Sabtu, 19 Februari 2011

PERKEMBANGAN WAWASAN ESTETIK WACANA PUISI INDONESIA




Aspek-aspek pokok kajian puisi adalah analisis, interpretasi, dan evaluasi atau penilaian. Teks puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu ada analisis (Hill, 1966:6), yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Analisis itu merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi. Sebuah teks puisi itu berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Oleh karena itu, teks puisi perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra (Abrams, 1981:84). Dalam arti sempitnya, interpretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya. Teks puisi adalah karya seni. Oleh karena itu, harus diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya teks puisi itu. Analisis dan penafsiran teks puisi harus dihubungkan dengan penilaian (Wellek, 1968:156). Ketiga aktivitas kajian puisi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena ketiganya saling erat hubungan dan saling menentukan.
Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai teks puisi terdapat empat orientasi pendekatan yang menentukan arah atau corak kajian puisi. Orientasi pendekatan kajian puisi itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra, yakni: alam (kehidupan), pembaca, penulis, dan karya sastra. Berdasarkan hal itu ada empat orientasi, yaitu orientasi (1) mimetik, (2) pragmatik, (3) ekspresif, dan (4) objektif (Abrams, 1979:6;  1981:36—37).
Pertama, orientasi mimetik memandang teks puisi sebagai tiruan, cerminan, ataupun representasi alam maupun kehidup-an. Kriteria yang dikenakan pada teks puisi adalah “kebenaran” representasi objek-objek yang digambarkan ataupun yang hendak digambarkan. Kedua, orientasi pragmatik memandang teks puisi sebagai sarana untuk mencapai tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi, ataupun pendidikan). Orientasi ini cenderung menimbang nilai berdasarkan pada berhasilnya mencapai tujuan. Ketiga, orientasi ekspresif memandang puisi sebagai ekspresi, luapan, ucapan perasaan sebagai hasil imajinasi pengarang, pikiran-pikiran, perasaan-perasaannya. Orientasi ini cenderung menimbang puisi dengan keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visi atau keadaan pikiran dan kejiwaan pengarang. Keempat, orientasi objektif memandang teks puisi sebagai sesuatu yang mandiri, otonom, bebas dari pengarang, pembaca, dan dunia sekelilingnya. Orientasi ini cenderung menerangkan teks puisi atas kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antarunsur yang membentuk-nya.
Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketanda-an. Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu, menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempu-nyai arti (Preminger, 1974:981). Seperti telah disebutkan bahwa arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karya sastra oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna karya sastra, haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan yang memungkinkan diproduksinya makna. Konvensi-konvensi apa yang mendasari timbulnya makna ini dieksplisitkan dalam konkretisasi (Preminger, 1974:981). Konvensi-konvensi sastra ini bermacam-macam. Hal ini sesuai dengan sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jeniss-jenis sastra. Misalnya dalam puisi liris, di antaranya berupa ciri-ciri formal seperti enjambemen, sajak, metrum, dan ulangan-ulangan bunyi. Semuanya itu merupakan tanda-tanda yang menyumbangkan efek puitis sebagai maknanya. Konvensi puisi liris yang lain di antaranya seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984:104—105) berasal dari Culler adalah tiga konvensi dasar: (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.
Pertama, jarak dan deiksis. Puisi itu karya rekaan, maka ucapan itu bukanlah pencatatan tindak ucapan yang empiris, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, di sini ada “jarak” antara situasi si aku penulis dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik. Keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.
Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya (Teeuw, 1984:196). Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Di samping konvensi di atas, ada juga konvensi puisi yang lain, yang dapat dipergunakan untuk konkretisasi. Konvensi ini hendaknya dicari pembaca puisi berdasarkan keajegan puisi dari dulu hingga sekarang. Misalnya, konvensi puisi yang lain itu seperti dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1—2) bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusi selera yang selalu berubah, tetapi ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketak-langsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyim-pangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran baris (lihat Pradopo, 1987:209—222).
Tentu saja tiap-tiap genre sastra itu mempunyai konvensi sendiri-sendiri di samping konvensi sastra yang umum. Misalnya saja dalam roman atau cerpen selain ada konvensi kesatuan yang bulat (organic wholes), ada juga konvensi yang berhubungan dengan konvensi cerita seperti konven-si alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan lain-lainnya. Dalam analisis untuk memberi maknanya, maka konvensi-konvensi yang berhubungan dengan itu dieksplisitkan.
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sbelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980:12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan. Sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungan-nya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertekstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre (Teeuw, 1983:65). Seringkali karya sastra berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang maupun karena meneruskan karya-karya yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian itu oleh Riffaterre disebut hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:66). Dalam puisi, misalnya, tampak beberapa puisi Chairil Anwar berhipogram puisi-puisi Amir Hamzah. Di situ puisi-puisi Chairil Anwar menen-tang pikiran-pikiran maupun konsep estetik Pujangga Baru yang tersirat dalam puisi-puisi Amir Hamzah.
Karya sastra dicipta oleh seorang pengarang. Ia tidak dapat terlepas dari masyarakat dan budayanya. Seringkali sastrawan sengaja menonjolkan kekayaan budaya masyarakat, suku bangsa, atau bangsanya. Hal ini tampak lebih-lebih dalam karya sastra Indonesia sejak tahun 1970 meskipun sebelumnya latar sosial budaya ini juga tampak dalam karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, untuk memahami dan memberi makna kepada karya sastra, latar sosial budaya ini harus diperhatikan.
Ketika pengkaji hendak memberi makna pada Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), misalnya, maka haruslah diketahui konsep hidup orang Jawa dan kebudayaan Jawa. Tanpa semua itu, Pengakuan Pariyem tidak dapat dipahami dan tidak diberi makna  dengan sepenuhnya. Ketika pengkaji akan memberi makna puisi-puisi Subagio Sastrowardojo, Goenawan Moha-mad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG, yang berlatar belakang budaya wayang, maka tidak boleh tidak latar belakang wayang yang bersangkutan harus diketahui atau diterangkan dengan jelas mengenai hubungan antartokoh, peristiwa-peristiwa, dan konteks ceritanya.
Karya sastra tidak terlepas dari penulisnya. Penulis/ pengarang memberikan intensinya dalam karyanya. Karya sastra merupakan luapan dan penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak boleh diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan. Hal ini disebabkan oleh hal bahwa belum tentu intensi pengarang itu dapat dijelmakan dalam karya sastra secara sempurna sebab karya sastra bermedia bahasa yang mempunyai sifat sendiri yang tidak begitu saja “tunduk” kepada kemauan pengarang. Di samping itu, juga masalah-masalah teknik penulisan seringkali menjadi penghalang bagi penulis untuk menyampaikan intensinya. Meskipun demikian, faktor pengarang tidak dapat diabaikan. Kemungkinan besar, keterangan-keterangan pengarang mengenai karyanya, baik dalam hal ekspresi ataupun pikiran yang dikemu-kakan, sangatlah perlu untuk memahami karyanya tersebut. Lebih-lebih bila karyanya menunjukkan adanya teknik dan pemikiran baru yang belum dikenal oleh masyarakat sastra. Di samping itu, pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan pengarang tentang seni sastra pada umumnya sangat bermanfaat untuk mempermudah pengungkapan makna karya sastranya.
Meskipun menurut teori objektif (struktural) bahwa bila pengarang menerangkan karyanya sendiri, maka sesungguhnya ia berlaku sebagai pembaca terhadap karyanya sendiri, akan tetapi, pastilah tafsiran-tafsiran terhadap karyanya sendiri itu akan “lebih” menunjukkan ketepatan daripada tafsiran pembaca yang lain, yang “hanya” berdasarkan teks yang tertulis. Namun, kete-rangan penulis atas karyanya sendiri itu memang tidak harus dimutlakkan sebab karyanya sebagai sistem tanda memang mempunyai konvensi sendiri yang objektif berdasarkan kompetensi sastra yang dilaksanakan.
Dikemukakan Jauss (1974:12—13) bahwa apresiasi pembaca pertama sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Tiap pembaca itu memiliki horizon harapan sendiri. Horizon harapan itu menurut Segers (1978:41) ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang dibaca oleh pembaca, kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun horizon “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan. Jadi, bila pembaca itu mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna”, dapat mengisi “tempat-tempat terbuka” dengan baik.
Dalam teori estetika resepsi yang menjadi perhatian utama adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca (Jauss, 1974:12). Hal itu disebabkan bahwa kehidupan historis sebuah karya sastra tidak terpikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepssi atau tanggapan para pembacanya. Menurut Jauss (1974:12—13) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya terungkap. Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang memberikan wajah yang sama masing-masing pembaca di setiap periode.

Dalam metode estetika resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh pembacanya. Pembaca dalam hubungan ini yang dimaksud adalah pembaca yang cakap, bukan awam, yaitu para kritikus sastra, ahli sejarah, dan ahli estetika. Dengan demikian, penelitian dengan metode estetika resepsi, seperti dikemukakan oleh Segers (1978: 49), ialah (1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya, dan (2) meneliti hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak dan di lain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi.

Sejarah perpuisian mencatat, puisi Indonesia modern yang pertama ditulis adalah puisi berjudul “Tanah Air” karya Mohamad Yamin, dimuat dalam Jong Sumatera No. 4, Tahun III, April 1920. Karya Mohamad Yamin itu sesungguhnya merupakan respon terhadap karya sebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983:65), baik berupa tanggapan baru maupun penyambutan yang bersifat penerusan konvensi sebelumnya, tetapi sekaligus juga sering menyimpangi konvensi yang telah ada atau pun norma puisi sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa puisi tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Demikian juga puisi itu merupakan tegangan antara konvensi dan inovasi (Teeuw, 1983:4, 11).
Sebelum Mohamad Yamin menulis “Tanah Air” itu, di Indonesia sudah ada sastra Melayu lama, khususnya puisi Melayu lama yang ragam utamanya berupa pantun dan syair yang merupakan puisi tradisional atau konvensional. Mohamad Yamin merespon pantun dan syair ini, menyimpangi norma-norma yang tradisional atau konvensional. Akan tetapi, ia juga meneruskan sebagian konvensi puisi lama dalam puisi-puisinya. Kemudian, jejak langkah Mohamad Yamin ini diikuti oleh penyair-penyair sezamannya. Akhirnya kelompok penyair sezaman Mohamad Yamin dengan karya-karyanya itu membentuk sebuah angkatan sastra yang dikenal dengan nama Angkatan Pujangga Baru. Nantinya puisi Pujangga Baru itu akan direspon oleh penyair-penyair periode sesudahnya dengan karya-karya puisinya.
Persambungan sejarah puisi dari periode ke periode selanjutnya menunjukkan ciri-ciri tertentu sesuai dengan periodenya. Hal ini sesuai dengan pengertian sejarah sastra sendiri, yaitu studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra dari sejak lahirnya sampai pada perkembangannya yang mutakhir (Wellek, 1968:25; Pradopo, 1988:12).  Sejarah sastra tidak lepas dari masalah periodisasi (pembabakan waktu) untuk menunjukkan perkembangan sastra dari periode ke periode. Periode adalah bagian waktu yang dikuasai oleh norma-norma sastra dan konvensi-konvensi sastra, yang munculnya, meluasnya, variasi, integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut (Wellek, 1968:265).

1. Wawasan Estetik Periode 1920-an—1940-an
Pada periode 1920—1942 bermunculan penyair Indonesia modern Angkatan Pujangga Baru. Pada waktu sekarang sebagian besar puisi mereka telah diinventarisasikan dengan judul Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20—an hingga Tahun 40-an (Badudu, dkk., 1984:73—977). Dalam buku itu dicatat 134 penyair beserta puisi-puisi yang diciptakannya. Di antaranya yang terkenal: Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn pane, Rustam Effendi, M. Yamin, J.E. Tatengkeng, A. Hasjmy, Rivai Ali, dan Samadi. Mereka telah menerbitkan buku kumpulan puisi. Penyair lain yang terkenal ialah Asmara Hadi, M.R. Dayoh, Intojo, Or. Madank, A.M. Daeng Mijala, dan S. Yudho.
Di antara kumpulan puisi yang terkenal ialah Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu (Amir Hamzah), Madah Kelana dan Puspa Mega (Sanusi Pane), Tebaran Mega (Sutan Takdir Alisjahbana), Gamelan Jiwa (Armijn Pane), Rindu Dendam (J.E. Tatengkeng), Indonesia Tumpah Darahku (M. Yamin), Percikan Permenungan (Rustam Effendi), Senandung Hidup (Samadi), Kata Hati (Rivai Ali), dan Kisah Seorang Pengembara (A. Hasjmy).

Ciri-ciri Struktur Estetik
·        Tergolong puisi baru, bukan pantun dan syair lagi; ada jenis balada dan soneta, bentuknya teratur rapi;
·        Pilihan kata-katanya diwarnai dengan “kata-kata nan indah”, mempunyai persajakan akhir;
·        Bahasa kiasan utama ialah perbandingan, banyak menggunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola lain;
·        Sebagian besar puisi empat seuntai, bentuknya simetris;
·        Tiap-tiap barisnya terdiri atas dua periodus dan terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis);
·        Tiap gatranya pada umumnya terdiri atas dua kata;
·        Gaya ekspresinya beraliran romantik tampak dalam gaya pengucapan perasaan, pelukisan alam indah;
·        Gaya puisi Pujangga Baru diafan atau polos, tidak memakai kata-kata kiasan yang bermakna ganda, kata-katanya serebral, hubungan kalimat-kalimatnya jelas. (Pradopo, 1984).


Perlu diberi catatan bahwa ciri-ciri formal itu merupakan kelanjutan bentuk formal dan struktur puisi lama meskipun ada perubahan-perubahan sedikit, misalnya pola persajakan akhirnya yang lebih bervariasi daripada pola sajak Melayu lama yang hanya a—b—a--b dan aaaa, begitu juga dua periodus dalam tiap barisnya yang kadang juga divariasi dengan menjadikannya dua baris dari satu baris dengan masing-masing satu periodus terdiri atas dua kata. Jadi, di samping puisi Pujangga Baru menyimpangi konvensi lama seperti pantun dan syair, juga masih meneruskan sebagian konvensinya.
Pujangga Baru  mengikuti aliran romantik Gerakan 80-an dari Belanda (Jassin, 1963:29—31). Aliran romantik itu berpengaruh dalam struktur dan ragam puisi-puisinya, pemilihan objek-objek, masalah-masalah, serta muatan perasaan. Aliran romantik tampak dalam gaya pengucapan perasaan, pelukisan alam yang indah.

Ciri Ekstrinsik/Ekstra Estetik
·        Masalahnya bersangkut-paut dengan kehidupan masyarakat kota, seperti masalah percintaan, masalah individu manusia, dan sebagainya;
·        Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mengisi puisi-puisi Pujangga Baru;
·        Ide keagamaan menonjol;
·        Curahan perasaan atau curahan jiwa tampak kuat: kegem-biraan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainya;
·        Sifat didaktis masih tampak kuat. (Pradopo, 1984).

2. Wawasan Estetik Periode 1940-an—1950-an (Angkatan 45)
Puisi Angkatan 45 merupakan respon kepada puisi Pujangga Baru. Bila puisi Pujangga Baru beraliran romantik yang pada umumnya mengutamakan curahan perasaan, idealisme, cita-cita yang idealistis, maka puisi Angkatan 45 beraliran realisme yang mengutamakan penggambaran kehidupan secara nyata. Di dalamnya tergambar kehidupan sehari-hari yang dapat dialami secara nyata. Di samping itu, Angkatan 45 mengikuti aliran ekspresionisme dalam gaya pengucapannya (Jassin, 1985:5--30). Semua itu berpengeruh dalam gaya ekspresi struktur estetik dan pemilihan masalahnya(Pradopo, 1984).
Puisi-puisi Angkatan 45 dapat dipandang sebagai reaksi atau respon terhadap puisi-puisi Pujangga Baru. Puisi-puisi Angkatan 45 sering disebut puisi bebas, tidak terikat pada jumlah baris, persajakan, dan periodisasi. Di samping itu, juga tidak dipergunakan diksi kata-kata nan indah, tidak mengutamakan gaya curahan perasaan. Gayanya lebih bersifat pernyataan pikiran.
Puisi-puisi karya penyair Angkatan 45 diantologi-kan oleh H.B. Jassin dalam Gema Tanah Air (1948), Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948). Dalam Gema Tanah Air puisi-puisi penyair Angkatan 45 dibuat peringkat berdasarkan kedekatan dan penyimpangannya dari puisi-puisi Pujangga Baru. Dalam Kesu-sastraan Indonesia di Masa Jepang ada 9 penyair: Rosihan Anwar, Usmar Ismail, B.H. Lubis, Amal hamzah, Chairil Anwar, Nursjamsu, Anas Ma’ruf, Maria Amin, dan Bung Usman. Di antara mereka puisi-puisinya dimuat dalam Gema Tanah Air, kecuali B.H. Lubis, Rosihan Anwar, Maria Amin, Nursjamsu, dan Bung Usman. Pada tahun 1968, Gema Tanah Air dijadikan dua jilid dengan tambahan penyair diantaranya Siti Nuraini, Harijadi S.Hartowardojo, Toto Sudarto Bachtiar (kumpulan puisinya Etsa dan Suara), Mohamad Ali, dan P. Sengojo.
Penyair yang dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 adalah Chairil Anwar dengan kumpulan puisinya Deru campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1951), kumpulannya bersama Asrul Sani dan Rivai Apin adalah Tiga Menguak Takdir (1950). Selain ketiga penyair itu, yang produktif di antaranya adalah Mahatmanto, Toto Sudarto bachtiar, Harijadi S. Hartowardojo, Siti Nuraini, dan Mohamad Ali. Selain itu ada Sitor Situmorang dengan kumpulan puisinya Peta Perjalanan, Dinding Waktu, dan Angin Danau (Pradopo, 1984).
Puisi Angkatan 45 pada umumnya mencari bahan-bahan sekitar masalah perang, masalah kemanusiaan menjadi menonjol dalam arti, orang ingin merdeka terbebas dari penjajahan, bebas dari kekejaman perang yang membuat penderitaan manusia. Sesudah selesai perang kemerdekaan, situasi menjadi berubah, orang-orang mulai memikirkan masyarakat dan keberadaan kebudayaan bangsaa. Dengan demikian, para sastrawaan pun sebagai anggota masyarakat dan bangsa tidak terlepas dari masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Semuanya itu dituangkan ke dalam puisi-puisinya.

Ciri-ciri Struktur Estetik
·        Puisinya puisi bebas, tidak terikat bait, jumlah baris, dan persajakan;
·        Gaya ekspresionisme;
·        Aliran dan gaya realisme;
·        Pilihan kata sarana penting untuk mencerminkan pengalaman batin yang dalam dan untuk intensitas arti, mempergunakan kosa kata bahasa sehari-hari sesuai dengan aliran realisme;
·        Bahasa kiasan yang dominan metafora dan simbolik; kata-kata, frase, kalimat-kalimat ambigu menyebabkan arti ganda;
·        Sesuai dengan ciri (5) gaya puisinya prismatis dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-baris puisi dan kalimat-kalimatnya implisit;
·        Gaya pernyataan pikiran berkembang; dan
·        Gaya ironi dan sinisme menonjol (Pradopo, 1984:26).


Ciri-ciri Ekstra Estetik
·        Individualisme menonjol, dalam arti, kesadaran kepada keberadaan diri pribadi terpancar dengan kuat;
·        Puisi mengekspresikan kehidupan batin/kejiwaan manusia lewat peneropongan batin sendiri;
·        Puisi mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme universal) dengan jelas, seperti tentang keseng-saraan hidup, hak-hak asasi manusia;
·        Masalah kemasyarakatan menonjol: dikemukakan kepin-cangan dalam masyarakat, seperti gambaran perbedaan yang mencolok antara golongan kaya dan miskin;
·        Filsafat eksistensialisme mulai dikenal, lebih-lebih tampak dalam puisi-puisi sesudah tahun 1950-an (Pradopo, 1984:27); aspek-aspeknya tampak seperti paham hedonisme, absurd-itas kehidupan, nihilisme, dan kefanaan hidup yang membuat hidup jadi sia-sia.

3. Wawasan Estetik Periode 1950-an—1960-an (Angkatan 66)
Periode 50-an—60-an pada dasarnya masih meneruskan konvensi Angkatan 45. Para penyair yang menulis sesudah tahun 1950 dan pertengahan 1950-an di antaranya adalah Kirdjomuljo, Subagio Sastrowardojo, W.S. Rendra, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Hartojo Andangdjaja. Para penyair yang mulai muncul dan terkenal sesudah tahun 1960 di antaranya Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Piek Ardijanto Soeprijadi, Darmanto Jatman, M. Poppy Hutagalung, Saini KM, Isma Sawitri.
Kumpulan puisi yang penting pada periode ini ialah Etsa dan Suara karya Toto Sudarto bachtiar. Toto oleh Jassin digolongkan penyair, tetapi menilik ciri-cirinya lebih dekat pada periode 1955—1960. Kumpulan puisi Ajip Rosidi: Pesta (1957), Cari Muatan (1959), dan Surat Cinta Enday Rasidin (1960). Kumpulan puisi W.S. Rendra: Balada orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1964), Sajak-sajak Sepatu Tua (1970), Blues untuk Bonie (1971). Kumpulan puisi Subagio Sastrowardojo: Simponi (1957) Daerah Perbatasan (1970). Kumpulan puisi Kirdjomuljo: Romansa Perjalanan I (1951). Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono Dukamu Abadi (1968).

Ciri Struktur Estetik
·        Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembang-nya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih ‘sederhana’ dibandingkan dengan puisi lirik.
·        Gaya mantra mulai tampak;
·        Gaya ulangan (paralelisme) mulai berkembang;
·        Gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya Angkatan 45; dan
·        Gaya slogan dan retorik makin berkembang (Pradopo, 1984:29).


Ciri-ciri Ekstra Estetik
·        Ada gambaran suasana muram karena puisi-puisi melukiskan hidup yang penuh penderitaan;
·        Puisi-puisi mengungkapkan masalah-masalah sosial seperti: kemiskinan, pengangguran, perbe-daan kaya dan miskin, belum adanya pemerataan kenikmatan hidup;
·         Banyak dikemukakan cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.

4. Wawasan Estetik Periode 1970-an—1990-an
Dengan munculnya penyair-penyair baru yang berbakat pada akhir 1960-an dan wal tahun 1970-an, timbullah periode sastra, khususnya puisi, yang mempunyai corak dan ciri tersebdiri. Para penyair muda menamakan dirinya Angkatan 70 atau juga Angkatan 80 (Rampan, 1987:18—22). Pada periode 1970-an –1990-an ini terbit kumpulan-kumpulan puisi, baik karya penyair yang muncul sebelum tahun 1970 maupun sesudahnya. Penyair-penyair periode 1955—1970 masih terus menulis juga dan menerbitkan kumpulannya pada periode 1970—1990 ini. Para penyair yang tergolong periode 1955—1970 yang masih aktif dan produktif menulis puisi adalah Subagio Sastrowardojo, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto, dan Darmanto Jatman.
Dengan terbitnya puisi-puisi karya penyair angkatan lama dan penyair baru yang memperkenalkan gaya baru, maka dalam periode 1970—1990 ini ada bermacam-macam ragam puisi. Para penyair baru yang muncul pada akhir tahun 1960 dan sesudah tahun 1970 adalah Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Tuti Herati, Kuntowijoyo, Sides Sudyarto DS, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Yudhistira Ardi Nugroho, F. Rahardi, Adri Darmadji Woko, Korrie Layun Rampan, Dami N. Toda, Mira Sato (Seno Gumira Adjidarma), BY Tand, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, Eka Budianta, Diah Hadaning, Afrizal Malna, Soni Farid Maulana, dan Acep Zam Zam Noer, serta Beni Setia. Di samping mereka masih ada puluhan, bahkan ratusan penyair mutakhir.

Ciri-ciri Struktur Estetik
·        Puisi bergaya mantra. Puisi ini mempergunakan sarana kepuitisan berupa ulangan kata, ulangan frase, atau ulangan baris-baris berupa paralelisme dikombinasikan dengan hiperbola dan enumerasi untuk mendapatkan efek sebanyak-banyaknya. Di samping itu, dieksploitasi tipografi yang sugestif. Juga dipergunakan kata-kata nonsense yang secara linguistik tidak berarti, seperti satuan bunyi tak berarti, kata-kata yang diputus-putus, dibalik suku katanya secara metatesis, diulang berkali-kali salah satu suku katanya. Semuanya itu untuk mendapatkan makna baru (creating of meaning); ciri-ciri seperti itu mengingatkan pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri;
·        Dipergunakan kata-kata daerah secara mencolok untuk memberi warna lokal dan ekspresivitas; ciri-ciri seperti ini tampak pada puisi-puisi Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG;
·        Mempergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapat-kan makna baru;
·        Puisi-puisi imajisme menggunakan teknik pengucapan tak langsung berupa kiasan-kiasan, gambaran angan, atau juga dipergunakan cerita kiasan (alegori dan parabel); ciri-ciri ini tampak pada puisi-puisi Geonawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, dan lain-lain;
·        Gaya penulisan yang prosais, ini berhubungan dengan gaya imajisme; contoh untuk ciri ini dapat dilihat pada puisi Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Linus Suryadi AG;
·        Puisi lugu mempergunakan teknik pengungkapan ide secara polos, dengan kata-kata serebral, kalimat-kalimat biasa atau polos. Pada 1970-an muncul puisi mbeling yang dipelopori oleh Remy Silado dan dalam perkembangan selanjutnya menjadi puisi lugu (Pradopo, 1984:31).

Ciri-ciri Ekstra Estetik
·        Puisi menggunakan kehidupan batin religius yang cenderung kepada mistik atau sufistik;
·        Cerita, lukisan yang bersifat alegoris atau parabel sangat banyak;
·        Puisi-puisi menuntut hak asasi manusia: kebebasan bicara, hidup merdeka, bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak, bebas dari pencemaran teknologi modern; dan
·        Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan (Pradopo, 1984: 32).

5. Wawasan Estetik Angkatan 2000
Pergeseran wawasan estetik periode ini ditandai oleh berubahnya struktur larik dan bait. Larik dan bait dalam puisi Chairil Anwar terikat dalam kesatuan sintaksis yang memolakan suatu bait. Meskipun baitnya hanya berisi satu larik, setiap baitnya merupakan satu kesatuan korespondensi yang selesai. Larik pada puisi-puisi Sutardji calzoum Bachri merupakan kumpulan enjambemen yang menghubungkan antarsintaksis—bahkan kadang antarkata—yang kemudian terhimpun di dalam bait yang—hampir selalu—tidak selesai. Selesaian bait biasanya diakhiri oleh suatu kejutan yang memberi sugesti tertentu, baik sugesti magis maupun sugesti psikologis yang berujung pada pertanyaan, berita, harapan, atau kengerian. Larik pada Afrizal Malna bersifat netral, karena puisi Afrizal sebenarnya tersusun dalam bait yang sesungguhnya nirbait. Puisi tidak pernah punya selesaian karena sajak dapat dibalik secara sungsang dan baitnya dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah. Larik sama fungsinya dan kedudukannya dengan bait, karena larik itu sendiri merupakan bait. Dengan revolusi tipografi semacam ini, Afrizal mengubah arus dasar plot pikiran dan tema yang mengalir dari awal larik hingga akhir bait ke arah komunikasi kata per kata di dalam sajak.
Revolusi tipografi ini membawa pembaruan pada kedudukan kata di dalam sajak. Chairil Anwar menempatkan kata yang komunikatif dari perasan sinar wahyu, sebagaimana yang dimaksudkan William Blake (17757—1827) tentang logos. Kata jadi terang bercahaya dan mumpuni dalam kedudukannya yang ningratis dan tanpa substitusi. Pribadi kata begitu kuat dan angker, bagaikan kharisma pahlawan. Sutardji menem-patkan kata dalam alegori puitik, di mana kata difungsikan dalam wujudnya yang asli tanpa beban pemaknaan simbolik atau metaforis. Kata tidak dinobatkan menjadi agung, tetapi muncul dalam suasana dan situasi purba. Kata pada Afrizal Malna dipilih dari lingkungan sehari-hari sehingga tercipta habitat keseharian yang memun-culkan sifat kerakyatjelataan dari kata itu sendiri. Kata-kata itu tampil dengan cerdas dan berwibawa, mencerminkan kecanggih-an sebuah dunia yang benar-benar modern. Modernisasi datang bukan dari pose luar dengan aksesori vocabuler dan hiperbolis, tetapi justru karena kesahajaannya mengangkat dirinya sendiri ke dalam kelas kualitas yang prima, tanpa dipercanggih, tetapi menjadi canggih secara alami.
Pembaruan terhadap pilihan dan kedudukan kata membawa pergeseran pada penempatan lirikus dari “aku lirik” kepada “benda-benda”. Afrizal Malna menggeser peran aku lirik kepada benda-benda yang menunjukkan bahwa muncul makna penting dari estetik aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan sederajat dengan kedudukan manusia. Pergeseran itu terasa membawa maknawi utuh seperti tampak dari beberapa baris yang mencerminkan kedudukan benda-benda, “lalu bapak menyusun dirinya kembali, dari body lotion, styling foam, dan pil strong of night: Indonesia raya! Sumpah Pemuda! Pembangunan! Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga, siih....” (“Kisah Cinta Tak Bersalah”). “Ada anak-anak menari, menyanyi, dalam novel yang lain. Mereka memakai tubuh ibunya sendiri. Dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain, antara masa lalu yang melepaskan sepatunya dalam sekolah:// Sitti, ilmu pengetahuan itu, seperti novel penuh batu, dia yang tak ada, dan semangka” (“Sitti Nurbaya Berlari-lari”).
Pemilihan Afrizal Malna kepada materi benda memper-lihatkan perbedaan yang mencolok dengan individualisme Chairil Anwar dan sifat esoterik Sutardji Calzoum Bachri. Biografi aku lirik pada Chairil mencerminkan pilihannya pada pemilahan terhadap habitat penyair yang menolak kehadiran habitat lainnya. Sutardji memang memasukkan benda-benda dan memfungsikan benda dalam katalogus puisi, tetapi karena sifat katanya yang bertujuan mendukung misteri atau mensugesti sifat-sifat arkhair, kata-kata itu berbeda fungsinya dalam estetik massal. Afrizal Malna dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dari interaksi massal, seperti diucapkan-nya sebagai kredo dalam Arsitektur Hujan, “Hiduplah orang-orang Lain Bersama Kita”. Dari kisan analogis “Pengantar Bersama Seorang dan Massa,” di buku itu Afrizal menunjukkan hubungan timbal balik antara “seseorang” dan “massa” dalam hubungan cerita sebuah kalung, “Saat mengenakan kalung itu, saya seperti mengenakan diri orang-orang lain pada leher saya. Saya bayangkan: Apakah melakukan sikat gigi setiap pagi dan sore, juga telah mengubah banyak hal pada tingkah laku saya. Ada identitas lain yang melapisi benda-benda di sekitar saya; seperti puisi lahir memperlihatkan adanya ikatan dan oposisi lain kemudian menyusun hubungan-hubungannya sendiri dalam ikatan ini. Walau masih sempat saya dengar di radio, berita kematian orang yang tidak saya kenal. Saya tahu kemudian saya telah berpikir bersama berbagai kejadian yang berlangsung di sekitar saya.... Dalam hubungan komunikasi seperti itu, ketika ada yang percaya bahwa dia adalah seseorang, saya segera melarikan diri ke tengah massa. Karena pada massa, saya bisa memenuhi identitas untuk tidak percaya saya hanya sebagai seseorang.”
Estetik massal ini merupakan penemuan Afrizal yang unik dalam sejarah sastra Indonesia, menunjukkan bahwa sumber keindahan itu memang berada di tengah massa. Karena itu, penyair ini menyatakan bahwa hal penting dari penciptaannya adalah menelusuri biografi teks, bukan biografi “aku lirik”. Biografi teks itu memperlihatkan perlainan dalam komunikasi verbal seperti yang dilakukan Chairil maupun Sutardji, karena Chairil dan Sutardji memilih menggunakan medium tradisional dalam sapaan wicara antarsubjek, meskipun terlepas dari imbangan manusiawi, yaitu menghidupkan benda-benda sebagai persona yang melahirkan sifat antropomorfisme.
Perubahan struktur tipografis membawa pembaruan pada komposisi yang dibangun dalam tanda-tanda dan penanda kompositoris. Estetika komposisi yang dibangun dalam pengaturan partisipasi benda-benda, peristiwa, pertanyaan, aku lirik, dan pikiran diaransemen didalam perfeksi yang sejajar dan objektif. Afrizal menyajikan bahan dan bentuk yang orisinal dalam tataran estetika Angkatan 2000 pada penciptaan aransemental, setelah ia berjuang melewati “Penyair Anwar” dan “Matahari Bachri” dalam Abad yang Berlari (1984) untuk sampai pada puisi-puisi instalatif yang kompositoris sebagaimana ditunjukkan oleh indeks dan sebagian puisi dalam Arsitektur Hujan (1995) seperti dua fragmen puisi berikut ini. “Harga cabe naik lagi, 1000 rupiah yang lalu. Berita-berita dari pemerintah jadi seragam penuh ancaman, bersama inflasi, dan tumpukan kredit bank. Siapa bermain di situ, dingin dan basah, penuh nyonya-nyonya mencukur kakinya di salon. Bicaranya seperti jam-jam tidurku yang berbusa.... (“Kesibukan Membakar Sampah”), “Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam kristal-kristal vitamin C, lembar-lembar fotocopy: Tolong cumi kering setengah kilo; Minyak goreng satu botol; bawang putih ....Dan tidur yang tersisa pada rambut seorang ibu, tiba-tiba melempar selimut: siapa yang telah menyusun pagi jadi seperti ini? Suaranya, seperti siaran berita yang menggebrak meja” (“Orang-orang Jam 7 Pagi”).
Perkayaan angkatan ini ditandai oleh meluas dan mendalamnya materi yang digarap para penyair, sehinga melahirkan wawasan estetik baru atau memperluas wawasan estetik yang telah ada, sehingga memperlihatkan pendalaman. Perkembangan yang menarik dari angkatan ini tampak dari perluasan dan pelebatan wawasan estetik Afrizalian. Pada puisi-puisi nirbait, pelebaran itu mencapai esensinyaa sebagai buah estetik baru pada Dorothea Rosa Herliany. Dengan pola terusan atau sungsang, puisi-puisi penyair ini mencapai kematangan dan klasisitas lewat bentukan nirbait yang konsisten, bahkan kadang tanpa enjambemen, sehingga mencirikan sebuah penemuan yang mempribadi. Dengan model kaleidoskop yang gerai puisi-puisi nirbait penyair ini meninggalkan benda-benda untuk memasuki peristiwa-peristiwa yang rawan, “kota pun terbakar gairah pertempuran, hutan-hitan/yang kabur, dan tari-tarian purba/cinta masih bersarang dalam jiwa yang meronta/dalam pintu luka yang menganga. Perihnya terangkum/dalam vas bunga, di atas meja taman/lalu cemas apa lagi yang akan datang....” (“Konser Matahari”).
Pergeseran estetik aku lirik kepada benda-benda diperluas oleh Agus R. Sarjono dengan menempatkan benda sebagai persona yang mandiri di dalam pemanusiaannya sebagai pribadi yang memiliki eksistensi sebagai manusia. Jika pada Afrizal Malna benda-benda berada pada posisi komunikan yang disuruh oleh komunikator untuk berbicara, maka pada puisi-puisi Agus benda-benda aitu menduduki posisi merdeka dan menyandang sifat antropomorfisme, sehingga masing-masing benda mampu hidup dan berkpmunikasi seperti layaknya manusia. Dalam sejumlah puisinya, misalnya dalam “Rendezvous” (bagian dari Kenduri Air Mata) memperlihatkan pengembangan estetik pemanusiaan benda-benda. “Kamu cantik, ucap padang golf pada bunga/rumput yang berayun diasuh angin. Bunga rumput/itu pun tertunduk. Dikenangkannya padian/sayur-mayur dan lenguh kerbau yang bergegas/pergi sebelum tiba pagi....” (“Rendezvous”), “Maukah kaudengar kisahku, rengek Boldozer/ sambil mencekal jalur-jalur pematang dan jemari sungai. Tidak/meskipun kami ingin. Kami sibuk. Lihatlah/ traktor-traktor dan surat keputusan dan pidato pengarahan/ telah tiba. Kami mesti berangkat sebelum terlambat/dan air mata menjadi jerat....” (“Pada Suatu Hari”).
Perkuatan dari pengucapan-pengucapan yang cerdas dan cerkas menunjukkan persambungan estetik referensial yang mempertaruhkan pengungkapan budaya lokal dan mancanegara untuk mencapai kepribadian keakuan puisi-puisi yang mandiri. Konvensi Chairil Anwar yang diperluas Goenawan Mohamad dan kemudian berkembang dari proses pembelajaran restoratif yang dinamik menghasilkan wacana-wacana kesemestaan yang membebaskan Barat dan Timur dari batas-batas geografis dan dunia pemikiran. Para penyair angkatan ini tanpa canggung mempertemukan berbagai unsur vital dari berbagai realitas yang menjadi trend pemikiran abad manusia zaman kita dan menyatakannya sambil dengan pengucapan estetik yang mencirikan penemuan zamannya. Dalam puisi-puisi itu, aku lirik bergeser menjadi aku massal yang mencerminkan peniadaan keakuan, sehingga puisi menjadi netral dalam pemberian tanda dan menyikapi penandaan dari lirik. Sementara keakuan yang masih dipertahankan mencerminkan peleburan dari elan vital individu kepada elan vital massa, benda, atau suatu idea. Puisi-puisi Arif B. Prasetyo, Cecep Syamsul Hari, Remmy Novaris D.M., Beni R. Budiman, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Dimas Arika Mihardja, Nenden Lilis A., Omi Intan naomi, Medy Lukito, Wowok Hesti Prabowo, Sitok Srengenge, Kusprihyanto Namma, Aslan A. Abidin, dan lain-lain menunjukkan sifat-sifat untuk pengucapan estetik yang demikian. Pergeseran dari aku lirik ke pengucapan epika memperlihatkan kuatnya arus kisah dari sifat lirik murni. Sajak-sajak Joko Pinurbo dan H.U. Mardiluhung menunjukkan penemuan estetika yang demikian, di mana tokoh dan peristiwa saling memperkuat dan memperebutkan posisi di dalam dramatisasi tragedi.
Pergeseran atavisme kepada pengucapan esoterik yang mencirikan warna lokal dieksploitasi secara menarik dengan inovasi baru sehingga mampu meniadakan sifat keasingan. Dengan membangun imaji-imaji tempat dan imaji-imaji budaya, serta berbagai peristiwa sakral, puisi-puisi warna lokal ini ke luar sebagai bagian estetik angkatan ini yang diucapkan dengan segar oleh Pieters Sombowadile, Iverdison Tinungki, Nurdin Supi, Putu Fajar Arcana, Tomy Tamara, I Wayan Arthawa, Tan Lioe Ie, dan lain-lain. Dalam puisi-puisi Oka Rusmini, warna lokal mencapai perluasan karena dibangun dari akar-akar tradisi yang mencerminkan kedudukan manusia di tengah alam dan budaya tempatan. Dunia esoterik tidak hadir dalam keterasingan, tetapi hadir secara meriah dan tajam karena ia tidak hanya menyajikan segi-segi eksotisme, tetapi justru menngasah kritik sosial yang mencerminkan kepedulian terhadap dunia nyata. Ia memperlihatkan perkembalian estetika Chairil Anwar yang membangun subjek atavisme di dalam rangkaian warna aku lirik, dengan memberi tambahan pada penting dan dilematisnya kedudukan wanita berkasta tinggi di tengah masyarakat yang sepenuhnya modern.
Hubungan yang menarik dibangun oleh Gus tf dalam tataran aku lirik dalaman yang menggeser aku lirik luaran Chairil Anwar. Dalam puisi-puisi penyair ini yang muncul adalah kehidupan dalam manusia dengan menampilkan paradoks-paradoks yang tajam lewat metafora yang menguatkan kebebasan imajinasi. Jika aku lirik pada Chairil Anwar merupakan wirawan kehidupan, aku lirik dalaman puisi-puisi Gus tf merupakan pelecut, bahkan tiran yang mencerminkan ironi bagi kehidupan dan penguasa. Dalam puisi “Mantel” ia amat jelas menunjukkan wawasan estetik aku lirik dalaman yang menunjukkan segi-segi pembaruan dari angkatan sebelumnya untuk terbentuknya angkatan sastra baru, bahwa “kutahu, kini, aku tak merantau lagi. Kata orang, rantauku/ada dalam diri. Tapi diriku, karena mantel itu, telah terkurung/seperti siput. Ingatkah kau dongeng si baju besi? Begitulah aku,/kata orang, pelan-pelan jadi tirani; walau untuk diri sendiri...”.
Ikhtisar sejarah puisi Indonesia modern yang telah dikemukakan, setidak-tidaknya menunjukkan hal penting. Pertama, estetika puisi Indonesia modern selalu mengalami perkembangan yang cukup dinamis. Kedua, dalam dinamika perkembangan estetika puisi Indonesia modern dari periode awal hingga perkembangan yang mutakhir tercatat tiga tonggak prestasi yang pernah digapai oleh penyair, yakni estetika Chairil Anwar, Sutardji calzoum Bachri, dan Afrizal malna beserta rombongan penyair lain yang secara umum dapat dikelompokkan ke dalam estetika mereka bertiga—tentu dengan keunikan, pergeseran, dan perkembangannya sendiri. Ketiga, sebagai sebuah ikhtisar, sejarah puisi Indonesia modern masih perlu terus digali oleh para mahasiswa sebagai bahan studi yang tidak pernah habis-habisnya. Keempat, dari ikhtisar ini mahasiswa dapat tergugah untuk lebih jauh menjelajah dengan cara mencari antologi puisi dari periode ke periode berikutnya, membaca dengan intensif, dan menemukan kebenaran sejarah dengan kerja keras dan keringat sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar