“Pasemon” sebagai bentuk atau cara ekspresi dalam komunikasi puitik memiliki berbagai fungsi komunikatif. Sebagai gejala komunikasi melalui bahasa, “pasemon” memiliki ciri polisemantis dan multi fungsi. Dapat dinyatakan bahwa di dalam “pasemon” terkandung banyak makna dan fungsi sekaligus. Fungsi komunikatif “pasemon” tersebut di antaranya adalah referensial, ekspresif, direktif, estetik, dan metalinguistik. Fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia dapat bersifat referensial apabila di dalam “pasemon” terdapat isi acuan sebagai suatu pesan. Fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia dapat bersifat ekspresif (emotif) apabila di dalam “pasemon” tergambar sikap dan perasaan penyair. Fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia dapat bersifat direktif (konatif) apabila di dalamnya terdapat harapan dan keinginan penyair. Fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi dapat bersifat metalinguistik apabila di dalamnya terdapat penggunaan berbagai isyarat, kias, atau lambang. Fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi dapat bersifat estetik apabila di dalamnya terdapat cara-cara penyampaian pesan melalui berbagai wahana estetik puisi.
Fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia, berdasarkan hasil analisis data dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu (1) fungsi ekspresif “pasemon” realisasinya berupa respon penyair terhadap paham, ajaran, dan keyakinan agama tertentu; respon penyair terhadap norma-norma, kebiasaan, adat dan tradisi masyarakat Jawa; respon penyair terhadap fenomena alam semesta; dan respon penyair terhadap pandangan hidup, misteri hidup dan maut; (2) fungsi estetis “pasemon” yang realisasinya berupa respon penyair terhadap persoalan keindahan dan kebenaran; dan (3) fungsi direktif “pasemon” yang realisasinya berupa respon penyair terhadap persoalan baik-buruk, benar-salah, dan berbagai pranata dalam kehidupan yang ada di tengah masyarakat. Tiga kategori fungsi komunikatif “pasemon” tersebut dikemukakan dalam paparan berikut.
1. Fungsi Ekspresif “Pasemon”
Fungsi ekspresif “pasemon” digunakan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa untuk mengungkapkan persoalan-persoalan edukatif-religius, adat-tradisi Jawa, mikro-makrokosmos, dan filosofis. Fungsi ekspresif “pasemon” ini digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan berbagai paham, ajaran, dan keyakinan penyair terhadap berbagai fenomena yang dapat dicerapnya. Berbagai paham, ajaran, dan keyakinan penyair itu digali oleh penyair dari budaya Jawa, yang dalam hal ini berupa mitologi, ajaran kebatinan, dan religiusitas. Berbagai paham, ajaran, dan keyakinan penyair itu secara intens terungkap sebagai “pasemon” di dalam teks puisi Indonesia.
Penyair secara kritis menyampaikan paham, ajaran, dan keyakinan dalam rangka “menyindir” diri sendiri dan orang lain agar dijadikan rujukan atau acuan tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan dalam hidup dan kehidupan. Ketika manusia mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi Tuhan, misalnya, terungkap dalam teks puisi “Kabut” (Goenawan Mohamad). Diungkapkan secara “pasemon” oleh Goenawan Mohamad dalam puisi “Kabut” tentang kebuntuan komunikasi antara kawula dan Gusti. Manusia sebagai kawula ketika menghadapi masalah hidup dan kehidupan senantiasa bermaksud berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Namun, dalam praktiknya, manusia sering terjebak pada kebuntuan, kesedihan, dan berbagai perasaan yang tidak menentu, sehingga semuanya bagaikan “kabut”: Siapakah yang tegak di kabut ini. Atau Tuhan atau kelam.
Manusia hendaknya akrab dan mau bergumul dengan masalah hidup dan kehidupan. Selain itu, manusia harus membuka diri melihat perkembangan zaman. Tanpa mau bergumul dengan masalah hidup dan kehidupan dan tanpa mau mengikuti perkembangan zaman, maka hakikat kemanusiaan menjadi lenyap. Dalam konteks situasi seperti itu, penyair Goenawan Mohamad melalui puisinya “Jangan Lagi Engkau Berdiri” mengajak pembaca puisinya agar mengikuti saran yang disampaikan oleh penyair: Jangan lagi engkau berdiri di jendela-jendela sunyi dan kelam kali’ jangan lagi engkau tak mengerti sajak apakah yang tinggal sendiri. Manusia, selain harus bergumul dengan masalah hidup dan kehidupan dan harus mengikuti perkem-bangan zaman, ia harus juga mau memahami hakikat musibah dan berkah sebagaimana diungkapkan oleh penyair Goenawan Mohamad dalam teks puisi berjudul “Lagu Hujan”. Hujan bagi penyair Goenawan Mohamad dipahami sebagai berkah dan sekaligus musibah yang harus diterima oleh manusia: Di luar hujan membisikkan talkin purba bagi seorang Pemimpin, di hari kemarin disalibkan dunia.
Dalam hidup dan kehidupannya, manusia diharapkan dapat membedakan apa yang penting (utama) dan apa yang sekadar pelengkap. Manusia yang terjebak pada pilihan-pilihan yang keliru, misalnya lebih mengutamakan aspek hiburan dan melalaikan pilihan lain yang lebih esensial dikemukakan dengan “pasemon” edukatif-religius oleh penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Iklan”. Dalam konteks ini penyair secara ironis dan tragis menyampaikan sindirannya melalui seseorang yang akhirnya harus menghadapi kematian akibat sering mengumbar kesenangan duniawi dan mengabaikan hal-hal yang vital dalam kehidupan manusia. Dengan “pasemon” yang ironis dan tragis penyair menulis: Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu, konon yang terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah “Hidup Iklan”. Dalam teks puisi lainnya, “Sonet: Hei Jangan Kaupatahkan”, penyair Sapardi Djoko Damono menyampaikan ajaran untuk mencintai kehidupan: Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu atau mencintai sesama manusia sebagaimana diungkapkan oleh penyair dalam teks puisi “Tentang Mahasiswa yang Mati”: Aku mencintainya sebab ia mati ikut rame-rame hari itu. Di dalam hidup dan kehidupan manusia, menurut keyakinan penyair Linus Suryadi AG, manusia hendaknya memiliki kesetiaan: Kesetiaan kepada hidup, hidup kepada kesetiaan laksana jaringjaring ikan dijalin dan dikembangkan.
Setiap puisi dapat dipandang sebagai catatan dan pengalaman batin penyair dalam menangkap dan merasakan cinta. Puisi sebaiknya dikaitkan dengan pengalaman pribadi penyair sebab puisi memang merupakan pengungkapannya. Dalam pandangan penganut pendekatan ekspresif, suara yang terdapat di dalam puisi adalah suara penyair. Bagi penyair, cinta merupakan tema utama dan abadi dalam puisi karena lahir dari dorongan pertama penyair menulis. Dalam konteks ini cinta tidak harus berarti hubungan lelaki-perempuan, tetapi hubungan yang lebih luas antara manusia, makhluk, alam sekeliling-nya, dan Tuhan yang menciptakan semua itu.
Fungsi ekspresif “pasemon” juga digunakan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa untuk merespon persoalan norma-norma, kebiasaan, adat dan tradisi masyarakat Jawa juga menjadi acuan penyair Indonesia di dalam karya puisinya. Di dalam komunitas masyarakat Jawa dikenal kebiasaan meyakini bintang kemukus sebagai suatu isyarat tentang adanya bahaya atau musibah yang akan datang. Kebiasaan seperti itu hadir sebagai acuan di dalam teks puisi “Bintang Kemukus” karya Goenawan Mohamad dan “Bintang Jatuh”, karya Linus Suryadi AG.
Di tengah kehidupan masyarakat juga ditemukan adanya norma dan kebiasaan memberi apresiasi tinggi terhadap keindahan yang dipandang adiluhung, misalnya terhadap barang antik seperti keramik: Apa yang berharga pada tanah liat ini selain separuh ilusi? Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi (“Kwatrin tentang Sebuah Poci”, Goenawan Mohamad); terhadap nilai-nilai hidup-mati yang digali dari lakon-lakon wayang (“Pariksit”, Goenawan Mohamad dan “Mudigah”, gubahan Linus Suryadi AG); terhadap persoalan kegelisahan manusia (“Ruang Tunggu” dan “Terbaring”, gubahan Sapardi Djoko Damono); terhadap nilai-nilai kehalusan budaya Jawa (“Lagu Tentang Seorang Penggesek Rebab” dan “Gandrung Banyuwangi” gubahan Linus Suryadi AG); terhadap nilai ungkapan dan petuah yang berharga (“Karon Sih”, Linus Suryadi AG); terhadap warisan budaya (“Borobudur”, Linus uryadi AG).
Fungsi adat-tradisi dalam konteks ini menyaran pada bentuk-bentuk penghargaan terhadap berbagai masalah adat-tradisi, baik dalam dimensi penggalian, penghargaan, dan penyebarluasannya. Bagi penyair berlatar belakang budaya Jawa, adat-tradisi Jawa sebagai warisan leluhur pantas “diuri-uri”—dipelihara, dihargai, dan dikembangkan secara luas. Adat-tradisi Jawa, bagi penyair berlatar belakang budaya Jawa, merupakan sumber penciptaan puisi yang tidak pernah kering. Selain itu, adat-tradisi Jawa yang terkenal luhur nerupakan kekayaan rohani sebagai tempat sandaran dan tumpuan bagi penciptaan, karena adat-tradisi Jawa nyata-nyata telah memberi-kan semacam “roh” atau elan vital bagi penyair untuk memberikan sentuhan kedalaman dan keindahan karya puisi yang diciptakannya.
Penyair Indonesia yang dijadikan fokus penelitian ini menun-jukkan apresiasi yang tinggi terhadap adat-tradisi, baik adat-tradisi yang digali dari khazanah budaya sendiri, maupun dari khazanah budaya asing. Salah satu cara yang efektif untuk berkomunikasi dengan khalayak adalah melalui mitos serta berbagai konvensi yang dikenal baik oleh penyair dan pembaca puisi. Di samping berbagai konsep kebudayaan Jawa, wayang agaknya menjadi pilihan penyair sebagai sumber dan sarana penciptaan. Wayang bagi penyair dijadikan sebagai acuan dan sangkutan penciptaan puisi berbahasa Indonesia—teks puisi Indonesia. Sastra Indonesia ini tidak lain, menurut Sapardi Djoko Damono (1999:177), adalah “sastra-sastra Indonesia”, yakni sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia oleh penyair-penyair yang berasal dari berbagai kelompok etnis dan ras yang memiliki bermacam ragam kebudayaan; masing-masing memiliki mitos, adat, bahasa, pandangan hidup, dan sebagainya. Untuk mewujudkan semua itu, penyair Indonesia lalu berusaha mengacu ke berbagai sumber seperti Al-Qur’an, Injil, mitologi Jawa, wayang, peninggalan berbagai agama di Jawa, dan pengembaraan penyair ke berbagai tempat di Indonesia dan negeri asing.
Dengan adat-tradisi Jawa, para penyair berlatar belakang budaya Jawa dalam menulis puisi berbahasa Indonesia dapat menggunakan wahana yang biasa digunakan dalam komunikasi dengan komunitas pembaca. Salah satu wahana yang dimanfaatkan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa ialah digunakannya bentuk “pasemon” untuk menyampaikan berbagai permasalahan dan pemikiran tentang hidup-mati, keindahan-kehalusan budaya, warisan budaya, norma-norma yang mengatur hidup dan kehidupan manusia, dan lain-lainnya.
Fungsi ekspresif “pasemon” juga digunakan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa untuk merespon persoalan mikro-makrokosmos, yakni fungsi yang berhubungan dengan fenomena alam mikrokosmos dan makrokosmos terdapat di dalam teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa. Fungsi ekspresif mikro-makrokosmos ini diungkapkan oleh penyair Indonesia agar dijadikan rujukan atau acuan tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan dalam hidup dan kehidupan. Penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa, sesuai dengan pandangan dan keyakinan yang dianut, menyampaikan berbagai pemikiran berhubungan dengan hakikat asal manusia, tujuan hidup manusia, hakikat kematian, dan refleksi fenomena alam semesta. Teks puisi yang mengandung referensi mikro-makrokosmos antara lain “Bintang Kemukus” (Goenawan Mohamad), “Lanskap”, “Sonet: Hei Jangan Kaupatahkan”, “Bunga, 2”, “Bunga, 3”, “Cermin, 1”, “Sonet: Entah Sejak Kapan”, (Sapardi Djoko Damono), “Bintang Jatuh”, “Di Pendapa Mangkubumen”, “Kadisobo” (Linus Suryadi AG).
Penyair Goenawan Mohamad melalui teks puisi “Bintang Kemukus” dan Penyair Linus Suryadi AG melalui teks puisi “Bintang Jatuh”, yang keduanya merupakan hipogram dan memiliki hubungan intertektualitas, mengungkapkan persoalan mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta) yang saling berinteraksi. Manusia dalam kehidupannya senantiasa bersandar pada kebiasaan dan kepercayaan terhadap gejala alam yang berhasil diamatinya. Dalam alam pikiran orang Jawa terdapat kebiasaan dan kepercayaan terhadap fenomena bintang kemukus yang konon merupakan isyarat akan datangnya bahaya. Isyarat akan datangnya bahaya itu disandarkan pada fenomena alam dan pengalaman masa lalu tentang rentetan peristiwa yang datang ketika terlihat bintang kemukus.
Penyair Sapardi Djoko Damono melalui teks-teks puisi “Lanskap”, “Sonet: Hei Jangan Kau Patahkan”, “Bunga, 2”, “Bunga, 3”, dan “Cermin” menyampaikan fungsi mikro-makrokosmos. Dinyatakan oleh penyair Sapardi Djoko Damono: sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua waktu hari hampir lengkap, menunggu senja putih, kita pun putih memandang setia sampai habis semua senja (“Lanskap”); Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu, ia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahannya yang tua yang telah mengenal baik, kau tahu, segala perubahan cuaca (“Sonet: Hai Jangan kaupatahkan”); mawar itu terkesiap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini (“Bunga, 2”); seuntai melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu (“Bunga, 3”). Gambaran yang dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono itu mencermin-kan alam mikro-makrokosmos yang menyiratkan suasana atau imaji tertentu. Suasana atau imaji tertentu itu difungsikan oleh penyair untuk menyampaikan fungsi mikro-makrokosmos.
“Di Pendapa Mangkubumen” dan “Kadisobo” merupakan dua puisi karya Linus Suryadi AG yang memberikan gambaran pengungkapan fungsi mikro-makrokosmos. Dalam “Di Pendapa Mangkubumen” penyair menyatakan: Kini padaku mengendap irama dan jiwa desa-kota, tapi padamu, entah apa, mungkin sekadar nostalgia. Di dalam puisi “Kadisobo” penyair memberikan gambaran petani di dusun yang selama 30 tahun hidup menghadapi racun: Kapan kaum tani di dusun tanpa pestisida dan tanpa racun tapi itu terjadi sudah 30 tahun. Persoalan desa dan kota dalam dua puisi karya Linus Suryadi AG itu memberikan gambaran bahwa penyair sangat akrab dengan alam mikro (dirinya sendiri) dan alam makro (desa dan kota). Demikianlah, fungsi mikro-makrokosmos digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan persoalan diri sendiri dan persoalan lingkungan.
Fungsi ekspresif “pasemon” juga digunakan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa untuk merespon persoalan filosofis. Persoalan filosofis ini berhubungan dengan penyampaian pandangan hidup, misteri hidup dan maut ditemukan dalam sejumlah teks puisi karya penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa. Fungsi filosofis ini diungkapkan oleh penyair Indonesia agar dijadikan rujukan atau acuan tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan dalam hidup dan kehidupan. Cukup banyak teks puisi karya penyair Indonesia yang mengungkapkan fungsi referensial filosofis, di antaranya “Riwayat”, “Gerbong-gerbong Senja”, “Pariksit” (Goenawan Mohamad), “Tentang Seorang Penggali Kubur yang Mati”, “Lanskap”, “Sonet: Hei Jangan Kaupatahkan” (Sapardi Djoko Damono), “Berlayar”, “Bangunan”, dan “Lingsir Malam” (Linus Suryadi AG).
Fungsi filosofis berhubungan dengan kedekatan para penyair Indonesia pada alam filsafat yang mempertanyakan persoalan “ada, berada, mengada, mengada bersama” atau dalam terminologi Jawa “Ananing ana iku amarga Hyang”, “Sangkan paraning dumadi”, di samping pernyataan-pernyataan yang lebih mencari isi, inti, esensi seperti “susuh angin”, “air perwitasari”, “sajatining ana”, dan lain-lain. Berbagai paham dan aliran filsafat yang didalami oleh penyair difungsikan untuk menyampaikan berbagai pikiran dan tanggapan atas berbagai fenomena yang dijumpai selama proses kreatif dalam menciptakan puisi. Dalam konteks ini dapat dikemukakan bahwa para penyair berlatar belakang budaya Jawa mengolah alam pikiran filsafat Jawa dan filsafat dunia ke dalam puisi yang diciptakannya. Mereka, para penyair, dalam beberapa teks puisi mengajukan pertanyaan filosofis tentang berbagai hal.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penyair terasa tajam jika ia mengacu pada berbagai aspek sejarah dan kebudayaan Jawa yang sebelumnya telah dibebani konotasi. Teks puisi “Borobudur”, misalnya, mengacu pada suatu benda budaya yang dalam kebudayaan Jawa sangat penting. Kedudukan candi itu sekarang bergeser, tidak lagi hanya sebagai pusat kegiatan kerohanian tetapi lebih sebagai pusat kegiatan pariwisata, masalah aktual yang menjadi pertanyaan penyair Linus Suryadi AG tersirat dalam bait-bait puisi.
2. Fungsi Estetis “Pasemon”
Fungsi estetis “pasemon” berhubungan dengan penyam-paian keindahan dan kebenaran di dalam teks puisi. Fungsi ini, berdasarkan hasil analisis data, dijadikan prioritas bagi penyair dalam berkarya. Fungsi estetis ini tampaknya menjadi prioritas utama bagi setiap penyair. Dapat dikemukakan bahwa setiap penyair dalam menciptakan puisi selalu berorientasi pada penyampaian nilai estetis. Penyampaian estetika itu realisasinya berupa usaha maksimal penyair dalam menata bahasa dalam bingkai konvensi sastra dan konvensi budaya untuk mewadahi gagasan yang akan disampaikan melalui teks puisi. Salah satu cara ungkap yang digunakan oleh penyair Indonesia dalam hubungannya dengan fungsi estetis ini ialah digunakannya “pasemon”. Melalui “pasemon”, penyair Indonesia dapat menyampaikan referensi estetis dengan cara “bilang begini, maksudnya begitu” atau meminjam ungkapan Riffaterre dalam Semiotic of Poetry (1978) “Says of thing and means another”.
Dalam dimensi fungsi estetis “pasemon” ini pembaca dapat menikmati puisi-puisi Goenawan Mohamad yang remang-remang tetapi menawan, puisi Subagio Sastrowardoyo yang sarat dengan pemikiran filsafati, puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang lincah mengolah kata-kata, puisi-puisi Linus Suryadi AG yang sarat pemikiran kejawen, puisi-puisi Rendra yang sederhana tetapi kuat dalam penyampaian pesan, puisi-puisi Darmanto Jatman yang banyak mengolah beragam bahasa. Dengan fungsi estetis “pasemon”, teks puisi yang diciptakan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa memiliki ciri ketidaklangsungan pengungkapan yang menurut Riffatere (1978) timbul akibat adanya (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan teks puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi-puisi yang diciptakan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa, pada umumnya kata-kata kiasan difungsikan untuk menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain.
Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Di dalam teks puisi juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan.
Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip peng-organisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme. Teks puisi termasuk ke dalam jenis teks transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena teks puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa teks puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan teks khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfa-atkan segala kemungkinan yang tersedia.
Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Misalnya teks puisi “Pamflet Penyair” karya Rendra berikut ini praktis sama dengan penyairnya sendiri.
Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Kepadamu aku bertanya.
(Rendra, “Pamflet Penyair”)
Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu.
Berangkat dari kebudayaan Jawa, menurut Santoso (2000: 17), fungsi estetis “pasemon” diolah oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa dari empat unsur estetika pedalangan, yaitu (1) banyol, (2) greget, (3) nges, dan (4) sem. Keempat unsur estetika puisi sebagai “pasemon” ini erat sekali hubungannya dengan emosi pembaca dan kemampuan penyair menyusun kata-kata. Setiap pembaca puisi yang mendasarkan pada estetika puisi sebagai “pasemon” akan beranggapan bahwa penyair yang benar-benar unggul dan berkualitas adalah penyair yang mampu menghadirkan parodi sehingga pembaca merasa geli atau ikut tersenyum karena ada sesuatu yang lucu (banyol), mampu menimbulkan ketegangan sehingga menggugah emosi pembaca (greget), mampu membuat terharu ketika dalam suasana sedih dan membuat geram serta marah ketika dalam suasana menjengkelkan (nges), dan mampu membangkitkan kepekaan erotik pembaca (sem). Pertama, banyol arti harfiahnya: lelucon, lawakan, gurauan, kelakar, canda, dan jenaka (Santoso, 2000:17). Banyol merupakan unsur estetika puisi yang mengandung sifat lucu, jenaka, lawakan, atau parodi yang disesuaikan dengan tempat dan keadaan. Kedua, greget secara harfiah berarti kemauan atau semangat (Santoso, 2000:17—18). Puisi memiliki greget untuk memberi pasemon kepada seseorang atau keadaan tertentu yang dianggapnya tidak pada tempatnya. Melalui greget itulah penyair mencoba menawarkan ide, gagasan, dan pemikiran sebagai jalan tengah pemecahan terbaik yang dihadapi oleh seseorang atau keadaan tertentu. Greget-lah yang merupakan unsur estetika puisi yang mengandung sifat tegang, marah, emosional, dan bersemangat karena terjadi berbagai konflik kepentingan. Ketiga, nges berarti mengesankan, menawan hati, dan menyenangkan (Santoso, 2000:17—18). Sebagai unsur estetika puisi sebagai pasemon, nges mampu menimbulkan keharuan atau suasana hati yang trenyuh ketika puisi itu bersuasana sedih, duka lara, berkabung atau kematian. Nges juga mampu menimbulkan dinamika makna yang lebih kreatif jika puisi itu bersuasana heroik, mencekam keadaan. Keempat, sem, merupakan unsur estetika puisi yang mampu menimbulkan suasana romantis, membangkitkan unsur erotik, dan memikat pembaca dalam hubungannya dengan adegan percintaan (Santoso, 2000:17—18). Secara etimologis sem berasal dari kata sengsem, yang berarti gemas, suka kepada seseorang atau sesuatu, dan birahi. Keempat unsur estetika puisi sebagai “pasemon” tersebut tidak secara serentak semuanya hadir dalam satu puisi yang utuh. Kadangkala hanya dua atau tiga unsur estetika yang menonjol hadir dalam satu puisi.
“Pasemon” bukan saja mencerminkan suatu tahap kepiawaian tertentu (yang dalam konsep Jawa sering identik dengan ‘kehalusan’). Ia juga semacam simtom dari sebuah masyarakat yang menerima kebudayaan sebagai trauma. Sebab konsep kebudayaan pada hakikatnya adalah sebuah konfigurasi yang tersusun dari serangkaian pergumulan dan dislokasi sosial. Pergumulan, atau bahkan bentrokan, itu sering tidak tampak dan tanpa kekerasan, namun tampaknya mengendap sampai ke bawah. Apa yang tampak kemudian adalah suatu struktur nilai-nilai dan juga perilaku, yang bergerak dari endapan sebuah trauma. Dalam hubungan ini kita dapat mencermati bagaimana hegemoni pemerintah selaku penguasa merekayasa bahasa dan kebudayaan dalam uniformitas yang seragam sehingga tidak memberikan ruang gerak yang leluasa bagi penciptaan dan penggelaran karya sastra.
Secara tidak langsung penyair Subagio Sasatrowardoyo menyatakan bahwa kekuatan sebuah karya sastra, sebagai ungkapan lain dari nilai estetik, sangat ditentukan oleh bentuk ekspresinya. Bentuk ekspresi itu kurang lebih merujuk pada teknik dan penggunaan sarana sistem tanda. Dalam hubungan dengan gambaran struktur dalam teks puisi, menurut Aminuddin (1995:73) bentuk ekspresi itu dapat dihubungkan dengan (1) penggunaan sistem tanda, misalnya berupa kata atau sesuatu yang dapat dianalogikan sebagai kata, (2) kekuatan penggunaan sistem tanda dalam mengaktualisasikan dunia acuan secara imajinatif, dan (3) kekuatan gambaran dunia imajinatif dalam menggambarkan dunia ide secara sugestif.
Dihubungkan dengan pengalaman estetik yang diperoleh oleh peneliti, nilai estetik teks puisi tidak selalu dapat dijelaskan sebagaimana dihayati dan dipahaminya. Misalnya, penjelasan tentang unsur dan hubungan antarunsur tidak akan mampu menyajikan gambaran nilai estetik sebagai totalitas secara sekaligus. Istilah estetik itu sendiri secara leksikal mengandung pengertian “...appreciation of the beautiful; having such appreciation; in accordance with principles of good taste” (Yunus, 1989:xxv). Kata estetik secara sumir sering dihubungkan dengan keindahan. Keindahan estetik menyiratkan dua matra. Matra pertama merujuk pada objek estetiknya sendiri. Matra kedua merujuk pada pengalaman estetik. Nilai estetik karya sastra sebagai objek estetik tidak mungkin dapat dijelaskan tanpa adanya pengalaman estetik.
Dalam hubungannya dengan masalah estetik, Segers (2000:31) merujuk pendapat Mukarvsky yang membedakan antara artefact dan estetic object. “Artefak” merupakan dasar material objek estetis: huruf-huruf yang dicetak di halaman kertas; “objek estetis” merupakan representasi artefak dalam pikiran pembaca atau dalam apa yang disebut ‘kesadaran kolektif, yang dalam suatu kesadaran sekelompok manusia dapat disistematisasikan. Jadi, peneliti selaku pembaca sastra turut menciptakan objek estetis. Pembentukan objek estetis yang mendasarkan diri pada artefak disebut kongkretisasi. Mukarovsky yakin tentang hubungan yang kuat antara “artefak” dan “objek estetis”. Hal itu berhubungan dengan tiga konsep, yaitu fungsi estetik, norma estetik, dan nilai estetik.
Sebuah fungsi estetis, menurut Segers (2000:31), diaktualisasikan dalam konteks sosial tertentu. Pemberian dinamika situasi sosial ini mengimplikasikan bahwa kehadiran dan intensitas fungsi estetis benar-benar dinamis. Fungsi estetis mungkin bersifat dominan, dan mungkin pula sekunder. Dominannya fungsi estetis menunjukkan subordinasi fungsi-fungsi lain, misalnya fungsi praktis dan fungsi simbolik. Dalam pandangan Mukarovsky, sebagaimana dirujuk oleh Segers (2000:32), fungsi estetis mempunyai tiga kualitas penting, yakni (1) suatu objek atau tindakan ketika fungsi estetis dominan diisolasi oleh fungsi estetis tersebut; (2) fungsi estetis menumbuhkan kesenangan atau kebahagiaan; dan (3) fungsi estetis terutama dikaitkan dengan bentuk objek atau tindakan ternyata mampu mengganti fungsi-fungsi lain yang tidak lagi dimiliki oleh objek atau tindakan itu karena waktu.
Dalam puisi, biasanya norma estetis dilanggar. Sebuah puisi dalam perkembangannya melanjutkan sebagian ciri norma periode sebelumnya, dan pada waktu yang sama menciptakan norma-norma baru dengan merusak beberapa norma yang lama. Beberapa norma dapat hadir secara serempak dalam semacam hubungan kompetitif pada saat setiap norma berlomba agar lebih dominan (Segers, 2000:32—33).
Fungsi estetis dalam pandangan Mukarovsky (dalam Segers, 2000:33) adalah data yang menciptakan norma dan nilai estetis, yang juga merupakan ukuran yang mengukur nilai tersebut. Norma adalah sebuah konstruksi yang mendasarkan diri pada nilai yang diberikan berulang-ulang. Nilai estetis dalam puisi dapat dipandang dominan ketika nilai tersebut mengubah nilai nonestetis ke dalam elemen struktur estetis yang lengkap. Menurut Mukarovsky ada tiga jenis nilai estetis, yakni (1) nilai estetis aktual: nilai ini merupakan akibat tindakan individual penyair yang unik; (2) nilai universal: nilai ini dapat dijumpai dalam potensialitas formal puisi untuk memfungsikan sesuatu yang bernilai estetis dalam bidang sosial yang sama sekali berbeda; dan (3) nilai evolusi: nilai evolusi teks puisi ditentukan oleh dinamika-dinamika perkembangannya.
3. Fungsi Direktif “Pasemon”
Fungsi direktif “pasemon” digunakan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa untuk merespon persoalan baik-buruk, benar-salah, dan berbagai pranata dalam kehidupan yang ada di tengah masyarakat juga tidak lepas dari perhatian penyair. Fungsi direktif “pasemon” ini digunakan oleh penyair di dalam teks puisi yang diciptakannya agar dijadikan rujukan atau acuan tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan dalam hidup dan kehidupan. Sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan hamba Allah penyair berkepentingan menyampaikan ajaran moral tentang baik-buruk dan benar-salah.
Dalam teks puisi Indonesia, para penyair dengan “pasemon” menyampaikan nilai-nilai etis (nilai moral) secara tersirat dan secara tersurat. Nilai etis ini, menurut Saryono (1997:487) berkenaan dengan keterikatan manusia Jawa kepada kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan. Dalam bahasa Jawa, hal ini terungkap antara lain dalam istilah becik, apik, pakarti, pantes, unggah-ungguh, dan totokromo. Keenam istilah ini merefleksikan makna kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan dalam pandangan manusia Jawa. Kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan ini lebih banyak bersangkutan dengan etiket dan moralitas.
Saryono (1997:487) selanjutnya menyatakan bahwa sebagai praksis hidup dan kehidupan, etiket dan moralitas Jawa menggariskan apa-apa yang dipandang baik dan pantas dan apa-apa yang dipandang tidak baik dan tidak pantas bagi manusia Jawa. Implikasinya, etiket dan moralitas Jawa memberikan atau menyediakan norma-norma etis dan moral yang berfungsi sebagai panduan sekaligus tolok ukur kadar kebaikan dan kepantasan sikap, ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku setiap manusia Jawa dalam hidup dan kehidupan mereka sehingga mampu menjadi manusia Jawa ideal. Dalam budaya Jawa, norma etis dan moral tersebut tampak terangkum ke dalam konsep wis nJawa/njawani (sudah menjadi manusia berbudaya Jawa), ngerti (memahami budaya Jawa), dan ora njawani (tidak/belum memahami atau belum menjadi manusia Jawa).
Nilai etis Jawa yang bermakna kebaikan dan kepantasan, menurut Saryono (1997:491) dapat tereksternalisasi dan termanifestasi dalam kebijaksanaan dan kekasihsayangan. Dengan kata lain, kebijaksanaan dan kekasihsayangan menjadi sumbu dasar (utama) niai etis Jawa. Dalam bahasa Jawa hal ini terungkap antara lain dalam istilah kawicaksanan, wicaksana, ber budi bawaleksana, asih ing sesami, welas asih, dan asah asih asuh. Istilah kewicaksanan, wicaksana dan ber budi bawaleksana mengisyaratkan makna kebijaksanaan, sedangkan istilah asih ing sesami, welas asih, dan asah asih asuh mengisyaratkan makna kekasihsayangan. Dalam kaitan ini tepatlah pandangan Amir (1986:164—168) ketika menyebut etika Jawa sebagai etika kekasih-sayangan.
Teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa secara tersirat dan tersurat menyampaikan nilai-nilai etis dalam ungkapan berupa “pasemon’ yang ironis. Penyampaian nilai-nilai etis dengan “pasemon” yang ironis itu pada hakikatnya merupakan berbagai tanggapan kritis penyair berlatar belakang budaya Jawa terhadap nilai-nilai etis. Sikap pasrah menerima nasib dan fenomena kekerasan yang sering dipaksakan oleh pihak-pihak tertentu secara etis bertentangan dengan pranata sosial yang seharusnya dijadikan rujukan dan dijunjung tinggi oleh semua pihak. Dalam beberapa teks puisi, penyair Subagio Sastrowardoyo, Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jatman, dan Linus Suryadi AG menunjukkan simpati terhadap orang-orang yang menderita akibat tekanan pihak tertentu. Teks puisi seperti “Aku Tak Bisa Menulis Puisi Lagi”, “Kisah Kasih”, “Paskah di Kentucky Fried Chiken”, misalnya, menunjukkan ungkapan simpati penyair Subagio Sastrowardoyo terhadap kaum yang ditekan. Secara tersirat, penyair menunjukkan kegeramannya terhadap pihak-pihak lain yang menekan. Dalam konteks yang lebih luas, teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa mengajak para pembaca puisi untuk menyadari adanya budaya kekerasan di sekelilingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar