Sebagai bentuk wacana sastra, unsur-unsur yang membangun puisi berbeda dengan prosa. Unsur-unsur tersebut adalah (1) diksi (diction), (2) imaji (imagery), (3) gaya bahasa (figurative language), dan (4) ritme dan rima (rhythm and rime) (Morris, 1964: 617). Berikut ini aspek-aspek tersebut diberikan penjelasan secukupnya.
Pertama, diksi. Diksi adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan perasaan (Ahmadi, 1988: 126). Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan tema, audien, dan kejadian. Diksi juga berarti penataan, penyusunan, dan pemilahan kata-kata ke dalam susunan tertentu yang secara efektif dapat mengung-kapkan ide, gagasan, dan perasaan. Prinsip utama dalam diksi adalah bahwa dalam pemilihan dan penempatan kata harus sesuai, tepat, ekonomis, dan tegas. Misalnya, larik puisi “Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang” (“Aku”, Chairil Anwar). Kata ‘aku’ dipandang lebih sesuai, tepat, ekonomis, dan tegas daripada kata ‘saya, beta, hamba, atau daku’, diksi ‘binatang jalang’ dipandang lebih tepat daripada “binatang liar atau buas’, dan seterusnya.
Hal yang penting diperhatikan tentang diksi dalam penciptaan puisi, menurut Ahmadi (1988: 126-127), ialah bahwa setiap kata merupakan lambang atau simbol yang mengacu kepada sesuatu yang lain. Kata ‘aku’ dan ‘binatang jalang’ keduanya melambangkan kebebasan. Penggunaan diksi dalam puisi, menurut Aminud-din (1995:215) secara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar maupun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis.
Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka penciptaan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan semantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat denotatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Secara asosiatif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang memiliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, antonimi. Aspek referensial yang digunakan bersifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacukan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.
Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka penciptaan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan semantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat denotatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Secara asosiatif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang memiliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, antonimi. Aspek referensial yang digunakan bersifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacukan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.
Kedua, imaji. Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat. Imaji merupakan unsur dasar yang khas dalam karya berbentuk puisi. Menurut Preminger (lihat Badrun, 1989) imaji adalah reproduksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh persepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image). Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang berhubungan dengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image) (Wellek dan Warren, 1979: 236-237). Nukilan bait pertama puisi “Riwayat” (Sajak-sajak Lengkap, 1961—2001:8) karya Goenawan Mohamad berikut ini terdapat berbagai macam imaji.
Gelitikkan, musim, panasmu ke usiaku
bersama matari. Dari jauh
bumi tertidur oleh nafasmu, dan oleh daun
yang amat rimbun dan amat teduh
Dan seperti mimpi
laut kian perlahan
kian perlahan
(Goenawan Mohamad, “Riwayat”)
Ketiga, gaya bahasa. Gaya menurut Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Rustapa, Hani’ah, 1994) adalah cara pengungkapan dalam prosa atau puisi. Analisis gaya meliputi pilihan kata, majas, sarana retorika, bentuk kalimat, bentuk paragraf, dan setiap aspek pemakaian bahasa oleh penulis. Gaya bahasa, menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984) adalah pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang arti harfiahnya. Gaya bahasa yang baik menimbulkan citra tertentu di dalam pikiran pembaca puisi. Dengan kata lain, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian. Oleh Hartoko dan Rahmanto (1986) gaya bahasa diartikan sebagai cara yang khas untuk mengungkapkan diri. Cara tersebut meliputi setiap aspek bahasa seperti pemilihan kata-kata, penggunaan kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya. Dengan demikian bahasa kias dalam puisi termasuk bagian dari gaya bahasa.
Ruang lingkup kajian gaya bahasa meliputi identifikasi bentuk, ciri, unsur, hubungan antarunsur dalam wacana puisi. Dengan demikian, kajian gaya bahasa memasuki wilayah yang berkaitan dengan komponen yang hadir secara simultan, yakni wacana puisi itu sendiri. Dari wacana puisi itu lebih lanjut dikaji aspek formal yang berkaitan dengan unit-unit gaya bahasa. Kajian unit-unit gaya bahasa itu dimanfaatkan sebagai dasar pemilahan jenis gaya bahasa, identifikasi ciri, serta dasar dalam menafsirkan satuan-satuan pesan yang dikandungnya. Jenis gaya bahasa secara umum dibedakan menjadi gaya bahasa perbandingan, pertentangan, pertautan, dan perulangan. Gaya bahasa tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah pemilihan dan penggunaan kata serta pemvariasian struktur. Dalam kaitan ini, Ahmadi (1991) menyatakan bahwa “gaya bahasa adalah kualitas visi, pandangan penulis/penutur, karena gaya bahasa merefleksikan cara seseorang pengarang memilih dan meletakkan kata-kata dan kalimat dalam tubuh karangan”. Pemilihan dan pemakaian suatu kata sangat ditentukan oleh kemampuan penulis dalam menangkap “rasa kata” atau tingkatan makna pada kata tersebut.
Gaya bahasa, termasuk di dalamnya bahasa kias, dapat dikelompokkan menurut berbagai segi, antara lain berdasarkan struktur kalimat dan berdasarkan langsung-tidaknya makna. Gaya bahasa yang memiliki acuan makna tidak langsung dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris mencakup: aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, pleonasme, tautologi, perifrasis, prolepsis, pertanyaan retoris, koreksio, hiperbola, paradoks. Gaya bahasa kiasan mencakup: persamaan atau simile, metafora, alegori, personifikasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoche, metonimi, antonomasia, hiplase, ironi, satire, antifrasis, dan paranomasia.
Ahmadi (1991) mengelompokkan gaya bahasa ke dalam dua kelompok, yakni gaya perasosiasian dan gaya penegasan. Pengelompokan Ahmadi ini sejajar dengan kategori gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang dikemukakan oleh Yassin (1996). Dari berbagai referensi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa kias sejajar dengan istilah gaya bahasa. Akhirnya, gaya bahasa dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, dan gaya bahasa asosiasi (pertautan dan perulangan) (Darmawan, 1995). Penelitian ini mengacu pada klasifikasi gaya bahasa yang dilakukan oleh Darmawan. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan pemakaian gaya bahasa metafora dalam puisi “Berlayar” karya Linus Suryadi A.G.
Kesetiaan kepada hidup
hidup kepada kesetiaan
Laksana jaring-jaring ikan
dijalin lalu dikembangkan
( Linus Suryadi A.G., “Berlayar”)
Keempat, ritme dan rima. Ritme dan rima besar pengaruhnya dalam memperjelas makna sebuah puisi. Ritma dan rima puisi ini erat berhubungan dengan pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan tujuan (intention). Lebih lanjut, hubungan ritme dan rima dinyatakan oleh Morris, dkk., 1964: 620) “rhythm is the result of systematically stressing or accenting words and sylables, whereas rime repeats similar sounds in some apparent scheme”. Dalam sastra Indonesia, khususnya puisi, ritme tidak selalu berhubungan dengan tekanan dan aksen, melainkan pada panjang dan pendeknya tuturan, cepat dan lambatnya pembacaan, dan ditentukan oleh tipografi puisi.
Rima dibedakan menjadi rima awal dan rima akhir.
Contoh rima awal:
Bagaikan banjir gulung gemulung
Bagaikan topan deruh-menderuh
Demikian rasa datang semasa
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
(J.E. Tatengkeng, “Perasaan Seni” bait I)
Contoh rima akhir:
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
(Amir Hamzah, “Padamu Jua” bait I)
Berdasarkan susunannya rima dapat berupa (1) rima berangkai dengan susunan aa, bb, cc, dd …; (2) rima berselang, dengan susunan abab, cdcd…; (3) rima berpeluk dengan susunan abba, cddc.
Contoh rima berangkai dengan susunan aa, bb, cc, dd:
Di mata air di dasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam
Di kawan awan kian kemari
Di situ juga jawab kucari
Kepada gung penjaga waktu
Kutanya jawab kebenaran tentu
(J.E. Tatengkeng, “Kucari Jawab”)
Contoh rima berselang dengan susunan abab, cdcd:
Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air-kaca,
Lagu diayunkan lagu ombak
Lautan besar bagai bermimpi
Tiada gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi
Di sana ombak memecah nyaring
(J.E. Tatengkeng, “Sepantun Laut” bait I, II)
Contoh rima berpeluk dengan susunan abba:
Perasaan siapa takkan nyala
Melihat anak berlagu dendang
Seorang sahaja berlagu dendang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
(M. Yamin, “Gembala”)
Riffaterre (1978:1—2) dengan tepat mengungkapkan karakteristik wacana puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono dalam suatu kesempatan “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai wacana mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam wacana puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi “Sajak Putih” karya Chairil Anwar (1959:19) berikut ini.
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah....
(Chairil Anwar, “”Sajak Putih”)
Bait pertama baris ke-3: Di hitam matamu kembang mawar dan melati. Kata ‘mawar’ dan ‘melati’ adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain, yakni sesuatu yang indah atau cinta yang murni. Secara umum, bahasa kias di dalam puisi seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu biasa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan lain, memiliki sifat sendiri: metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.
Dalam bait kedua baris pertama sepi menyanyi adalah personi-fikasi, dalam keadaan yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi: ‘sepilah yang menyanyi’ karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah yang beriak seperti air kolam kena angin. Dalam baris ke-3 dan 4 Dan dalam dadaku memerdu lagu menarik menari seluruh aku kata ‘lagu’ dan ‘menari’ itu mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan, yang bersandar pada tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat menyenangkan.
Dalam bait ketiga baris pertama: Hidup dari hidupku, pintu terbuka, mengiaskan bahwa ada jalan, ada harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya, yang dikiaskan dengan Selama matamu bagiku menengadah. Ketika kekasih masih mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. Selama engkau darah mengalir dari luka berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah, tidak bercerai. Semuanya itu merupakan “Sajak Putih”, yaitu pernyataan hati si penyair (sajak) yang diucapkan dengan tulus ikhlas (putih).
Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil Anwar bait ke-3 dan 4, baris-baris itu sesungguh-nya ambigu: Hidup dari hidupku, pintu terbuka selama mataamu bagiku menengadah. Ini dapat ditafsirkan dengan arti gandi bahwa hidup si aku akan selalu ada jalan keluar, ada harapan-harapan, atau kegairahan. Selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih menghendakinya, masih membutuhkan si aku, maka si aku akan tetap merasa hidup bergairah. Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita Mati datang membelah... itu dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan arti kata dan kalimat yang terdapat di dalam ungkapan itu, misalnya: selama kau masih hidup, masih dapat merasakan sakitnya hidup, antara si aku dan kekasihnya tidak bertengkar, berselisih pendapat, dan juga tidak bercerai, maka si aku hidup penuh dengan harapan.
Di dalam wacana puisi juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardoyo sering meng-gunakan ironi, misalnya pada puisi berjudul “Nyanyian Ladang” berikut.
Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis
Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelah selesai melunas hutang
Pak tani, jangan menangis.
Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan.
Pak tani, jangan menangis.
Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang.
Pak tani, jangan menangis.
(Subagio Sastrowardoyo, “Nyanyian Ladang”)
Dalam wacana puisi tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah cukup bagi pak tani: cukup istirahat, cukup punya kerja di sawah, punya sandang setelah lunas hutang, cukup punya pangan sesudah kondangan, cukup punya ladang buat bersawah. Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana dan sengsara, sebab penyair banyak menggunakan ungkapan Kau akan.... di balik ungkapan Pak tani, jangan menangis terdapat ironi: pak tani harus menagis dalam keadaan menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, punya makan setelah pergi kondangan.
Penyimpangan arti di dalam wacana puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih seperti sepisaupa, sepisaupi, terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Pot”: potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul “Herman”: kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’, ‘pisau’, dan ‘sapa’ menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’ dan ‘pikul’, menjadi ‘sepikul dosa’, maka dosa itu betapa berat dan sepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.
Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengor-ganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesung-guhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam wacana puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi berjudul “Mari” (1981:25) karya Sutardji Calzoum Bachri yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan.
mari pecahkan botolbotol
ambil lukanya
jadikan bunga
mari pecahkan tiktok jam
ambil jarumnya
jadikan diam
mari pecahkan pelita
ambil apinya
jadikan terang
mari patahkan rodaroda
kembalikan asalnya:
jadikan jalan
mari kembali
pada Adam
sepi pertama
dan duduk memandang
diri kita
yang telah kita punahkan
ada dan tiada
yang disediakan Adam pada kita
dan
mari berlari
pada siri kita
dan kembali menyimaknya
dengan keheranan Adam pada perjumpaan
pertama dengan dunia
(Sutardji Calzoum Bachri, “Mari”)
Wacana puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Wacana puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun wacana puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, wacana puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, wacana puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggunakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Wacana puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam wacana puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam wacana puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Misalnya wacana puisi “Pamflet Penyair” karya Rendra berikut ini praktis sama dengan penyairnya sendiri.
Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Kepadamu aku bertanya.
(Rendra, “Pamflet Penyair”)
Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari wacana itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Wacana itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Kedua puisi berikut, misalnya, menampilkan wajah aku lirik yang berbeda.
Kami jalan sama. Sudah larut.
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat.
(Chairil Anwar, “Kawanku dan Aku”)
Kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi satu
karna dindingku, karna dindingmu
dari mana kita, dunia bersatu
(Linus Suryadi AG, “Dinding-dinding Kota Yogya”)
Aku lirik di dalam wacana puisi menyapa seseorang, misalnya “engkau”, “kawan”, “-mu”, dan lain-lain. Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, gejala-gejala, para dewa, angin, awan, samodera, sebuah kota. Dalam sapaan retorik aku lirik memang menyapa seseorang atau sesuatu, tetapi tidak mengharapkan jawaban. Ungkapan serupa itu disebut apostrof.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar