Subbab ini merupakan pemaparan dan penjelasan makna “pasemon” berdasarkan tiga aspek, yaitu (1) makna “pasemon” menurut topik puisi, (2) makna “pasemon” menurut latar puisi, dan (3) makna “pasemon” menurut tujuan puisi. Pengungkapan makna “pasemon” menurut topik, latar, dan tujuan puisi dapat dilakukan dengan empat cara penandaan, yakni (1) penandaan makna verbal, (2) daftar perluasan makna, (3) skema keputusan makna, dan (4) konstruk inferensi makna. Empat cara penandaan itu dilakukan secara komprehensif dan integratif. Artinya, pemaknaan “pasemon” dilakukan secara menyeluruh (komprehensif) terhadap topik, latar, dan tujuan puisi dan semuanya itu merupakan satu kesatuan pemaknaan (integratif) sesuai dengan teks puisi yang bersangkutan.
Makna “pasemon” adalah berbagai buah pemikiran penyair atau pesan yang terdapat dalam teks puisi. Buah pemikiran penyair atau pesan yang terdapat di dalam teks puisi itu realisasinya dapat berupa tanggapan penyair terhadap berbagai persoalan. Berbagai persoalan itu hadir sebagai akibat adanya (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Makna “pasemon” yang realisasinya berupa berbagai tanggapan penyair tersebut diterangjelaskan pada paparan berikut ini.
1. Makna “Pasemon” Menurut Topik Puisi
Makna “pasemon” menurut topik puisi dapat diklasifi-kasikan dalam lima kategori berikut (1) tanggapan penyair terhadap masalah edukasi dalam pengertian luas, (2) tanggapan penyair terhadap masalah filosofi hidup dan kehidupan, (3) tanggapan penyair terhadap masalah moral masyarakat, (4) tanggapan penyair terhadap masalah keindahan, dan (5) tanggapan penyair terhadap masalah agama dan keyakinan. Penyair Indonesia yang berlatar belakang budaya Jawa, sebagai bagian dari komunitas cendekiawan dan budayawan Indone-sia, perduli terhadap masalah edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius. Persoalan-persoalan itu pada gilirannya merupakan manifestasi dari kristalisasi nilai-nilai yang seharusnya dijadikan penuntun, pemandu, pedoman, pengendali, rujukan, tolok ukur ucapan, tindakan, dan perilaku penyair sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Lebih lanjut, nilai-nilai itu bagi penyair berfungsi mendasari, merangsang, mendinamiskan, mendorong, mengge-rakkan, dan mengarahkan tindakan penyair dalam berkarya sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Hasil dari itu semua adalah dibuahkannya puisi yang mengandung “pasemon” tentang nilai-nilai edukatif, filosofis, etis, estetis, dan religius.
Berdasarkan hasil pembacaan dan pemaknaan terhadap seluruh teks puisi, “pasemon” yang bermuatan topik tentang masalah edukatif dikemukakan oleh penyair Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG, dan Rendra. Dalam teks puisi “Jangan Lagi Engkau Berdiri” penyair Goenawan Mohamad mengajak khalayak pembaca puisi untuk dapat memahami hakikat puisi, menghargai puisi, dan menilai puisi secara tepat: Jangan lagi engkau berdiri/ di jendela-jendela yang sunyi dan kelam kali/ Jangan lagi engkau tak mengerti/ sajak apakah yang tinggal sendiri. Penyair Goenawan Mohamad selanjutnya menyampaikan ajakan berupa ajaran: Sajak yang ada mendengar bumi, bumi yang letih/ Sajak yang ada mendengar hidup, hidup yang/ menagih/ Sajak yang ada melihat abad, abad yang bersih/ Bagaikan bulan yang timbul: memutih bersih. Menurut pemikiran Goenawan Mohamad, sebuah puisi berbicara tentang kehidupan di bumi (mendengar bumi, bumi yang letih) dan tentang perkembangan zaman (melihat abad, abad yang bersih). Penyair Goenawan Mohamad menyarankan agar para pembaca puisi dapat memahami puisi, menghargainya dan menilainya dengan hati yang tulus bagaikan bulan yang timbul: memutih bersih. Teks puisi “Jangan Lagi Engkau Berdiri” karya Goenawan Mohamad, menurut pendapat Damono (1999:147) “Sajak ini berbicara mengenai sajak, tetapi mengandalkan kualitasnya pada bunyi, terutama rima, asonansi, dan paralelisme”. Hal yang terutama ditimbulkan oleh teks puisi “Jangan Lagi Engkau Berdiri” bukanlah konsep yang jelas mengenai puisi, tetapi suasana yang dibangun oleh anasir bunyi, yang membantu penghayatan pembaca. Jika pun puisi itu tidak pernah bisa sepenuhnya dapat dipahami maknanya atau amanatnya, maka penghayatan terhadap suasananya pun sudah sangat cukup.
Penyair Goenawan Mohamad dalam teks puisi “Pariksit” menyajikan topik tentang ‘karma’. Dalam masyarakat Jawa, terutama yang menganut agama Hindu dan Budha, percaya terhadap hukum karma. Dalam ungkapan Jawa “Sopo gawe bakal nganggo” (siapa berbuat akan merasakan hasil perbuatannya). Dihubungkan dengan teks puisi “Pariksit” topik hukum karma ini sengaja diungkapkan oleh penyair agar para pembaca dapat memahami sebuah ajaran bahwa ‘siapa yang berbuat baik akan memanen perbuatan baik dan siapa yang berbuat jahat, maka ia akan menerima buah kejahatannya’. Diungkapkan oleh penyair Goenawan Mohamad bahwa tokoh Pariksit pernah membunuh Crenggi (sebelum menemui ajalnya Crenggi mengutuk bahwa Pariksit kelak akan menuai hasil perbuatannya, yakni dibinasakan oleh Naga Tatsaka) dan pada akhirnya tokoh Pariksit harus menerima kutukan Naga Tatsaka. Secara keseluruhan, teks puisi “Pariksit” ini mengungkapkan saat-saat terakhir tokoh Pariksit menghadapi kutukan. Penyair Goenawan Mohamad mengawali puisinya dengan ungkapan: Dari rahim waktu, aku tahu kutukan bangkit/ ke arah dadaku.
Meskipun raja Pariksit oleh rakyatnya disembunyikan di puncak menara dan dijaga oleh segenap rakyat, namun kutukan yang dilambangkan dengan “angin” itu tetap dirasakan menyiksa Pariksit: Angin masih juga menimpa dinding menara, penjara dari segala penjara: ia yang lahir dari busur langit dan jatuh berpusar ke arah tubuhku yang sendiri. Dan dalam situasi seperti itu tokoh Pariksit merasa bahwa ajalnya telah sampai hingga ia merasa malu karena takut: Kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil dan pesta: pesta pembebasan, tapi juga serapah malu akan kecut hatiku. Secara fisik dan psikis, Pariksit belum siap menghadapi ajal. Ia justru merindukan kemenangan dalam arti menghilangkan rasa takutnya: Bukan siksa menunggu yang menyuruhku. Tapi kurindukan kemenangan-kemenangan, kemenangan yang mengalahkan kecut hatiku. Karena kutakutkan selamat tinggal yang kekal. Oleh karena datangnya kutukan seperti angin, maka tidak ada seorang pun dapat meng-hindarkan diri dari hembusannya. Tokoh Pariksit pada akhirnya sampai kepada sebuah kesadaran bahwa: Pada akhirnya kita tak senantiasa bersama. Ajal memisah kita masing-masing tinggal.
Apa yang dilakukan oleh Pariksit dan tanggapan penyair Goenawan Mohamad atas persoalan yang dihadapinya berhubungan dengan konsep bener dan pener. Dalam perspektif budaya Jawa, menurut Saryono (1997:346), bener lazimnya dipahami sebagai benar secara esensial-substantif-ontologis sekaligus bebas konteks, sedangkan pener lazim dipahami sebagai tepat secara eksistensial-formatif-kontekstual-aksiologis sekaligus peka konteks. Dalam perspektif edukatif-filosofis, manusia Jawa selalu menjunjung tinggi nilai kebenaran dan ketepatan untuk keselamatan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat (urip ing alam donya lan alam akhirat). Persoalan bener dan pener dalam konteks edukasi yang diungkapkan oleh penyair Goenawan Mohamad dalam teks puisi “Pariksit” disampaikan melalui “pasemon” bahwa pada hakikatnya setiap orang takut menemui ajal. Oleh karena setiap orang memiliki rasa takut menemui ajal, maka setiap orang perlu menyiapkan bekal. Bekal itu bukanlah berupa menara, benteng, perlindungan orang lain, melainkan diri seseorang itu sendiri. Artinya, seseorang harus menyiapkan diri secara fisik dan psikis dengan berdoa, beramal, dan berbuat baik lainnya sehingga ketika ajal datang menjemput seseorang itu telah siap.
Penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Tentang Mahasiswa yang Mati” mengangkat topik yang yang berhubungan dengan masalah edukatif, yakni ‘mencintai sesama yang menderita’. Diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono tentang seorang mahasiswa yang mati ketika ikut unjuk rasa: Aku mencintainya sebab ia mati ketika ikut rame-rame hari itu. Meskipun aku lirik tidak mengenal mahasiswa yang mati itu toh cukup alasan untuk mencintainya: Aku tak mengenalnya, hanya dari koran, tak begitu jelas memang, kenapanya atau bagaimananya (bukankah semuanya demikian juga?) tetapi rasanya cukup alasan untuk mencintainya. Dalam hubungan ini Sarumpaet (2000:21) menyatakan bahwa Sapardi Djoko Damono pandai mengambil topik yang luput dari perhatian kita, dan mengatakannya sehingga tampak baru dan signifikan. Observasinya juga tajam seperti tampak pada “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996”.
Selain topik ‘mencintai sesama yang menderita’, dengan cara “pasemon” penyair Sapardi Djoko Damono menyampaikan sindiran tentang kondisi di Indonesia yang serba tidak pernah jelas dan tuntas mengenai kasus-kasus kematian, termasuk pelanggaran hak asasi lainnya. Penghilangan nyawa orang lain adalah perbuatan melanggar hak hidup seseorang. Ketika seseorang telah direnggut nyawanya gara-gara ikut berunjuk rasa menyampaikan aspirasi, maka ketika itu pula telah terjadi penghilangan hak bagi seseorang itu. Itulah sebabnya cukup alasan untuk mencintai sesama yang menderita akibat dihilangkan hak hidupnya oleh pihak lain yang berkuasa. Persoalan edukatif yang dikemukakan dengan cara “pasemon” ini tentu saja bermanfaat bagi para pembaca puisi. Penyair Sapardi Djoko Damono melalui teks puisi “Tentang Mahasiswa yang Mati, 1996” menyampaikan ajaran untuk menghor-mati hak asasi manusia, mencintai sesama yang menderita, dan menuntaskan berbagai masalah kekerasan yang selama ini dirasakan anggota masyarakat. Persoalan yang merupakan nilai edukatif ini tentu saja berlaku universal, di mana pun, dan kapanpun harus dijunjung tinggi.
Penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Iklan” mengangkat topik ‘kematian yang sia-sia’. Diungkapkan secara tragis dan ironis oleh penyair tentang seseorang yang tergila-gila pada iklan hingga menemui ajalnya. Persoalan yang berhubungan dengan nilai edukatif tampil dan diungkapkan oleh penyair melalui ironi. Adalah ironis ketika ada seseorang sangat mengumbar kesenangan dan melalaikan tugas utama sebagai manusia. Iklan oleh penyair dipilih sebagai lambang kesenangan, hiburan, kegembiraan dan budaya konsumtif. Seseorang yang mengumbar kesenangan melampaui batas karena terimbas budaya konsumtif menemui ajalnya akibat kesenangannya itu. Ungkapan ironis itu hadir melalui “pasemon” berikut ini: Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon yang terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah “Hidup Iklan”. Ucapan terakhir sebelum lelaki itu meninggal adalah “Hidup Iklan” sebelum mengucapkan “Allahuakbar”. Hal ini merupakan ironi yang terjadi di tengah masyarakat dewasa ini. Masyarakat dewasa ini lebih banyak menghabiskan waktunya di depan pesawat televisi dan melalaikan tugas utama sebagai khalifah Tuhan di bumi.
Topik tentang ‘kehilangan sesuatu’ dikemukakan oleh penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Kelereng”. Di dalam teks puisi “Kelereng” penyair mengungkapkan gambaran tentang seorang anak lelaki yang suka bermain kelereng. Anak lelaki itu kalah bermain kelereng. Kelerengnya tinggal lima butir. Di jalan pulang, kelerengnya itu dimasukkan ke dalam saku celananya. Anak lelaki itu merasa khawatir dan menjaga agar kelerengnya tidak hilang. Kelereng anak lelaki yang berjumlah lima butir itu tidak ada yang bulat sempurna sebab seharian kelereng itu telah berbenturan dengan kelereng lainnya. Anak lelaki itu kehilangan kelereng blimbing yang berwarna biru. Anak lelaki itu harus mencari kelerengnya yang hilang, tetapi ia tidak tahu kemana harus mencarinya.
Dua hal yang penting dicatat dalam teks puisi “Kelereng” adalah masalah ‘kehilangan’ dan ‘kekerasan’ berbenturan dengan sesamanya. Persoalan edukatif yang disampaikan melalui “pasemon” dalam teks puisi “Kelereng” adalah ketika seseorang hendak pulang (meninggal), ia harus selalu memeriksa bekal yang akan dibawa: Kupungut kelereng itu satu demi satu, kumasukkan ke saku. Di jalan pulang, selalu kuraba-raba sebab kawatir kalau-kalau ada yang jatuh dari lubang celanaku. Seseorang harus selalu instrospeksi memeriksa apa yang dimilikinya agar tidak sampai hilang: Kutaruh semua yang sisa di atas meja, tak ada lagi yang bulat sempurna sebab seharian berbenturan dengan sesamanya, tetapi dimana gerangan kelerengku yang blimbing, yang warnanya biru?.
Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisi “Sonet: Kau Bertanya Apa” mengangkat topik tentang ‘harapan’: Kau bertanya apa masih ada harapan. Menurut penyair, harapan masih ada di luar kata, sebab di dalam kata terdengar tak putus-putusnya suara orang berkotbah, berceramah, dan berselisih. Di samping itu, di tengah realitas kehidupan masyarakat kita mengemis, mencuri, berebut jatah, menjarah, atau menjadi gila; rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus, pohon-pohon tumbang. Dua hal yang penting dicatat dalam konteks puisi ini ialah tidak sesuainya antara ‘perkataan’ dan ‘perbuatan’. Di dalam perkataan sering kita dengar suara orang berkotbah, berceramah, dan berselisih; namun di samping itu banyak terjadi perbuatan yang tidak mengenal norma: mengemis, mencuri, berebut jatah, menjarah, menjadi gila karena rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus, dan pohon-pohon tumbang. Nilai edukatif yang dikemukakan oleh penyair dalam teks puisi ini adalah ‘kita hendaknya selalu berharap agar terjadi kehidupan yang baik; kita hendaknya dapat menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan; kita hendaknya tidak sekadar berceramah atau berkotbah, melainkan dapat melakukan perbuatan yang baik.
Penyair Linus Suryadi AG dalam teks puisi “Dinding Kota Yogya” menyajikan topik tentang ‘kehilangan’ (kematian). Topik tentang kehilangan atau kematian ini disampaikan oleh penyair untuk menyampaikan nilai edukatif tentang “manjing, ajur, ajer” (menyatu dalam satu komunitas di mana kita bertempat tinggal). Penyair sebagai warga kota Yogyakarta merasa bahwa dirinya telah dapat menyatu dengan komunitas kota yang dihuninya: Bukan sanak bukan sahaya bila mati aku, ikut berduka. Warga kota Yogyakarta akan merasa berduka bila mati aku. Warga kota Yogyakarta akan melupakan seseorang yang telah meninggal: bila mati aku, berlalu jua. Warga kota Yogyakarta akan merasa kehilangan: bila mati aku, hilang jua.
Nilai filosofis berhubungan dengan hakikat hidup dan kehidupan, hakikat kematian, dan berbagai pandangan tentang alam semesta. Persoalan hidup dan kehidupan yang dipandang benar dan tepaat oleh manusia Jawa, menurut Saryono (1997:354) adalah hidup dan kehidupan yang mapan, selaras, dan bersama dalam rangka mencapai keselamatan dan kesempurnaan sebagai manusia. Dalam bahasa hal tersebut sering disebut dengan istilah urip mukti, urip mapan, urip laras, urip sing guyup, sayuk saeko proyo, dan urip sing tentrem. Penyair Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Linus Suryadi AG mengangkat persoalan hakikat hidup dan kehidupan, hakikat kematian, dan berbagai pandangan tentang alam semesta sebagai proyeksi dan cita-cita hidup dan kehidupan. Para penyair menyampaikan nilai filosofis agar dapat memandu, menuntun, mengarahkan, dan meluruskan tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia dalam hidup dan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan.
Penyair Goenawan Mohamad menyampaikan topik tentang ‘hidup dan kehidupan di masa tua’ dalam teks puisi “Gerbong-gerbong Senja”. Penyair Goenawan Mohamad memproyeksikan pandangan dan cita-citanya agar di masa tua dapat menikmati kebahagiaan, kedamaian, dan dinaungi oleh cinta. Atau menurut penuturan penyair : Sebab kasih adalah rumah kami: sorga yang salih yang tak ada berantau tersisih yang tak ada berbumi yang sedih. Proyeksi dan cita-cita hidup yang diliputi kebahagiaan, kedamaian dan cinta itu merupakan pandangan filosofis penyair dan merupakan dambaan setiap orang.
Dalam teks puisi “Bintang Kemukus”, “Riwayat”, dan “Pariksit”, penyair Goenawan Mohamad secara filosofis mengemukakan pandangan tentang ‘ketakutan manusia menghadapi ajal”. Dalam “Bintang Kemukus” penyir mengungkapkan pandangan filosofis: Hidup hanya sehimpun headline; dalam “Riwayat” penyair mengungkapkan pandangan filosofis: Dan seperti mimpi laut kian perlahan, kian perlahan; dalam “Pariksit” penyair Goenawan Mohamad mengungkapkan pandangan filosofis: kutakutkan selamat tinggal yang kekal.
Teks puisi “Pariksit” digali oleh Goenawan Mohamad dari Mitologi Jawa: Raja Pariksit, anak Janyamejaya, dikutuk oleh Crenggi akan mati dipatuk oleh naga, sebab pendeta ayah Crenggi mendapat penghinaan yang tidak dapat diterima oleh anaknya. Untuk menghindari kutuk ini raja Pariksit membangun sebuah menara yang sangat tinggi dengan penjagaan yang ketat agar naga tidak dapat masuk. Raja Pariksit akhirnya menemui ajalnya ketika Taksaka (anak Crenggi) dapat naik ke menara dengan menyamar sebagai ulat di dalam jambu yang dibawa oleh seorang pendeta. (bandingkan Hutagalung, 1989; Damono, 1999; dan Santoso, 2000).
Penyair Sapardi Djoko Damono menyampaikan pandangan filosofis tentang topik ‘ketakutan menghadapi ajal’ dalam teks-teks puisi “Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati”: lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri; “Lanskap”: kita pun putih memandang setia sampai habis semua senja; “Sonet: Hei Jangan Kaupatahkan”: Matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam Kasih-sayang, dalam rindu-dendam Alam; “Bunga, 2”: mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini; “Bunga, 3”: “hai siapa gerangan yang membawa pergi jasadku?”; “Tuan”: Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar; “Dongeng Marsinah”: Detik pun tergeletak, Marsinah pun abadi; “Yang Paling Menakjubkan”: Yang paling menakjubkan di dunia fana ini adalah segala sesuatu yang tidak ada; “Ruang Tunggu”: ia masih ingin sembuh dari sakitnya; “Terbaring”: kalau aku terbaring seperti ini suka kubayangkan ada selembar daun tua kena angin dan lepas dari tangkainya melayang ke sana ke mari tanpa tenaga; “Pada Suatu Magrib”: astagafirullah, rasanya di mana-mana ajal mengintip; “Ada Pohon Bernapas”: ada pohon bernapas dalam diri kita di setiap helaannya seratus burung pulang mendengar cericit anak-anaknya; dan “Ayat-ayat Api”: kau tak memerlukan apapun: sisir, sepatu, pakaian seragam, bahkan ingatan akan penyeberangan ini.
Penyair Linus Suryadi AG mengemukakan pandangan filosofis tentang topik ‘kematian’ dalam teks-teks puisi “Bintang Jatuh”: Dinda, begitukah hidup kita?; “Mudigah”: Kutuju Jagat Raya yang abadi; dan “Lingsir Malam”: Dalam raga yang tertanam, akan tersua napas keabadian. Sama dengan pandangan penyair tentang hidup dan kehidupan, pandangan penyair tentang hakikat kematian juga merupakan proyeksi dari pandangan penyair terhadap masalah kematian. Penyair Indonesia dalam mengungkapkan nilai-nilai filosofis yang berhubungan dengan kematian menggunakan “pasemon” dengan topik “ketakutan manusia menghadapi ajal”. Dalam konteks ini ada keseragaman pandangan filosofis di antara penyair bahwa manusia itu pada hakikatnya takut menghadapi kematian.
Selain persoalan edukatif dan filosofis, penyair Indonesia juga mengungkap persoalan etis sebagai topik puisinya. persoalan ini berhubungan dengan keterikatan manusia Jawa kepada kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan. Dalam bahasa Jawa, hal ini terungkap antara lain dalam konsep becik, apik, pakarti, pantes, unggah-ungguh, dan totokromo. Istilah-istilah itu membayangkan makna kebaikan dan kepantasan hidup dan kehidupan dalam pandangan manusia Jawa. Kebaikan dan kepantasan di sini, menurut Saryono (1997:487) lebih banyak bersangkutan dengan etiket dan moralitas, bukan etika sebagai ilmu kritis. Dalam konteks ini etiket dan moralitas Jawa memberikan panduan kepada manusia Jawa untuk bertanya: mau menjadi manusia macam apakah aku ini? Dan bukan apa yang harus aku kerjakan? (bandingkan Magnis-Suseno, 1984:225—226; Sudarminta, 1991:170—171).
Persoalan etis berhubungan dengan soal etika. Etika mengatur norma-norma tentang perbuatan baik-buruk dan benar-salah menurut norma yang berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma etika itu dipandang sebagai tolok ukur tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan hamba Tuhan. Norma-norma etika itu berfungsi sebagai panduan, ukuran, patokan, batas-batas, dan ruang gerak bagi ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia secara pribadi, sosial, dan spiritual religius-transendental.
Penyair Goenawan Mohamad, misalnya, di dalam teks puisi “Pariksit” menyampaikan “pasemon” tentang perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh tokoh utama (aku lirik) puisi, yakni Pariksit. Diungkapkan oleh Goenawan Mohamad bahwa Pariksit telah melakukan perbuatan tercela, yakni membunuh Resi Crenggi sehingga harus menanggung akibat dari perbuatan jahatnya. Secara fisik dan psikis, Pariksit dijaga oleh rakyatnya, namun ia sendiri tidak melakukan hal yang sama: Mereka yang menyelamatkan, dan juga menyiksa diriku. Mereka yang mendoa, sementara aku tiada berdoa. Tokoh Pariksit tidak melakukan apa yang disebut spiritual religius-transendental ketika menghadapi kutukan. Ia justru dihantui oleh perasaan takut karena telah berbuat salah, yakni telah membunuh Resi Crenggi.
Dalam teks puisi lain, persoalan etis yang hadir melalui topik ‘ketidakadilan’ dan ‘ketidakbebasan’ diungkapkan oleh penyair Goenawan Mohamad dalam teks puisi “Rekes”. Diungkapkan oleh penyair ketidakadilan dan ketidakbebasan seorang narapidana yang harus memakan nasi basi hanya ada nasi basi dan tidak menerima amnesti tak ada amnesti. Narapidana itu tidak memiliki kebahagiaan tak ada senyum untuk umum pagi hari, tidak memiliki kebebasan tak ada burung, dan tidak memiliki kehangatan tak ada kopi. Terlepas dari benar atau salahnya sang narapidana, namun sebagai manusia—menurut norma etika yang berlaku—ia harus diperlakukan manusiawi, lebih-lebih sang narapidana melakukan kegiatan spiritual religius-transendental Perkenankanlah tangan-Mu kucium pada piring ransum.
Penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Dongeng Marsinah” menyampaikan persoalan etis melalui topik kejahatan berupa penghilangan nyawa manusia. Diungkapkan oleh penyair: Marsinah dijemput di rumah tumpangan untuk satu perhelatan, ia diantar ke rumah Siapa, ia disekap di ruang pengap, ia diikat di kursi....Marsinah pun abadi. Menurut norma-norma etika yang berlaku di tengah masyarakat tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia menghilangkan nyawa orang lain melanggar hak sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan hamba Tuhan. Perbuatan seperti itu tidak dapat dijadikan panduan, ukuran, patokan, batas-batas, dan ruang gerak bagi ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia secara pribadi, sosial, dan spiritual religius-transendental.
Dalam teks puisi lainnya, “Jakarta Juli 1996” penyair Sapardi Djoko Damono menyampaikan nilai etis dengan topik kebrobrokan tatanan kehidupan sosial: Sisa-sisa pidato, yel, teriakan, umpatan, rintihan, derum truk, semprotan air, dan tembakan masih terekam lirih sekali di got dan selokan yang mampet. Tatanan kehidupan yang bobrok dan tidak terurus melanggar norma ketertiban masyarakat. Masyarakat di mana pun tentu merindukan tatanan kehidupan yang tertib, damai, dan aman. Akan tetapi, semua itu terjadi di Jakarta pada tahun 1996. Hal itulah yang diungkapkan oleh penyair dalam teks puisinya. Penyair Sapardi Djoko Damono dalam konteks ini memberi peringatan bahwa hal itu tidak memberikan ruang gerak yang leluasa bagi manusia sebagai pribadi, makhluk sosial, dan hamba Tuhan.
Penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Dalam Setiap Diri Kita” mengungkapkan persoalan etis melalui topik ‘kejahatan’, ‘kesalahan’, dan ‘nafsu’ yang ada di dalam setiap diri manusia. Apabila kejahatan (Dalam setiap diri kita, berjaga-jaga segerombolan serigala), kesalahan (para kyai menanyai setiap selokan, setiap lubang di tengah jalan, dan setiap tikungan; para pendeta menghardik setiap pagar, setiap pintu yang terbuka, dan setiap pekarangan), dan nafsu manusia tidak terkendali (sejak sering terdengar senapan angin orang-orang berseragam itu), maka akibatnya keindahan, kedamaian, dan ketenteraman akan hilang.
Penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Sonet: Entah Sejak Kapan” dan “Sonet: Kau Bertanya Apa” mengungkapkan persoalan etis dengan topik ‘kesemrawutan kehidupan sosial’. Penyair dalam “Sonet: Entah Sejak Kapan” mengungkapkan kita tergencet di sela-sela huruf-huruf kaku yang tindih-menindih di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan yang tanpa lampu lalu lintas itu. Dalam situasi tidak adanya aturan yang dapat dianut tanpa lampu lalu lintas, hal itu berati tidak ada panduan, ukuran, patokan, batas-batas, dan ruang gerak bagi ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia secara pribadi, sosial, dan spiritual religius-transendental. Ketiadaan norma dan aturan atau adanya aturan yang keliru mengakibatkan kehidupan manusia tertekan, baik secara pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Hal itu juga diungkapkan oleh penyair dalam teks puisi “Sonet: Kau Bertanya Apa”: Sementara kita mengemis, mencuri, berebut jatah, menjarah, atau menjadi gila; sementara kita menyaksikan rumah-rumah terbakar, jaringan telepon putus, pohon-pohon tumbang.
Penyair Linus Suryadi AG dalam teks puisi “Downtown” mengungkapkan persoalan etis dengan topik ‘perbuatan tercela’. Penyair memandang bahwa “bajingan” termasuk orang jahat yang selalu dikejar-kejar oleh oknum berwajib dan sebaliknya, “bajingan” itu kadang-kadang memburu orang: “Kenji Nakagumi, bajing di negeriku banyak, apalagi bajingan!” Dua jenis makhluk itu diburu orang, kadang-kadang mereka memburu orang. Sosok “bajingan” menggambarkan seseorang yang berbuat dan berperilaku menyimpang dari aturan kebenaran. “Bajingan” suka memaksakan kehendak: merampas, mencuri, merampok, membunuh dan perbuatan tercela lainnya. Itulah sebabnya “bajingan” sering diuber-uber aparat keamanan.
Penyair Linus Suryadi AG dalam teks puisi “Ananda” dan “Kadisobo” mengungkapkan persoalan etis melalui topik ‘tanggung jawab’. Penyair menyampaikan pernyataan-pernyataannya bahwa sesungguhnya tidak ada anak jadah, kecuali ayah yang tidak bertanggung jawab: Tak ada anak haram jadah kecuali bapak yang ingkar pengakuan. Dalam teks puisi ini penyair Linus Suryadi AG memberikan suntikan moral dengan seruan O, anak gothang, anak-anak Alam kenapa mungkret kalian pun buah Kehidupan. Dalam teks puisi “Kadisobo” penyair mengungkapkan tentang tidak bertanggungjawabnya pemerintah Orde Baru: Kapan kaum tani santai di dusun tanpa pestisida dan tanpa racun tapi itu terjadi sudah 30 tahun. Pemerintah Orde Baru di mata penyair serupa pestisida dan racun bagi masyarakat petani.
Selain persoalan edukatif, filosofis, dan etis, penyair Indonesia selaku kreator juga menaruh perhatian untuk mengungkapkan persoalan estetis. Persoalan estetis berhubungan dengan keindahan dan nilai buah ciptaannya. Penyair yang dikaji dalam penelitian ini, melalui hasil kreasinya, telah menyodorkan kemungkinan-kemungkinan baru yang sangat berharga bagi perkembangan dan penyegaran terus-menerus bagi bahasa Indonesia. Setiap penyair selalu berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan puisi yang selain bernilai juga indah. Keindahan puisi itu dapat dihasilkan dari olah kreativitas penyair dalam memanfaatkan segenap unsur dan aspek yang diperlukan dalam menciptakan puisi. Unsur estetik yang mendasari bangun struktur teks puisi adalah (1) keutuhan (unity), (2) penonjolan atau penekanan (dominance), dan (3) keseimbangan (balance) (Jelantik, 1999:42).
Pada hakikatnya, setiap penyair Indonesia menaruh perhatian pada nilai estetik dalam teks puisi yang diciptakan-nya. Dalam berkarya setiap penyair selalu mengutamakan nilai-nilai estetika, selain bobot isi teks puisi yang diciptakannya. Teks puisi yang mengandung nilai estetik, misalnya terdapat pada teks puisi (1) “Surat Cinta” (Goenawan Mohamad), (2) “Kwatrin tentang Sebuah Poci” (Goenawan Mohamad), (3) “Lanskap Pagi Suatu Hari, Iowa” (Linus Suryadi AG), (4) “Perkutut Manggung” (Linus Suryadi AG), dan (5) “Di Pendapa Mangkubumen” (Linus Suryadi AG).
Teks puisi “Surat Cinta” karya penyair Goenawan Mohamad, misalnya, menonjolkan aspek estetika seperti (1) keutuhan (unity), (2) penonjolan atau penekanan (dominance), dan (3) keseimbangan (balance). Teks puisi yang terdiri atas dua bait dan masing-masing bait terdiri atas empat larik itu menampilkan kesatuan bentuk pengungkapan, isi, dan keindahan. Dalam teks puisi ini penyair mengolah estetika puisi lama, yakni pantun. Sebuah pantun selain mengutamakan keutuhan, di dalamnya terdapat penonjolan atau penekanan dan keseimbangan. Kutipan 71 berikut ini merupakan bukti tentang hal itu.
(71) Bukankah surat cinta ini ditulis
ditulis ke arah siapa saja
Seperti hujan yang jatuh rimis
menyentuh arah siapa saja
Bukankah surat cinta ini berkisah
berkisah melintas lembar bumi yang fana
Seperti misalnya gurun yang lelah
dilepas embun dan cahaya
(Goenawan Mohamad, “Surat Cinta”, hal. 13)
Kesatuan, penonjolan atau penekanan, dan keseimbangan sebagai aspek estetika juga terdapat di dalam teks puisi “Lanskap Pagi Suatu Hari, Iowa”, “Perkutut Manggung”, dan “Sajak” karya penyair Linus Suryadi AG. Suasana sepi dan terasing tampil dalam teks puisi Lanskap Pagi Suatu Hari, Iowa”; Suasana penuh pengharapan tampil dalam teks puisi “Perkutut Manggung”; dan suasana sunyi sepi tampil dalam teks puisi “Sajak”. Ketiga teks puisi tersebut dikemas dalam bentuk pantun yang menampilkan keutuhan, penekanan, dan keseimbangan sebagaimana tampak pada kutipan 72a, 72b, dan 72c berikut ini.
(72a) Wajahmu pucat
di kaca bisu
Hasrat tersekat
di beku salju
(Linus Suryadi AG, “Lanskap Pagi Suatu Hari, Iowa”, hal. 38)
(72b) Rongga senyap
minta diisi
Raksasa tegap
menagih janji
(Linus Suryadi AG, “Perkutut Manggung”, hal. 48)
(72c) Wajah bodoh
mangu-mangu
ada seloroh
sunyi dan bisu
(Linus Suryadi AG, “Sajak”, hal. 73)
Penyair Indonesia juga mengungkapkan persoalan religius dalam topik puisinya. Persoalan yang berhubungan dengan nilai religius dipandang sebagai rujukan atau acuan tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan. Dalam perspektif ini nilai religius berfungsi menyediakan, menunjukkan, menentukan, dan memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan, dan apa yang sebaiknya perlu diikuti dan tidak diikuti dalam ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan hamba Tuhan. Religiusitas itu pada gilirannya dijadikan panduan, ukuran, patokan, batas-batas, dan ruang gerak bagi ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia secara pribadi, sosial, dan spiritual religius-transendental.
Persoalan religius yang terungkap dari topik puisi antara lain terdapat dalam teks puisi “Kabut” (Goenawan Mohamad), “Lagu Hujan” (Goenawan Mohamad), “Jarak” (Goenawan Mohamad), dan “Dongeng Marsinah” (Sapardi Djoko Damono). Dalam teks puisi “Kabut”, “lagu Hujan”, dan “Jarak” penyair Goenawan Mohamad mempertanyakan misteri Ilahiah: Siapakah yang tegak di kabut ini. Atau Tuhan atau kelam, mengungkapkan sikap religius: Di luar hujan membacakan talkin purba bagi seorang Pemimpin, di hari kemarin disalibkan dunia, dan mengungkapkan rasa sepi akibat tidak dapat memahami kehendak Tuhan: dan kita tiba-tiba di sini tengadah ke langit: kosong sepi....
Penyair Sapardi Djoko Damono dalam teks puisi “Dongeng Marsinah” mengungkapkan persoalan religius dengan nada ironi seperti kutipan 73 berikut.
(73) “Saya Marsinah
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
Ke dunia lagi; jangan saya dikirim
Ke neraka itu lagi”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
(Sapardi Djoko Damono,, “Dongeng Marsinah”, hal. 43)
Seperti puisi karya Sapardi Djoko Damono, puisi-puisi Goenawan Mohamad, dan Linus Suryadi AG mengungkapkan topik tentang kesepian, saat-saat manusia menghadapi ajal, kemurungan dan lain sebagainya. Topik-topik tersebut dipengaruhi oleh filsafat eksistensialisme. Topik-topik utama yang dibicarakan oleh filsafat eksistensialisme adalah mengenai eksistensi manusia, kesepian dan kemurungannya, ketidak-mengertian manusia satu sama lain, absurditas, yang tidak mengetahui asal dan tujuan kehidupan manusia. Selain itu, penyair-penyair tersebut tidak dapat melepaskan diri dari tradisi, mitologi, dan kebudayaan Jawa yang dihayatinya.
Ada lima hal penting yang perlu dikemukakan untuk mengakhiri pemaparan dan penjelasan makna yang terungkap menurut topik puisi. Pertama, dalam pembacaan dan pemaknaan makna puisi dimungkinkan kehadiran beberapa makna dalam satu teks puisi. Kedua, kemungkinan pertama itu dapat dipahami sebab dalam pemaknaan puisi berlaku prinsip “multiinter-pretable”. Ketiga, hasil pemaknaan nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan topik puisi bersifat relatif dan debatebel (dapat diperdebatkan). Keempat, topik puisi tersebut merupakan gagasan-gagasan penyair yang secara eksplisit atau implisit dapat dimaknai berdasarkan pemakaian diksi, imaji, bahasa kias, dan lambang di dalam teks puisi. Kelima, penyair Indonesia dalam mengungkapkan “pasemon” berdasarkan topik puisi cenderung memilih pengungkapan secara tidak langsung dengan mengguna-kan kias atau lambang.
2. Makna “Pasemon” Menurut Latar Puisi
Latar atau konteks puisi adalah tempat, waktu, atau peristiwa yang mendasari atau mewadahi topik puisi. Oleh karena puisi merupakan hasil seni budaya, maka kehadirannya selalu berhubungan dengan konteks sosial-budaya. Dengan kata lain, ada sumber pembentuk nilai budaya yang dipergunakan sebagai latar penciptaan oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa. Dalam hidup dan kehidupan penyair, baik sebagai pribadi, warga masyarakat maupun sebagai hamba Tuhan, ada tiga sumber pembentuk nilai budaya yang difungsikan sebagai latar penciptaan puisi, yaitu (1) agama, kebajikan atau ajaran tertentu, paham-paham kepercayaan; (2) adat dan tradisi; (3) alam semesta. Ketiga sumber pembentuk nilai budaya yang dijadikan latar puisi tersebut dapat dimaknai secara terpisah.
“Pasemon” yang berlatar agama, kebajikan atau ajaran tertentu, dan paham-paham kepercayaan terdapat di dalam teks puisi “Kabut” (Goenawan Mohamad), “Lagu Hujan” (Goenawan Mohamad), “Rekes” (Goenawan Mohamad), “Bintang Kemukus” (Goenawan Mohamad), “Tuan” (Sapardi Djoko Damono), “Dongeng Marsinah” (Sapardi Djoko Damono), dan “Bintang Jatuh” (Linus Suryadi AG). “Pasemon” yang berlatar agama mewadahi nilai-nilai budaya dalam konteks hubungan antara manusia dengan Tuhan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan melalui serangkaian doa, pujian, kekaguman, dan pengungkapan perasaan lainnya. Secara tidak langsung manusia dapat mengakui kebesaran dan keberadaan Tuhan melalui aneka respon terhadap alam ciptaan-Nya.
Salah satu cara yang efektif digunakan oleh penyair untuk berkomunikasi dengan khalayak pembaca puisinya, menurut Damono (1999:175) adalah lewat mitos serta berbagai konvensi yang dikenal baik oleh si pengirim dan penerima pesan. Di samping berbagai konsep kebudayaan Jawa, wayang ternyata merupakan pilihan penyair Indonesia seperti Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Linus Suryadi. Dalam puisi-puisi yang diciptakannya, penyair Indonesia menyampaikan pesannya dengan bahasa yang seringkas mungkin; untuk itu diperlukan mitos dan wayang merupakan pilihan yang tepat. Selain itu, penyair juga banyak mengacu ke berbagai sumber seperti Injil, mitologi Jawa, peninggalan berbagai agama di Jawa, dan pengembaraan mereka ke berbagai tempat di Indonesia dan negeri asing (Lihat Damono, 1999:178).
Teks puisi “Kabut” karya Goenawan Mohamad merupakan refleksi dari respon penyair tentang kekerdilan manusia dalam memahami rahasia Tuhan. Sosok Tuhan bagi manusia merupakan misteri. Manusia hanya dapat bertanya-tanya dan menduga-duga tentang keberadaan Tuhan: Siapakah yang tegak di kabut ini. Atau Tuhan, atau kelam. Keberadaan Tuhan sulit divisualisasikan oleh penyair. Untuk mengkong-kretkan keberadaan Tuhan, penyair hanya dapat mempersepsikannya melalui pemilihan lambang kabut. Kehadiran lambang kabut ini alih-alih untuk mengungkapkan kemisterian Tuhan bagi penyair.
Teks puisi “Lagu Hujan” karya Sapardi Djokjo Damono merupakan tanggapan penyair terhadap fenomena alam dan dunia sekitar yang dapat dipersepsi oleh penyair. Diksi hujan di kalangan penyair atau masyarakat budaya Jawa yang menganut agama Islam dimaknai dalam dua pengertian, yakni ‘rahmat’ atau ‘anugerah’ dan ‘musibah’ atau ‘malapetaka. Diksi hujan yang merupakan lambang yang diambil dari fenomena alam dimanfaatkan oleh penyair sebagai latar untuk mewadahi gagasan yang diungkapkannya.
Teks puisi “Rekes” karya Goenawan Mohamad berlatar agama Nasrani. Dalam kepercayaan agama Nasrani komunikasi antara manusia dengan Tuhan biasanya disampaikan dalam bentuk doa yang sudah baku, misalnya:
Atas nama Bapa, Sang Putera, dan Roh Kudus,
dimuliakanlah nama-Mu,
jadikanlah kehendak-Mu.
Allah Bapa yang di sorga,
perkenankan hamba-Mu melaksanakan tugas dan kewajiban
demi kasih-Mu.
Terangilah langkahku.
Amin.
Pengucapan doa yang sudah baku itu oleh penyair Goenawan Mohamad “dipinjam” dengan memodifikasi untuk keperluan pengungkapan gagasannya. Hasil modifikasi doa dari kaum Nasrani itu dimaksudkan oleh penyair untuk menciptakan latar puisi sehingga gagasan yang diungkapkan-nya memiliki tumpuan yang jelas.
Dalam teks puisi “Tuan”, penyair Sapardi Djoko Damono dengan cara kelakar menciptakan konteks komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Komunikasi antara manusia dengan Tuhan itu digambarkan oleh penyair sebagaimana komunikasi antara dua orang dalam satu urusan dinas. Pemilihan kata Tuhan tidak memberi gambaran latar agama apa, sebab pada realitasnya setiap agama menggunakan terminologi Tuhan dalam berbagai keperluan. Gambaran yang juga tidak jelas menggambarkan latar agama apa terdapat di dalam teks puisi “Dongeng Marsinah”. Di dalam teks puisi “Dongeng Marsinah” penyair menggunakan terminologi dari agama, yakni sorga, neraka, dan malaikat. Namun, buru-buru harus ditambahkan bahwa pemilihan diksi sorga, neraka, dan malaikat dalam “Dongeng Marsinah” tidak mengacu pengertian yang sebenarnya, melainkan dalam bentuk lambang atau kias.
Dua teks puisi, yakni “Bintang Kemukus” karya penyair Goenawan Mohamad dan “Bintang Jatuh” karya penyair Linus Suryadi AG memiliki latar yang digali dari paham-paham kepercayaan dalam hubungannya dengan alam semesta. Menurut paham kepercayaan masyarakat Jawa, “Bintang Kemukus” atau “Bintang Jatuh” diyakini membawa isyarat tentang akan datangnya bahaya berupa wabah, bencana alam, dan sebagainya. Setiap melihat bintang kemukus, masyarakat lantas merasa was-was, takut, gelisah, dan lain-lain. Paham kepercayaan seperti itu oleh penyair Goenawan Mohamad dan Linus Suryadi AG dipergunakan untuk latar puisinya. Paham kepercayaan yang penting digarisbawahi sebagai latar puisi ialah ungkapan Jawa “Urip iku mung saderma mampir ngombe” atau hidup di dunia itu hanya sebentar.
“Pasemon” yang terdapat di dalam teks puisi Indonesia juga berhubungan dengan latar yang digali dari adat-tradisi Jawa. Adat-tradisi bagi penyair berlatar belakang budaya Jawa merupakan sumber penciptaan yang turut meronai teks puisi yang diciptakannya. Ke dalam pengertian adat-tradisi dapat dimasukkan segenap norma-norma yang biasa dipegang dan dijadikan pedoman di dalam hidup pribadi dan bermasyarakat, termasuk di dalamnya berbagai tatanan, ungkapan, dan kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat.
Teks puisi yang memiliki latar adat-tradisi, antara lain terdapat pada teks puisi “Pariksit” (Goenawan Mohamad), “Berlayar” (Linus Suryadi AG), “Mudigah” (Linus Suryadi AG), “Karon Sih” (Linus Suryadi AG), dan “Dinding Kota Yogya” (Linus Suryadi AG). Teks puisi “Pariksit” diungkapkan dalam latar yang berasal dari Mitologi Jawa, yakni dari dunia pewayangan. Dunia pewayangan merupakan bagian dari mitologi yang merupakan bagian adat-tradisi yang hingga saat ini dijaga kelestariannya dan dijunjung tinggi. Dunia pewayangan sebagai bagian dari adat-tradisi Jawa oleh penyair Goenawan Mohamad diolah sebagai latar puisinya. Penyair Linus Suryadi AG juga menggunakan latar dari dunia pewayangan, yakni teks puisi “Mudigah”. Teks puisi “Mudigah” digali oleh penyair Linus Suryadi dari cerita Antareja yang atas nasihat Kresna (jelmaan Wisnu) dengan penuh keyakinan pergi menuju Jagat Raya yang abadi. Teks puisi “Karon Sih” menggunakan ungkapan yang berasal dari tradisi Jawa keris ligan manjing warangka sebagai latar puisi. “Keris ligan manjing warangka” itu merupakan ungkapan khas dari komunitas masyarakat Jawa untuk menggambarkan perpaduan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, misalnya antara dua kekasih, antara kawula dan Gusti, antara bawahan dan atasan, dan seterusnya. Demikian pula puisi “Dinding Kota Yogya” menggunakan ungkapan Jawa Bukan sanak bukan sahaya, bila mati aku ikut berduka yang berasal dari terjemahan Dudu sanak dudu kadang yen mati aku melu kelangan sebagai latar puisi. Latar ungkapan Bukan sanak bukan sahaya, bila mati aku ikut berduka merupakan gambaran betapa guyup dan rukunnya masyarakat Jawa. Guyup dan rukunnya masyarakat Jawa yang tergambar melalui ungkapan itu menunjukkan bahwa nilai kerukunan dan kebersamaan dijunjung tinggi oleh komunitas masyarakat Jawa.
Dalam hubungannya dengan latar puisi-puisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono (1999:145) menyatakan pendapatnya sebagai berikut:
Goenawan Mohamad menciptakan perlambangan yang sangat pribadi, maksudnya yang tercipta oleh pengalamannya sebagai pribadi. Ia juga memanfaatkan acuan yang sangat luas: Batik Madrim, “Internasionale”, Epheseus, Yap Thiam Hien, Allen Ginsberg, Pariksit, Goethe, Bach, Sakerah, Wang Shih-Wei, Hammurabi, Najaf, Kerbala, Kiai Bisri, dan Gatoloco. Ia pun tidak pernah ragu-ragu memamerkan begitu banyak tempat di berbagai pelosok dunia yang pernah dikunjunginya, yang bisa berfungsi sebagai latar dan sekaligus bisa juga sebagai lambang dalam puisinya.
Apa yang dikemukakan oleh Sapardi Djoko Damono itulah, antara lain yang menyebabkan mengapa puisi Goenawan Mohamad dianggap sangat sulit dipahami; ada yang menyebutnya sebagai puisi suasana hati, ada yang menyebutnya puisi gumam, ada yang menyebutnya puisi intelektual. Semua pendapat itu dapat dimengerti sebab Goenawan Mohamad telah mempergunakan berbagai muslihat agar “pasemon” yang dikemuka-kan dapat sampai pada sasarannya.
3. Makna “Pasemon” Menurut Tujuan Puisi
Teks puisi ditulis oleh penyair, selain memiliki topik dan latar, juga memiliki tujuan tertentu. Tujuan itu berhubungan dengan niat, maksud, visi, dan misi penyair. Tujuan seperti itu dalam konteks penelitian ini disebut dengan tujuan puisi. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa makna “pasemon” dapat diterangjelaskan berdasarkan tujuan puisi. Tujuan puisi yang tidak lain merupakan niat, maksud, visi, dan misi penyair tersebut berhubungan erat dengan topik dan latar puisi.
Sesuai dengan karakteristik utama “pasemon” yang merupakan penuturan tidak langsung, maka tujuan puisi yang merupakan realisasi dari niat, maksud, visi, dan misi penyair ini biasanya dikemukakan oleh penyair secara implisit melalui berbagai aspek puisi. Tujuan puisi dapat terungkap melalui penggunaan kata, baik berupa kias maupun lambang di dalam teks puisi dan aspek-aspek lain seperti misi, visi, atau aspirasi penyair. Tujuan puisi dapat pula dirunut melalui penuturan langsung penyair yang bersangkutan atau dari pendapat pakar terhadap puisi-puisi karya penyair tersebut. Dalam paparan berikut terlebih dulu dikemukakan visi, misi, atau aspirasi penyair dalam berkarya.
Penyair Subagio Sastrowardoyo menyampaikan visi, misi, atau aspirasinya dalam “Kata Pengatar Penyair” buku Dan Kematian Makin Akrab (1995) sebagai berikut:
“Penyair yang menyekatkan perhatian pada diri sendiri hanya menghasilkan sedu-sedan dan keluh kesah, bukan sajak yang cukup berarti. Nilai sajak baru diperoleh setelah ia sanggup mengatasi perhatian pada diri sendiri dan mempertalikan diri dengan lingkaran dunia yang lebih luas. Dunia di luar dirinya itu adalah segala yang hadir sebagai alam fisik, seperti batu dan pasir, angin dan laut, tetumbuhan dan hewan, maupun dalam ujud tanggapan dan pengertian yang terekam di dalam seni, ilmu, dan filsafat. Dunia luar itu membebaskan penyair dari kesempitan cintanya kepada diri sendiri dan melibatkan kepentingan dirinya dengan peri kehidupan yang lebih luas dengan menyangkut pengalaman manusia yang beragam-ragam....Yang akan tinggal hanya pengandaian dan harapan semoga cinta kepada pengalaman hidup yang beragam-ragam terus dapat berlangsung tanpa ada ubahnya...”
Dalam pengantar buku itu juga dikatakan bahwa setiap sajak boleh dipandang sebagai catatan dan pengalaman batinnya dalam menangkap dan merasakan cinta. Menurut Damono (1999:79) hal itu jelas merupakan tanda bahwa Subagio adalah penganut pendekatan ekspresi dalam kesusastraan; puisi sebaiknya dikaitkan dengan pengalaman pribadi penyair sebab memang merupakan pengungkap-annya. Suara dalam sajak-sajak itu adalah suara Subagio, persona yang ada di dalamnya adalah juga dirinya sendiri. Baginya, cinta merupakan tema utama dan abadi dalam puisi karena lahir dari dorongan pertama penyair menulis. Damono menambahkan, dalam hal ini cinta tidak harus berarti hubungan lelaki-perempuan, apalagi hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, tetapi hubungan yang lebih luas antara manusia dan makhluk serta alam sekelilingnya.
Sikap penyair Subagio Sastrowardoyo jelas. Ia tidak sekadar mengumbar kepentingan dirinya sendiri dalam menulis puisi. Dalam menulis puisi ia harus sanggup mengatasi kepentingan diri sendiri dan berusaha mempertalikan dengan lingkaran dunia yang lebih luas. Bagi penyair Subagio Sastrowardoyo “keberartian” merupakan hal yang utama dalam penulisan puisi. Itulah sebabnya di dalam puisi-puisi yang diciptakannya ia selalu berpedoman pada dulce et utile—selain mengejar keindahan, ia juga mengejar keberartian puisi. Berhubungan dengan visi, misi, atau aspirasi penyair dalam berkarya, Goenawan Mohamad (1993:85) secara eksplisit menyampaikan pandangannya sebagai berikut:
“Tujuan dari suatu karya sastra bukanlah tema dan tema itu semata. Tujuannya pada tingkat terakhir dan yang pokok, tujuan ultimatnya, ada di balik yang samar-samar dari tema itu sendiri. Dan itu adalah yang dinamakan keindahan dan kebenaran, makna-makna yang tak kunjung bisa dirumuskan dalam definisi-definisi, namun selalu hadir dan menggoda kita untuk mencipta.”
Pandangan penyair Goenawan Mohamad itu merupakan visi, misi, aspirasi dan sekaligus merupakan tujuan dalam menulis puisi. Di dalam pandangan itu juga terungkap pandangannya mengenai “pasemon”, yakni “sesuatu yang samar-samar dari tema itu sendiri. Dan itu adalah yang dinamakan keindahan dan kebenaran, makna-makna yang tak kunjung bisa dirumuskan dalam definisi-definisi, namun selalu hadir dan menggoda kita untuk mencipta”. Dengan lain perkataan dapat dinyatakan bahwa tujuan puisi menurut penyair Goenawan Mohamad ialah menyampaikan “pasemon”. Selanjutnya dalam hubungan sifat puisi sebagai “pasemon”, penyair Goenawan Mohamad (1996:312) menyatakan sebagai berikut:
....puisi sebagai “pasemon”: berbicara dari hati-ke-hati hanya dengan menyajikan suatu set ‘kenyataan’, seakan-akan sebuah perubahan wajah, atau sebuah kias, dengan cuma menghadirkan serangkaian benda-benda di luar atau di dalam kesadaran.
Hal yang diungkapkan oleh Goenawan Mohamad dalam pernyataan itu memberi gambaran tentang puisi sebagai “pasemon” yang memandang penting terhadap latar puisi, sebab di dalam latar puisi secara implisit terdapat tujuan puisi. Dengan sifat seperti itu maka, Goenawan Mohamad selanjutnya menyatakan: “permainan dan ketegangan yang menghanyut-kan dan mencekam, pengelakan dan penundaan yang tak habis-habisnya untuk menemukan makna, pertemuan dengan makna yang muncul menghilang dalam kebebasan dan kesendirian kita”.
“Permainan dan ketegangan” yang menghanyutkan dan mencekam itu dapat tersusun oleh adanya peristiwa yang bermakna (pengalaman). Dalam hubungannya dengan peristiwa yang bermakna itu, penyair Sapardi Djoko Damono (1999:266—267) menyampaikan pandangannya sebagai berikut:
Bagi saya, proses penulisan sebuah sajak berakhir apabila dalam kata-kata yang saya permainkan tersusun peristiwa yang rasanya pernah saya alami, yang kini ternyata mengandung makna. Makna itu sendiri sering sulit saya sampaikan, atau saya capai, dengan cara lain. Oleh karena itu peristiwa dalam dunia kata itu sangat penting, setidaknya sama penting dengan makna yang dikandungnya.
Ada persamaan pandangan antara Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono dalam memandang tujuan puisi. Kedua penyair tersebut sama-sama menekankan pentingnya pengalaman kreatif dalam menyampaikan tema, latar, tujuan, dan makna. Dari tanggapan Damono (1999:145) terhadap puisi-puisi Goenawan Mohamad berikut ini kita dapat mengetahui bagaimana penyair Goenawan Mohamad menyampaikan “pasemon” untuk tujuan menyindir:
Dalam puisinya, Goenawan Mohamad telah mempergunakan berbagai muslihat agar sindirannya sampai pada sasarannya, yakni agar yang disindir merasa bahwa dirinya disindir. Menyindir orang lain tentu membutuhkan wahana sindiran yang konvensional; setidaknya yang menyiratkan kesepakatan pemahaman antara yang menyindir dan yang disindir. Dan konvensi semacam itu tentu mencakup pembaca juga, seandainya ia bukan yang disindir tetapi sekadar seorang yang nguping sindiran itu. Kesepakatan semacam itu menjadi sangat pelik jika tujuan sindiran itu adalah diri sendiri; berbagai muslihat yang dipilih bisa bersifat sangat pribadi.
Penyair Sapardi Djoko Damono (1999:268) dalam hubungannya dengan proses penciptaan puisi-puisinya menyatakan:
Pada suatu saat, saya adalah seorang anak kecil yang asyik bermain kata-kata, di saat lain seorang nabi yang berusaha menyampaikan pesan kepada dunia. Namun tidak jarang saya merasa diri saya benar-benar seorang penyair; asyik bermain-main kata sampai di dalamnya tersusun dunia yang bermakna. Pada saat semacam itu saya bukan anak kecil, karena anak kecil tidak menyadari bahwa permainan dan tempatnya bermain bermuatan makna; saya pun bukan nabi, karena nabi dianugerahi tugas mulia untuk menyiarkan kata-kata Tuhan bagi umat manusia. Sedangkan saya, si penyair, bermain-main dengan kata sementara menyadari bahwa bisa tercipta makna di dalamnya.
....
Perjuangan saya dalam menulis puisi selama ini; adalah untuk menjadi penyair; saya tidak ingin menjadi nabi atau anak kecil karena keduanya tidak mungkin bisa saya jalani sepenuhnya. Namun kenyataannya, di antara sajak-sajak yang saya tulis banyak yang menunjukkan keinginan diam-diam untuk menjadi nabi: dalam sajak-sajak semacam itu saya mengajari, berkhotbah, atau mengajak berjuang. Saya sama sekali tidak sempat bermain-main. Saya merasa sekadar menjadi alat saja dari ajaran yang ingin saya sampaikan.
Salah satu cara yang efektif untuk berkomunikasi dengan khalayak adalah melalui mitos serta berbagai konvensi yang dikenal baik oleh penyair. Di samping berbagai konsep kebudayaan Jawa, wayang ternyata merupakan pilihan utama penyair Subagio Sastrowardoyo, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG dan Goenawan Mohamad. Dalam puisi yang disusun dalam bentuk tetap yang kompak, penyair Linus Suryadi AG dan Goenawan Mohamad rupanya tidak mau terlalu banyak membuang kata. Ia menyampaikan pesannya dengan bahasa yang seringkas mungkin; untuk itu diperlukannya mitos. Wayang yang dipergunakan oleh penyair sebagai acuan dan sangkutan sejumlah puisinya tampaknya benar-benar dikuasainya. Dari dunia wayang mereka mengambil beberapa episode yang kemudian diolahnya berdasarkan pandangan hidupnya sendiri dan situasi yang ada di sekitarnya. Contoh teks puisi yang ditulis dari dunia wayang adalah “Pariksit” karya Goenawan Mohamad dan “Mudigah” karya Linus Suryadi AG.
Penyair Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Linus Suryadi AG mengolah pertanyaan-pertanyaan yang biasanya menjadi bagian filsafat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penyair tersebut terasa semakin tajam ketika mereka mengacu pada berbagai aspek sejarah dan kebudayaan Jawa yang sebelumnya telah dibebani konotasi. Puisi “Borobudur” karya Linus Suryadi AG, misalnya, yang bentuknya tidak berbeda dari puisi-puisi penyair lainnya, mengacu pada suatu benda budaya yang dalam kebudayaan Jawa memiliki konotasi kesejarahan dan kebudayaan yang penting. Kedudukan candi itu sekarang bergeser, tidak lagi hanya sebagai pusat kegiatan kerohanian tetapi lebih sebagai pusat kegiatan pariwisata. Masalah aktual yang menjadi pertanyaan secara implisit terdapat di dalam puisi “Borobudur”. Di samping itu mereka juga membuat deskripsi mengenai liku-liku pengalamannya hidupnya. Untuk mencapai maksudnya itu, mereka banyak mengacu ke berbagai sumber seperti Injil, mitologi Jawa, wayang, dan peninggalan berbagai agama di Jawa.
Ada persamaan antara penyair Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Linus Suryadi AG. Persamaan itu berhubungan dengan corak puisi yang ditulis, yakni berjenis lirik; pandangan ketiga penyair mengenai penyitraan, tema, kiasan, dan makna puisi. Mengenai kepenyairan Linus Suryadi AG, Damono (1999:182) menyatakan:
Keasyikannya bermain itu ternyata telah menghasilkan sejumlah citraan dan kiasan yang baru, yang diciptakannya untuk menyampaikan pesan yang tidak mungkin disusun dalam bahasa lugas.
Berdasarkan pemaparan dan penjelasan makna “pasemon” berdasarkan topik, latar, dan tujuan puisi, makna “pasemon” dalam teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa dapat disarikan sebagai berikut. Pertama, penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa dalam menyampaikan “pasemon”nya sama-sama memilih puisi berjenis lirik. Kedua, penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa sama-sama memiliki visi, misi, dan aspirasi terhadap pentingnya “suasana” yang terbangun melalui latar puisi sebagai piranti penyampaian “pasemon”. Ketiga, penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa sama-sama tidak terlalu mementingkan makna, melainkan mengekspresikan gagasannya dalam “permainan” yang mengasyikkan sehingga makna dapat hadir secara langsung atau tidak langsung melalui tema, latar, dan tujuan menciptakan puisi. Keempat, penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa mencipta puisi dengan tujuan “nyemoni” atau “menyindir”, baik terhadap diri sendiri, suatu keadaan, atau terhadap pihak lain. Kelima, di antara penyair yang diteliti tampaknya saling mengagumi satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar