Oleh: Dimas Arika Mihardja
EKOLOGI sastra adalah lingkungan (situasi dan kondisi) yang turut terlibat di panggung wacana. Di dunia kita, dunia kata (sastra) dihuni oleh sastrawan selaku kreator, pembaca selaku konsumen, dan pihak-pihak lain yang turut menentukan keberadaan sastra. Dalam gejolak ekonomi, politik, sosial dan budaya seburuk apapun tidak menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Tidak ada pihak mana pun yang kuasa menghalangi pelahiran dan kelahiran sastra. Sastra bisa lahir di manapun dan dalam kondisi apapun sebab sejatinya sastrawan selalu bergumul dengan daya kreativitasnya untuk berkarya.
Sastra selalu dilahirkan oleh sastrawan. Kelahiran dan pelahiran sastra dari rahim sastrawan bersifat personal dan individual. Namun, ada kalanya kelahiran sastra perlu ditolong dan dibantu oleh bidan (baca: penerbit berwibawa) dan dirawat oleh seorang Bapak Bijak (baca: pengamat/kritisi). Masalahnya adalah kehadiran bidan yang siaga (penerbit yang siap melayani) dan Bapak Bijak (pengamat/kritisi) yang penuh perasaan cinta untuk merawat dan memelihara sastra semakin langka. Ini wacana yang telah lama mengemuka di panggung sastra kita. Sastra terkadang lahir sebagai yatim piatu, kurang gizi, dan kurang ASI.
Memang sastra dapat lahir, tumbuh, dan kemudian berkembang sesuai dengan dinamikanya sendiri. Sastrawan dapat ”berdarah-darah” dalam melahirkan karya sastra. Ia menyerahkan hidup dan matinya demi kemajuan sastra (karya sastra yang bernilai tinggi). Ia tak mengenal cuaca. Tak mengenal musim. Tak mengenal perubahan panca roba. Sastrawan ialah ibu kandung sastra yang selalu memelihara anak-anaknya dengan penuh perasaan bertanggung jawab, penuh cinta kasih, penuh pengabdian, dan selalu menjunjung kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya.
Itulah sebabnya, dalam perspektif historis, kemudian kita bisa memiliki khasanah sastra Indonesia klasik, sastra Indonesia baru, dan sastra Indonesia mutakhir. Sastrawan yang baik selalu mengawal karya yang dilahirkannya hingga tumbuh menembus perjalanan waktu. Tugas utama sastrawan ialah bagaimana ia melahirkan karya sastra yang bernilai literer, best seller, dan menawarkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri, karyanya, dan terutama demi kebaikan orang lain.
Perkembangan sastra akan tidak sehat (kurang gizi dan ASI) jika berbagai pihak terkait bersikap masa bodoh, menjauh dari entitas bernama sastra, dan tidak peduli. Pada titik inilah akar masalahnya: penyelamat sastra Indonesia mulai langka! Lantas siapakah yang bertanggung jawab jika kondisi sastra memprihatinkan dan kurang sehat hingga perlu diselamatkan? Pertama dan utama pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan sastra ialah sastrawan. Sastrawan mestilah memiliki tanggung jawab ”moral” dalam berkarya. Sastrawan yang baik selalu berkehendak melahirkan karya sastra yang bernilai, baik lisan maupun tulisan. Pendeknya, sastrawan selalu berusaha melahirkan karya bernilai, baik bernilai bagi karyanya, pembacanya, maupun masa depan sastra. Tugas sastrawan ialah menemukan medium ungkap yang paling tepat bagi karya-karya yang dilahirkannya.
Pihak yang juga bertanggung jawab ialah pengamat, kritisi, akademisi, penerbit, dokumentator, pustakawan, institusi kesenian dan kebudayaan. Jika ternyata ada pengamat atau kritisi terlebih dari kalangan akademisi (entah sadar atau tidak sadar) melarang mahasiswa untuk meneliti karya sastra yang dihasilkan oleh putra daerah tentulah merupakan musibah. Jika karya-karya terbaik putra daerah ini tidak pernah berkesempatan diterbitkan oleh penerbit besar (dan berwibawa), apakah serta serta kualitasnya bisa diremehkan? Jika karya-karya sastra hasil kreativitas putra-putri terbaik negeri ini ditelantarkan oleh dokumentator (seperti HB Jassin, misalnya), tidak tersusun dalam katalog pengarang di perpustakaan, dan tidak pernah dihargai oleh institusi kesenian dan kebudayaan, yang nota bene bertanggung jawab turut membina dan mengembangkan sastra, tentulah menggambarkan iklim yang tidak sehat bagi dunia sastra.
Pihak-pihak seperti penerbit, pengamat, kritisi, akademisi, perpustakaan, institusi kesenian dan kebudayaan semuanya turut bertanggung jawab menciptakan ekologi sastra yang sehat. Mereka terkait dan bertanggung jawab langsung atau tidak langsung terhadap nasib sastra. Partisipasi, pengertian, dan pengorbanan berbagai pihak terkait atas nasib sastra kita akan menjadi penyelamat kehidupan sastra di masa-masa yang akan datang. Tentu saja sesuai dengan bidang garapan masing-masing, sesuai dengan kemampuan, sesuai dengan perasaan ”tanggung jawab” masing-masing.
Selain sastrawan, yang secara otomatis selalu memperjuangkan hasil karya-karya terbaiknya, seyogyanya pihak-pihak lain yang terkait terutama dari kalangan terdidik memiliki kesadaran dan kemaauan yang baik untuk menjaga, membina, dan mengembangkan kehidupan sastra yang dinamik, demokratis, fleksibel, dan dapat dipertanggung jawabkan menurut metode berfikir ilmiah. Wacana kita saat ini ialah persoalan menyelamatkan (dan menyehatkan) ekologi sastra. Demikian,salam budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar