa yang telah disajikan dalam buku ini kiranya dapat dijadikan masukan dalam bidang pengembangan teori puisi, khususnya puisi lirik, dan dipergunakan sebagai bahan pengajaran sastra dan pragmatik. Untuk kepentingan akademis (pendidikan dan pengajaran sastra), misalnya pengajaran Apresiasi Puisi, Telaah Puisi, Kajian Puisi, Kritik Sastra, dan Penulisan Kreatif Sastra di perguruan tinggi, kepada pengajar disarankan memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan sandingan dan bandingan; kepada pengajar di sekolah dasar dan menengah, disarankan untuk menggunakan fenomena “pasemon” ini sebagai titik tolak untuk mengenal kesantunan dalam berbahasa dalam arti luas. 

Selain itu, arti penting fenomena tentang “pasemon”  dalam hubungannya dengan pendidikan nonformal atau pendi-dikan luar sekolah dan pendidikan di dalam keluarga ialah bahwa “pasemon” sebagai produk budaya perlu ada “yang menjaga”. Pihak yang relevan “menjaga” dan membina “pasemon” bagi anak bangsa dan masyarakat luas adalah para pejabat, para pemuka masyarakat, dan termasuk di dalamnya para orang tua. Menurut penulis, merekalah yang pertama-tama dan utama perlu dibina untuk menguasai fenomena “pasemon” dalam kehidupan sosial-masyarakat, sebab realitas yang terjadi di tengah masyarakat kita dewasa ini ialah meluasnya budaya “anti kritik”. Agar masyarakat terbiasa menerima kritik, disarankan mereka berusaha untuk menguasai seluk-beluk “pasemon”. Dengan menguasai “pasemon”, penulis berharap suatu ketika generasi yang akan datang memiliki “budaya malu” dan tidak anti kritik. Menurut penulis, sejak awal para guru, pejabat, pemuka masyarakat, dan orang tua perlu membiasakan menggunakan “pasemon” dalam kehidupan sehari-hari.

Sekali lagi, dalam hubungannya dengan institusi pendidikan, lembaga sosial-kemasyarakatan, dan lingkungan keluarga, hasil penelitian tentang wujud, makna, dan fungsi komunikatif “pasemon” memiliki implikasi penting bagi berbagai aktivitas yang ada hubungannya dengan penuturan tidak langsung dan terselubung. Implikasi penting itu berhubungan dengan realitas di tengah masyarakat yang acap menggunakan bentuk tuturan tidak langsung dan terselubung, yang antara lain berupa “pasemon”. Apabila warga masyarakat dapat memahami hakikat dan seluk-beluk “pasemon” sebagai salah satu bentuk penuturan tidak langsung yang digunakan untuk menyampaikan berbagai fungsi dan tujuan komunikasi, maka warga masyarakat itu tidak akan mengalami kesulitan ketika harus berkomunikasi dengan cara “pasemon”. Kepada berbagai pihak disarankan untuk melakukan penjelajahan secara utuh-menyeluruh terhadap fenomena penggunaan “pasemon” dalam berbagai konteks komunikasi. Dengan penjelajahan, pemasyarakatan, dan penguasaan “pasemon” dapat mengembalikan jati diri bangsa yang berbudaya.

Pada dimensi metodologis penelitian tentang wujud, makna, dan fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa yang mengaplikasikan pendekatan kualitatif terhadap dokumen karya sastra telah membuahkan hasil berupa paparan dan penjelasan tentang seluk-beluk “pasemon”. Langkah-langkah dan prinsip-prinsip metodologis yang digunakan dan telah menghasilkan temuan tentang seluk-beluk “pasemon” itu menimbulkan implikasi tertentu. Implikasi itu adalah (1) metodologi penelitian sastra pada hakikatnya dapat mengikuti prosedur dan langkah-langkah penelitian pada umumnya, terutama metodologi penelitian yang berhubungan dengan penelitian humaniora dalam konteks sosial-budaya; (2) secara metodologis pendekatan teori yang digunakan di dalam penelitian ini, yang secara holistik memadukan teori Analisis Isi, Semiotika, Analisis Teks, dan Hermeneutika serta kurang mengeksploitasi teori pragmatik, dapat menjawab seluk-beluk “pasemon” dalam teks puisi Indonesia sesuai dengan masalah dan tujuan yang diteliti; dan (3) metodologi yang dipilih dalam penelitian yang bersifat budaya di dalamnya terdapat kekurangan dan karenanya perlu dukungan teori-teori lain yang relevan. Oleh karena itu kepada peneliti lain, yang tertarik pada masalah “pasemon” dalam hubungannya dengan pragmatik misalnya implikatur, praanggapan, prinsip kerja sama, dan kesantunan, disarankan agar mempertimbangkan implikasi-implikasi tersebut seraya melakukan inovasi-inovasi metodologis seperlunya.



1 komentar: