Sabtu, 19 Februari 2011

MENGENAL "PASEMON" DALAM PUISI (2)

A. HAL-IKHWAL “PASEMON”
1.     Hakikat “Pasemon”

K
amus Istilah Sastra susunan Zaidan, Rustapa, dan Harni’ah (1994: 147) mengartikan pasemon sebagai sindiran atau kecaman terselubung dalam sastra Jawa, misalnya:

Wong adang kayune merang
(masak nasi dengan kayu merang)
Wong lanang mata keranjang
(lelaki mata keranjang)

“Pasemon” adalah bentuk atau lebih tepat suatu cara ekspresi yang beratahun-ta­hun, mungkin berabad-abad, dikenal di Jawa dan mungkin juga terdapat di tempat-tempat lain, dengan nama berbeda (Mohamad, 1996:307). Di da­lam “pasemon” terkandung unsur per­mainan. Makna kata “pasemon” beragam, tetapi semuanya berkaitan dengan isyarat atau sugesti: “pasemon” bisa berarti ekspresi wajah yang menunjukkan ---tanpa kata-kata—suatu sikap pada suatu saat dan tempat tertentu. “Pasemon” dapat juga ber­arti kias, dan dapat pula berarti sindiran (Mo­hamad, 1996: 307). Dengan demikian, “pasemon” realisasinya dapat berupa ung­kapan verbal (dengan kata-kata) dan dapat pula ungkapan nonverbal (mimik, gesture, isyarat, dll.).
Kata “pasemon”, menurut Santoso (2000:15), berasal dari kata dasar semu yang mendapat konfiks pa-an secara simultan. Kata semu merupakan ajektiva yang berarti ‘tidak jelas’, ‘samar’, ‘bukan yang sebenarnya’, dan ‘mendekatkan suatu sifat tertentu’. Konfiks pa-an berfungsi untuk membuat nomina. Melalui proses persandian [u] dan [a] berubah menjadi [o]. Ditinjau dari kata dasarnya, ‘semu’, “pasemon” sekaligus menyarankan se­suatu yang ‘bukan sebenarnya’ tetapi juga sesuatu yang ‘mendekati suatu sifat ter­tentu’. Dalam “pase­mon" makna tidak secara apri­ori hadir. Makna itu seakan-akan se­suatu yang hanya bisa muncul dalam suatu konteks, dalam suatu per­bandingan dengan suatu keadaan, terma­suk keadaan diri kita, atau dengan ekspresi lain yang pernah ada. Makna yang muncul itu pun tidak pernah fi­nal. Ada unsur permainan di sana, tetapi sekali­gus ada un­sur berjaga-jaga, untuk mengelak, dari setiap usaha perumusan yang beku dan kaku.
Berangkat dari kebudayaan Jawa, menurut Santoso (2000: 17), estetika “pasemon” bertolak dari empat unsur estetika pedalangan, yaitu (1) banyol, (2) greget, (3) nges, dan (4) sem. Keempat unsur estetika puisi sebagai “pasemon” ini erat sekali hubungannya dengan emosi pembaca dan kemampuan penyair menyusun kata-kata. Setiap pembaca puisi yang mendasarkan pada estetika puisi sebagai pasemon akan beranggapan bahwa penyair yang benar-benar unggul dan berkualitas adalah penyair yang mampu menghadirkan parodi sehingga pembaca merasa geli atau ikut tersenyum karena ada sesuatu yang lucu (banyol), mampu menimbulkan ketegangan sehingga menggugah emosi pembaca (greget), mampu membuat terharu ketika dalam suasana sedih dan membuat geram serta marah ketika dalam suasana menjengkelkan (nges), dan mampu membangkitkan kepekaan erotik pembaca (sem).
Pertama, banyol arti harfiahnya: lelucon, lawakan, gurauan, kelakar, canda, dan jenaka. Banyol merupakan unsur estetika puisi yang mengandung sifat lucu, jenaka, lawakan, atau parodi yang disesuaikan dengan tempat dan keadaan. Kedua, greget secara harfiah berarti kemauan atau semangat. Puisi memiliki greget untuk memberi “pasemon” kepada seseorang atau keadaan ter­tentu yang dianggapnya tidak pada tempatnya. Melalui greget itulah penyair mencoba menawarkan ide, gagasan, dan pemikiran sebagai jalan tengah pe­mecahan terbaik yang dihadapi oleh seseorang atau keadaan tertentu. Greget-lah yang merupakan unsur estetika puisi yang mengandung sifat tegang, ma­rah, emosional, dan bersemangat karena terjadi berbagai konflik kepentingan. Ketiga, nges berarti mengesankan, menawan hati, dan menyenang­kan. Sebagai unsur estetika puisi sebagai “pasemon”, nges mampu menimbul­kan keharuan atau suasana hati yang trenyuh ketika puisi itu bersuasana sedih, duka lara, berkabung atau kematian. Nges juga mampu menimbulkan dinamika makna yang lebih kreatif jika puisi itu bersuasana heroik, mencekam keadaan. Keempat, sem, merupakan unsur estetika puisi yang mampu menim­bulkan suasana romantis, membangkitkan unsur erotik, dan memikat pem­baca dalam hubungannya dengan adegan percintaan. Secara etimologis sem berasal dari kata sengsem, yang berarti gemas, suka kepada seseorang atau se­suatu, dan birahi. Keempat unsur estetika puisi sebagai pasemon tersebut tidak secara serentak semuanya hadir dalam satu puisi yang utuh. Kadangkala hanya dua atau tiga unsur estetika yang menonjol hadir dalam satu puisi.
“Pasemon” bukan saja mencerminkan suatu tahap kepiawaian ter­tentu (yang dalam konsep Jawa sering identik dengan ‘kehalusan’). Ia juga semacam simtom dari sebuah masyarakat yang menerima kebudayaan se­ba­gai trauma. Sebab konsep kebudayaan pada haki­katnya adalah se­buah kon­figurasi yang tersusun dari serang­kaian pergumulan dan dislo­kasi sosial. Per­gumulan, atau bahkan bentrokan, itu sering tidak tampak dan tanpa kekerasan, namun tampaknya mengendap sampai ke bawah. Apa yang tam­pak ke­mudian adalah suatu struktur nilai-nilai dan juga perilaku, yang ber­gerak dari en­dapan sebuah trauma. Dalam hubungan ini kita dapat mencer­mati bagaimana hegemoni pemerintah selaku penguasa merekayasa bahasa dan kebu­dayaan dalam uniformitas yang seragam sehingga tidak memberi­kan ruang gerak yang leluasa bagi penciptaan dan penggelaran karya sastra. Kita masih dapat mengingat kasus pelarangan pembacaan puisi penyair Rendra, pelarangan terhadap karya sastra karya Pramudya Ananta Toer, larangan pementasan monolog Marsinah Menggugat, karya Ratna Sarumpaet, larangan pementasan Teater Koma, dll. Tam­paknya, karya-karya yang ma­suk dalam “daftar pelarangan” adalah karya-karya yang mengandung “pase­mon” dalam arti luas---termasuk karya yang sarat kritik sosial. Aneka larangan ini, secara eksplisit, justru disikapi sebagai trauma dan kelak men­jadi inspirasi bagi proses kreatif penciptaan karya sastra yang kental mencerminkan “pase­mon”.
Persoalan tentang “pasemon” berhubungan dengan ba­hasa, isi, dan fungsi komunikatif. “Pasemon” ditinjau dari peng­gunaan bahasa merupakan fenomena yang unik dan menarik. Penggunaan bahasa “pasemon” di dalam wacana puisi, berdasar­kan observasi awal penelitian, menunjuk­kan fenomena yang perlu diteliti, sebab di dalam bahasa “pasemon” terdapat cara penggunaan bahasa yang penuh dengan ungkapan kias, lambang, bahkan dalam ben­tuk sasmita. Bahasa “pasemon” ini perlu dideskripsikan dan dijelaskan bentuk struktur dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Bentuk struktur “pasemon” dimungkinkan berupa nominatif, predikatif, atau kalimatif. Sedangkan unsur “pasemon” dapat berupa ungkapan kias, lambang, atau dalam bentuk sasmita.
Selain itu, isi “pasemon” juga perlu dipaparkan dan dijelaskan sehingga pem­baca puisi yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penyairnya dapat “terjembatani”. Isi “pasemon” berhubungan dengan berbagai makna sesuai dengan konteks yang melatarinya. Makna “pasemon” ini dapat dikaji dalam perspektif penyair, pembaca, topik, latar, dan tujuannya.
Fungsi komunikatif “pasemon” di dalam wacana puisi merupa­kan persoalan lain yang juga menarik diteliti. Penelitian terhadap fungsi komunikatif “pasemon” akan menghasilkan deskripsi yang berkaitan dengan berbagai fungsi ko­munikatif  “pasemon” di dalam puisi.

2. Jenis “Pasemon”
Secara kategoris, jenis “pasemon” berdasarkan pemapar-annya dibe­dakan menjadi dua, yakni (1) “pasemon” verbal dan (2) “pase­mon” non-ver­bal. “Pasemon” verbal realisasinya menggunakan bahasa verbal, yakni berupa kata-kata dalam berbagai dimensi. “Pasemon” verbal dalam puisi tampil dengan penggunaan bahasa kias, bahasa lambang, atau kata-kata konotatif. Contoh “pasemon” verbal yang menggunakan bahasa kias dan lambang dalam puisi dapat disimak dalam teks puisi berikut.

Pasir dalam gelas waktu
menghambur
ke dalam plasmaku
Lalu di sana tersusun gurun
dan mungkin oase
tempat terakhir burung-burung

(“Nota untuk umur 49 Tahun”, Goenawan Mohamad)
           
Kata-kata seperti “pasir”, “gelas waktu”, “plasmaku”, “gurun”, “oase”, dan “burung-burung” merupakan bahasa kias dan lambang yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan tentang catatan pribadinya dalam me­masuki usia 49 tahun. Seseorang yang memasuki usia 49 tahun, menurut pengungkapan penyair digambarkan dengan kata-kata kias dan lambang Pa­sir dalam gelas waktu/ menghambur/ke dalam plasmaku. Dalam konteks ini penyair melakukan instrospeksi tentang berbagai peristiwa yang diala­minya [pasir] selama hidup yang dilalui [gelas waktu] dan berbagai peristiwa yang diintrospeksi­kannya itu [menghambur ke dalam plasmaku] “serentak memenuhi kesada­ran (batin­nya) hidupnya”. Ketika itu muncul dua kemung­kinan, yakni kehidupan yang gersang (tersusun gurun) atau kehidupan yang menyegarkan (oase), tempat terakhir yang menjadi tumpuan dalam hidup. Penggambaran sosok seseorang yang memasuki usia 49 tahun yang labil da­lam menghadapi dua kemungkinan dalam kehidupan, dengan intensif dapat dikemukakan oleh penyair dengan “pasemon” yang berupa kata-kata kias dan lambang.
            Contoh “pasemon” yang menggunakan ungkapan verbal dengan meng­gunakan kata-kata denotatif dan konotatif tampak dalam ku­tipan berikut.

Di dalam rumah ini kita dengarkan Bach
Di ujung jalan siapa berlari dalam darah?

“Aku tak tahu, ibu. Aku tak mau bicara
tahun 2000.”
Hutan hendam karam.
Malam mengigau dalam gerimis yang tak kelihatan.

(“Di Serambi”, Goenawan Mohamad)

Ungkapan Aku tak tahu, ibu. Aku tak mau bicara/tahun 2000. merupakan contoh penggunaan kata-kata yang bersifat deno­tatif. Artinya, kata-kata tersebut digunakan dengan acuan sebagai­mana struktur yang ter­bentuk oleh susunan kata-kata tersebut. Larik/baris lainnya merupakan penggunaan kata-kata kias/ lambang dan oleh karenanya termasuk kata-kata yang ko­notatif. Kata-kata konotatif tampil melalui ungkapan Hutan hendam karam/ Malam mengigau dalam gerimis yang tak kelihatan.
Ditinjau dari isi yang terkandung di dalamnya, “pasemon” dapat diklasifikasikan (1) berisi kritik tentang berbagai hal seperti masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan, dan lain-lain; (2) berisi sindiran halus tentang berbagai hal, misalnya sindiran untuk diri sendiri, untuk orang lain, untuk suatu keadaan politik, ekonomi, sosial, budaya, etika, dan sebagainya; (3) berisi ejekan terhadap berbagai fenomena hidup dan kehidupan; dan (4) berisi saran dan pendapat tentang berbagai hal dalam hidup dan kehidupan. Ditinjau dari tujuan penyampaiannya, “pasemon” dapat diklasifikasikan untuk tujuan “nyemoni”, mengkritik, mengejek, menyindir, dan memberi saran tentang suatu keadaan yang dipandang timpang oleh penyair.

3. Fungsi Bahasa dan Fungsi Komunikatif “Pasemon”
Fungsi umum bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Di samping fungsinya yang bersifat umum tersebut, bahasa memiliki fungsi-fungsi yang bersifat khusus. Fungsi-fungsi yang bersifat khusus itu tetap merupakan bagian atau aspek fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Fungsi komunikatif “pasemon” diasumsikan sama dengan fungsi ba­hasa pada umumnya. Adalah suatu kenyataan bahwa manusia memperguna­kan bahasa sebagai sarana komunikasi. Demikian juga penyair dalam menu­lis puisi pada dasarnya untuk memenuhi keinginan berkomunikasi dengan para pembacanya. Pada satu sisi penulis bertindak selaku penutur dan pada pihak lain pembaca bertindak sebagai mitra tutur. Dalam komunikasi yang wajar dan lancar hubungan antara pembicara dan penyimak terasa se­bagai suatu peristiwa biasa dan wajar.
Fungsi bahasa yang bersifat khusus itu bermacam-macam dan klasifikasinya pun beraneka ragam. Sejumlah ahli bahasa telah menaruh perhatian besar terhadap fungsi bahasa. Halliday dalam buku berjudul Explorations in the Functions of Language (1973) mengemukakan tujuh fungsi bahasa sebagai berikut: (1) fungsi instrumental (instrumental function), melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi; (2) fungsi regulasi (the regulatory function), bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-peristiwa sehingga muncul ben­tuk-bentuk persetujuan, celaan, keti­daksetujuan, dll.; (3) fungsi pemerian (the representational function), yakni peng­gunaan bahasa untuk membuat pertanyaan-pertanyaan, menyampaikan fakta-fakta, dan pengetahuan, menjelaskan atau melaporkan dengan cara menggambarkan; (4) fungsi interaksi (the interactional function) bertugas untuk menjamin serta meman-tapkan ketahanan dan kelangsungan komunikasi, interaksi sosial; (5) fungsi perorangan (the personal function) memberi kesempatan kepada seseorang pembicara untuk mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya yang mendalam. Kepriba­dian seseorang biasanya ditandai oleh penggunaan fungsi per­sonal bahasanya dalam berko­munikasi dengan orang lain. Dalam konteks ini, kesadaran, perasaan, dan budaya turut bersama-sama dalam in­teraksi; (6) fungsi heuristik (the heuristic function) melibatkan penggunaan ba­hasa untuk memperoleh pengetahuan, mempelajari seluk-beluk lingkungan dengan mengajukan per­tanyaan; dan (7) fungsi imajinatif (the imaginative function) melayani pen­ciptaan sis­tem-sistem atau gagasan-gagasan yang bersifat imajinatif.
Dengan istilah lain, Levinson meminjam pendapat Jakobson (1960) untuk mengungkapkan fungsi ujaran (baca: fungsi komuni­katif bahasa) se­bagai berikut: (1) fungsi referensial, memusatkan perhatian kepada isi acuan sesuatu pesan; (2) fungsi emotif (ekspresif), memusatkan perhatian kepada keadaan sang pem­bicara; (3) fungsi konatif (direktif), memusatkan perhatian kepada keinginan-keinginan sang pembicara untuk dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyi­mak; (4) fungsi metalinguistik, memusatkan perhatian kepada sandi atau kode yang dipergunakan; (5) fungsi fatik, memusatkan perhatian kepada saluran; dan (6) fungsi puitik (estetik), memusatkan perhatian kepada bagaimana ca­ranya suatu pesan disandikan atau ditulis dalam sandi. Fungsi emotif dalam terminologi Jacobson identik dengan fungsi ekspresif, fungsi konatif identik dengan fungsi direktif, dan fungsi puitik identik dengan fungsi estetik.
Ahli bahasa yang lain, Finochiaro (1977) membedakan fungsi bahasa menjadi lima kelompok. Kelompok itu adalah sebagai berikut (1) fungsi personal, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menyatakan diri, baik berupa pikiran maupun berupa perasaan; (2) fungsi interpersonal, yakni merupakan fungsi yang menyangkut hubungan antarpenutur atau antarpersona untuk menjalin hubungan sosial; (3) fungsi direktif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk mengatur orang lain, menyuruh orang lain, memberikan saran untuk melakukan tindakan, atau meminta sesuatu; (4) fungsi referensial, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menampilkan suatu referen dengan menggunakan lambang bahasa; dan (5) fungsi imajinatif, yakni merupakan fungsi bahasa untuk menciptakan sesuatu dengan berimajinasi.
Apabila dikaji lebih lanjut, meskipun terdapat beragam pendapat dan klafisikasi fungsi bahasa dari para pakar, dapat dinyatakan bahwa bahasa berfungsi mengkomunikasikan tiga hal, yakni pikiran, perasaan, dan sikap. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa bahasa dalam kehidupan manusia memiliki fungsi simbolik, emotif, dan afektif. Dengan bahasa manusia hidup dalam dunia pengalaman nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Manusia mengatur pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi pada dunia simbolik. Selain itu, manusia memberi arti bagi yang indah dalam hidup ini dengan bahasa. Dari sanalah tercipta karya yang mengungkapkan nilai-nilai estetik, antara lain berupa puisi. Akhirnya, secara ringkas dapat dinyatakan bahwa dengan bahasa manusia dapat mengungkapkan pikirannya, mengekspresikan perasaannya dan menyatakan sikapnya.
“Pasemon” di dalam teks puisi dimungkinkan mengandung berbagai fungsi komunikatif. “Pasemon” mengandung fungsi referensial, karena di dalam “pasemon” terdapat isi acuan suatu pesan. “Pase­mon” juga mengandung fungsi ekspresif atau emotif karena di dalamnya ter­gambar bagaimana sikap dan perasaan penyair. “Pasemon” juga mengandung fungsi direktif, karena di dalamnya terkandung keinginan-keinginan penyair yang disampaikan kepada pembaca. “Pasemon” mengandung fungsi metalinguistik sebab di dalamnya terdapat penggunaan berbagai isyarat, kode atau sandi. “Pasemon” juga mengandung fungsi fatik, sebab di dalam “pasemon” terdapat cara-cara berkomunikasi yang khas. Dan “pasemon” juga mengemban fungsi estetik, sebab di dalam “pasemon” terdapat cara-cara penyampaian pesan di dalam sandi, kode, atau lambang tertentu.

4. “Pasemon” dan Aspek Pragmatik
“Pasemon” berkaitan dengan aspek-aspek pragmatik, terutama berkenaan dengan implikatur, tindak tutur, praanggapan, dan kesantunan. Oleh karena itu, dalam paparan beri­kut dikemuka­kan “pasemon” dalam kaitannya dengan implikatur, tin­dak tutur, praang­gapan, dan kesantunan. Fenomena “pasemon” memiliki hubungan dengan aspek-aspek pragmatik seperti implikatur, tindak tutur, praanggapan, dan kesantunan.
“Pasemon” memiliki kemiripan dengan implikatur. Keduanya, sama-sama merujuk pada penggunaan makna secara ti­dak langsung. Bia­sanya ketika kita mengatakan sesuatu, terutama dalam percakapan, apa yang kita katakan mempunyai makna lebih daripada makna literal kalimat itu. Soemarmo (dalam Dardjowidjojo, 1988) memberikan contoh berikut:

A: Kamu masih di sini.
B: Bis ke Muntilan baru saja lewat.

Kalimat yang sederhana tersebut jika kita kaji dari sudut makna kalimat (A) agak aneh. Mengapa A menyatakan sesuatu yang ke­benarannya sangat jelas? Dan kalimat B menyebutkan tentang bis yang tidak disebutkan oleh A. tentu ada kaidah yang memungkinkan kita menentukan makna apa yang ada di balik apa yang diucapkan. Percakapan-percakapan seperti itu dikuasai oleh kaidah pragmatik umum.
Dalam komunikasi ada “common ground” antara penutur dan mitra tutur yang disebut prinsip kerja sama yang disertai beberapa maksim. Teori implikatur Grice (sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1983:101; Leech, 1993:120-156; Cahyono, 1995:221; Wijana, 1996:46-54; Brown dan Yule, 1996: 31-32) berpendapat bahwa pelaksanaan percakapan itu dipandu oleh seperangkat asumsi. Asumsi itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan dapat diru­muskan sebagai panduan untuk menggunakan bahasa secara efektif dan efisien dalam percakapan. Panduan itu disebut Grice sebagai maksim percakapan (maxims of conversation). Grice (dalam Kempson, 1995) telah menyarankan sejumlah maksim umum yang menerangkan konvensi yang harus diindahkan oleh penutur dan pendengar. Maksim tersebut adalah (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara.
Levinson (Wiryotinoyo, 1996; Cahyono, 1996) mengemu-kakan empat sumbangan implikatur dalam kajian pragmatik, yakni (1) memberikan pen­jelasan fungsional yang bermakna atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau teori linguistik (struktural); (2) memberikan penjelasan eksplisit adanya perbedaan antara apa yang diucapkan secara lahiriah dan apa yang dimaksud oleh suatu ujaran dan pemakai bahasa pun memahami; (3) dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik hubungan antarklausa yang ber­beda konjungsinya; dan (4) dengan konsep implikatur percakapan dapat diterangkan berbagai macam gejala kebahasaan yang secara lahiriah tampak tidak berkaitan atau bahkan berlawanan, tetapi ternyata berhubungan. Sumbangan keempat yang berisi konsep im­plikatur memiliki kesamaan konseptual dengan pasemon.
Di dalam “pasemon”, ada berbagai macam gejala pemakaian ba­hasa, yang secara lahiriah tampak tidak berkaitan atau bahkan ber­lawanan, tetapi ternyata memiliki hubungan. Misalnya, A bicara dengan B tentang C yang sombong.

A: Ah, B, mentang-mentang sudah kaya tidak ingat padaku (melirik C yang datang dengan angkuhnya).
B: Iya, aku baru punya 5 mobil mewah sih (sambil melirik C).

Tuturan tersebut mengandung “pasemon” dan implikatur. A yang ber­tutur kepada B, seolah-olah menuduh B sombong (karena sudah kaya) menyebabkan tidak ingat lagi kepada kawan lama (A). Isi tu­turan A secara lahiriah kebahasaan berkenaan dengan keadaan B, tetapi sesungguhnya di­maksudkan untuk kesombongan C. Demikian pula tuturan B Iya, aku baru punya 5 mobil mewah sih dalam konteks komunikasi tidaklah berarti seba­gaimana tertulis, melainkan mengacu atau merujuk pada sesuatu (pesan) yang lain. Dengan demikian, baik “pasemon” maupun implikatur keduanya termasuk tuturan tidak langsung. Gejala serupa tampaknya juga berlaku di dalam komunikasi puisi. Di dalam komunikasi puisi, penyair mengungkap­kan berbagai fenomena kebahasaan secara tidak lang­sung, sehingga pem­baca puisi perlu melakukan penafsiran berbagai implikasi yang mungkin muncul. Ketidaklangsungan “pasemon” di dalam wacana puisi itu diakibatkan oleh adanya upaya penyair untuk melakukan penggantian arti (displacing og meaning), penyim-pangan arti (distorsing of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Dalam hubungannya dengan implikatur, Grice membedakan tiga im­plikatur, yakni implikatur konvensional, implikatur non-konven­sional, dan praang­gapan. Dalam tataran implikatur dikenal keselu­ruhan ujaran; keseluruhan ujaran itu mengandung (1) apa yang di­maksud, (2) apa yang dikatakan, dan (3) apa yang diimplikasikan. Di dalam apa yang diimplikasikan dapat dibeda­kan (a) apa implikasi konvensionalnya, (b) apa implikasi non-konvensional­nya, dan (c) apa yang dipraanggap-kan. Implikatur konvensional mengandung im­plikasi yang diperoleh langsung dari makna kata, bukan dari prinsip percakapan. Praanggapan merupakan pengetahuan bersama antara penutur dan mitra tutur. Pengetahuan itu merupakan prasyarat yang me­mungkinkan suatu pernyataan benar atau tidak benar, bergan­tung konteks tertentu.
Grice (1991:310) mengemukakan karakteristik nosi implika-tur perca­kapan berikut: Seseorang dengan mengatakan p (=T) dianggap telah mengimplikasikan q (=ip) jika: (a) ia dianggap sedang mengikuti maksim per­cakapan atau setidak-tidaknya mengikuti prinsip kerja samanya; (b) diperki­rakan bahwa ia memerlukan q bagi kemunculan p agar konsisten dengan anggapan itu; dan  (c) ia berpikir bahwa perkiraan itu masih berada di dalam jangkauan pikiran t untuk menangkapnya.
Di dalam “pasemon” terdapat ciri khas berupa penyampaian sindiran halus berupa kritik. Sindiran halus berupa kritik yang merupakan esensi “pasemon” itu hanya merupakan sebagian saja dari kajian implikatur. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa “pasemon” merupakan salah satu kajian bidang pragmatik, khususnya mengenai implikatur.
Bidang pragmatik yang banyak mendapatkan perhatian ialah penelitian bidang tindak tutur. Pengaruh hasil penelitian ini, menu­rut Soemarmo (1988), menjalar ke psikologi (Bruner, 1975; Bates, 1976; van Dijk, 1971; Clark dan Clark, 1977); antropologi (Tambiah, 1968), sastra (Ohmann, 1971; Levin, 1976); dan beberapa bidang il­miah lainnya.
Sebelum teori tindak tutur dimunculkan oleh Austin pada tahun 1955 hingga 1962 melalui kuliah-kuliahnya dan bukunya How to Do Things with Words (1983), pembahasan studi semantik disibukkan dengan masalah ke­benaran dan kekeliruan dalam bahasa (lihat, Kempson, 1995 dan Cahyono, 1995). Pada waktu itu berkembang doktrin yang disebut positivisme logis (logical positivism) yang menyatakan bahwa ‘apabila sebuah kalimat tidak bisa dibuktikan, kalimat itu tidak bermakna’. Namun doktrin tersebut diserang oleh Wittgenstein yang melontarkan slogan ‘makna adalah pemakaian ba­hasa’ (meaning is use). Menuturkan sesuatu, menurut Austin (1962) adalah melakukan sesuatu. Hal ini disebabkan karena kebanyakan ucapan mem­punyai daya ilokusi.
Austin (dalam Levinson, 1983:236) menggolongkan tindak tutur men­jadi tiga bagian dan ketiganya dilaksanakan secara serentak, yakni: (1) lokusi dari suatu ucapan adalah makna dasar dan referensi dari ucapan itu; (2) ilo­kusi dari suatu ucapan adalah daya yang ditimbulkan oleh pemakaiannya se­bagai suatu perintah, ejekan, keluhan, pujian, dsb.; dan (3) perlokusi dari suatu ucapan adalah hasil dari apa yang diucapkan terhadap pendengarnya. Sama dengan implikatur, pasemon berada pada tataran ilokusi dan perlokusi, sebagaimana dikemukakan oleh Austin tersebut.
Dalam menentukan makna dari tindak tutur dan “pasemon” dapat dilakukan dengan kaidah berikut. Pertama menentukan makna dasar dari sebuah tuturan atau wacana. Kedua penentuan implikasi berbagai makna yang terdiri dari penentuan penggunaan prinsip kerja samanya, nilai evaluatifnya, dan ke­mungkinan-kemungkinan kesimpulannya. Penetapan makna yang terim­plikasi tersebut dapat dikenakan untuk pasemon di dalam puisi. Di dalam “pasemon” terkandung makna dasar dan makna lain-lain sesuai dengan cara pemaparan bahasa puitik yang dipergunakan oleh penyairnya.
Seorang penutur (pembicara, penyair, penulis) selalu merancang pesan-pesan linguistiknya berdasarkan asumsi-asumsi tentang se­suatu yang diketa­hui oleh mitra tutur (pendengar, pembaca). Tentu saja asumsi-asumsi itu dapat salah, tetapi asumsi-asumsi itu men­dasari banyak hal dari yang kita katakan dalam penggunaan bahasa. Apa yang diasumsikan penutur sebagai hal yang benar atau suatu hal yang diketahui pendengar dapat disebut praang­gapan (presuppo­sition). Dengan kata lain, praanggapan adalah apa yang diguna­kan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan.
Pengetahuan tentang leksikon, menurut Soemarmo (dalam Dardjowidjojo, 1988), dapat dipakai untuk menentukan praang­gapan. Da­lam bahasa Indonesia, beberapa contoh praanggapan (di­tandai dengan”/à”) dikemukakan oleh Soemarmo berikut ini.

(1)          Anak di belakang rumah itu anak manja. /à Ada anak di belakang rumah. Praanggapan memberikan gambaran yang tertentukan.
(2)          Marta (tidak) menyesal membuang benda itu. /à Marta mem­buang benda itu. Kata verbal menunjukkan kenyataan (Factiv).
(3)          Saya (tidak) lupa membeli buku. /à Saya harus membeli buku itu. Kata verbal menunjukkan implikatur.
(4)          Dia sudah/belum selesai membaca surat itu. /à Dia mem­baca su­rat itu. Kata verbal mengganti keadaan.
(5)          Dia kembali berkuasa. /à Dia pernah berkuasa. Pranggapan berisi pengulang.
(6)          Abu (tidak) mencuci piring, ketika Ali tidur. à Ali tidur. Prang­gapan berisi kata waktu.
(7)          (Bukan) Ali yang mencuri uang itu. /à Ali mencuri uang itu. Praanggapan mengandung topik atau fokus.
(8)          Anak saya (tidak) bisa melompat sejauh Ali. /à Ali bisa me­lom­pat. Praanggapan mengandung kata bandingan.
(9)          Pariyem, yang saya kenalkan kepadamu kemarin, (tidak) akan pu­lang pagi ini. /à Saya memperkenalkan Pariyem kepadamu kemarin. Praanggapan berisi apposisi renggang.
(10)      Kalau/Andaikata anak itu bangun sebelum jam lima dia (tidak) akan terlambat. / à Anak itu TIDAK bangun sebe­lum jam lima. Praanggapan berupa kondisional yang ber­lawanan.
(11)      Mengapa dia membencimu? /à Dia membencimu. Prang­gapan berupa pertanyaan.

Praanggapan ini memiliki kaitan dengan “pasemon” di dalam teks puisi. Setiap pembaca atau penelaah teks puisi selalu dihadapkan pada sejumlah asumsi dasar yang perlu ditafsirkan. Penafsiran asumsi da­sar tersebut berkaitan dengan makna dasar dan implikasi atau makna lain-lain sesuai dengan kon­teks puisi yang bersangkutan.
 “Pasemon” yang merupakan tuturan tidak langsung yang berisi sindiran halus erat berhubungan dengan kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan menduduki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, termasuk penyair berlatar belakang budaya Jawa, bertutur secara santun berkaitan erat dengan keinginan masyarakat Jawa untuk mempertahankan eksistensinya sebagai anggota masyarakat yang selalu dianggap berbudi luhur, memiliki kebudayaan yang tinggi, serta menjunjung tinggi etika dan moral (bandingkan Brown dan Levinson, 1978; Leech, 1983; Kuntarto, 1999).
Fenomena “pasemon” dekat dengan kesantunan karena didasarkan atas anggapan bahwa kedewasaan seseorang, antara lain diukur dengan kemampuannya ber-madu basa (berbahasa dengan santun), selain ber-madu rasa (bermain perasaan), dan ber-madu brata (tekun dalam beribadah). Orang Jawa dikatakan telah dewasa jika telah mampu menggunakan bahasa yang santun, yakni bahasa yang baik pilihan katanya dan sesuai antara ragam dan penggunaannya. Bahasa yang santun bagi masyarakat Jawa ialah bahasa yang memiliki keselarasan antara patrap ‘tindakan’ dan pangucap ‘ucapan’. Patrap berhubungan dengan sikap ketika seseorang berbicara. Pangucap berhu-bungan dengan cara berbicara. Bagi masyarakat Jawa kesan-tunan dan “pasemon” merupakan salah satu wewaler atau pedoman hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, melanggar kesantunan dan “pasemon” sama halnya dengan melanggar pedoman hidup bermasyarakat, yang dalam bahasa Jawa disebut nerak wewatoning urip.
“Pasemon” dan kesantunan itu dalam masyarakat Jawa dimotivasi oleh adanya dua norma yang mendasari pemilihan hak dan tanggung jawab. Kedua norma itu ialah prinsip rukun dan prinsip hormat. Prinsip rukun menuntut agar dalam bersikap orang Jawa tidak menimbulkan konflik. Prinsip hormat menuntut agar cara berbicara orang Jawa selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain. Kedua prinsip tersebut diwujudkan secara kongkret dalam kehidupan masyarakat Jawa—termasuk penyair berlatar belakang budaya Jawa dalam menciptakan puisi-puisinya.
Fenomena “pasemon” dan kesantunan dalam masyarakat Jawa memiliki dimensi yang luas. “Pasemon” dan kesantunan tidak hanya menyangkut penggunanan bahasa untuk menunjukkan kehormatan dan harga diri seseorang kepada orang lain, namun lebih luas dari itu, yaitu menyangkut pula aspek-aspek budaya dan filosofi yang diyakini kebenarannya dan dianut oleh masyarakat Jawa. “Pasemon” dan kesantunan dalam masyarakat Jawa tidak semata-mata berfungsi sebagai pelumas interaksi, melainkan juga menunjukkan jati diri masyarakat Jawa. “Pasemon” dan kesantunan tidak semata-mata menyangkut kosa kata yang tepat untuk konteks tertentu, melainkan menyangkut pula pemahaman terhadap latar belakang dunia orang Jawa, yaitu sistem nilai dan pemikiran masyarakat Jawa yang meliputi aspek-aspek kosmologi, mitologi, dan konsepsi-konsepsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar