Sejarah perpuisian mencatat, puisi Indonesia modern yang pertama ditulis adalah puisi berjudul “Tanah Air” karya Mohamad Yamin, dimuat dalam Jong Sumatera No. 4, Tahun III, April 1920. Karya Mohamad Yamin itu sesungguhnya merupakan respon terhadap karya sebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983:65), baik berupa tanggapan baru maupun penyambutan yang bersifat penerusan konvensi sebelumnya, tetapi sekaligus juga sering menyimpangi konvensi yang telah ada atau pun norma puisi sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa puisi tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Demikian juga puisi itu merupakan tegangan antara konvensi dan inovasi (Teeuw, 1983:4, 11).
Sebelum Mohamad Yamin menulis “Tanah Air” itu, di Indonesia sudah ada sastra Melayu lama, khususnya puisi Melayu lama yang ragam utamanya berupa pantun dan syair yang merupakan puisi tradisional atau konvensional. Mohamad Yamin merespon pantun dan syair ini, menyimpangi norma-norma yang tradisional atau konvensional. Akan tetapi, ia juga meneruskan sebagian konvensi puisi lama dalam puisi-puisinya. Kemudian, jejak langkah Mohamad Yamin ini diikuti oleh penyair-penyair sezamannya. Akhirnya kelompok penyair sezaman Mohamad Yamin dengan karya-karyanya itu membentuk sebuah angkatan sastra yang dikenal dengan nama Angkatan Pujangga Baru. Nantinya puisi Pujangga Baru itu akan direspon oleh penyair-penyair periode sesudahnya dengan karya-karya puisinya.
Persambungan sejarah puisi dari periode ke periode selanjutnya menunjukkan ciri-ciri tertentu sesuai dengan periodenya. Hal ini sesuai dengan pengertian sejarah sastra sendiri, yaitu studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra dari sejak lahirnya sampai pada perkembangannya yang mutakhir (Wellek, 1968:25; Pradopo, 1988:12). Sejarah sastra tidak lepas dari masalah periodisasi (pembabakan waktu) untuk menunjukkan perkemmbangan sastra dari periode ke periode. Periode adalah bagian waktu yang dikuasai oleh norma-norma sastra dan konvensi-konvensi sastra, yang munculnya, meluasnya, variasi, integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut (Wellek, 1968:265).
Periodisasi Puisi Indonesia Modern
Kapankah lahirnya puisi Indonesia modern? Pada umum-nya, sampai sekarang yang dianggap sebagai tahun lahirnya sastra Indonesia modern, termasuk puisi, adalah tahun 1920. Pada tahun itu pertama kali ditulis puisi Indonesia modern oleh Mohamad Yamin berjudul “Tanah Air” kemudian disusul oleh puisi-puisi penyair lain. Pada tahun 1920-an berkembang puisi Indonesia modern dengan penyair yang terkemuka Mohamad Yamin, Sanusi Pane, dan Rustam Effendi. Pada tahun 1920-an itu telah terbit kumpulan puisi Tanah Air (1922) dan Indonesia Tanah Tumpah Darahku (1929) karya Mohamad Yamin, Percikan Permenungan (1926) karya Rustam Effendi, dan Puspa Mega (1927) karya Sanusi Pane (Jassin, 1963).
Apakah yang direspon oleh Mohamad Yamin dan penyair-penyair seangkatan? Pertama, Yamin menyim-pangi konvensi penulisan puisi lama yang pada umumnya berlarik 4 pada tiap baitnya. Kedua, bahkan ini yang utama, dalam puisi karya Mohamad Yamin dipancarkan perasaan pribadi yang individual. Perasaan pribadi individual seorang penyair itu belum pernah terdapat dalam puisi lama (Teeuw, 1955:72). Dipandang dari kedua ciri itu dapat dikatakan bahwa puisi Mohamad Yamin tergolong revolusioner. Demikian juga aturan-aturan persajakan akhir puisi lama disimpangi oleh puisi Mohamad Yamin dan puisi-puisi penyair Indonesia modern seangkat-annya yang lain, seperti tampak pada puisi Rustam Effendi yang ‘revolusioner’ ini.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi,
Pandai menggubah madahan syair,
Bukan beta budak negeri,
Mesti menurut undangan mair.
Sarat saraf saya mungkiri,
Untaian rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Puisi ini merupakan gabungan pantun pada pula sajak akhirnya dan syair pada isinya yang meliputi keempat barisnya. Sejak itu, puisi Indonesia selalu berkembang sampai sekarang. Dalam kurun waktu 1920-an hingga kini telah berkembang ciri-ciri dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perlulah dikemukakan periodisasi dalam sejarah puisi Indonesia modern. Berikut ini dikemukakan periodisasi sejarah puisi Indonesia dalam bentuk ikhtisar.
Periode 1920-an—1940-an (Pujangga Baru)
Pada periode 1920—1942 bermunculan penyair Indonesia modern Angkatan Pujangga Baru. Pada waktu sekarang sebagian besar puisi mereka telah diinven-tarisasikan dengan judul Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20—an hingga Tahun 40-an (Badudu, dkk., 1984:73—977). Dalam buku itu dicatat 134 penyair beserta puisi-puisi yang diciptakannya. Di antaranya yang terkenal: Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn pane, Rustam Effendi, M. Yamin, J.E. Tatengkeng, A. Hasjmy, Rivai Ali, dan Samadi. Mereka telah menerbitkan buku kumpulan puisi. Penyair lain yang terkenal ialah Asmara Hadi, M.R. Dayoh, Intojo, Or. Madank, A.M. Daeng Mijala, dan S. Yudho.
Di antara kumpulan puisi yang terkenal ialah Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu (Amir Hamzah), Madah Kelana dan Puspa Mega (Sanusi Pane), Tebaran Mega (Sutan Takdir Alisjahbana), Gamelan Jiwa (Armijn Pane), Rindu Dendam (J.E. Tatengkeng), Indonesia Tumpah Darahku (M. Yamin), Percikan Permenungan (Rustam Effendi), Senandung Hidup (Samadi), Kata Hati (Rivai Ali), dan Kisah Seorang Pengembara (A. Hasjmy).
(1) Ciri-ciri Struktur Estetik
Tergolong puisi baru, bukan pantun dan syair lagi; ada jenis balada dan soneta, bentuknya teratur rapi;
Pilihan kata-katanya diwarnai dengan “kata-kata nan indah”, mempunyai persajakan akhir; Bahasa kiasan utama ialah perbandingan, banyak menggunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola lain;
Sebagian besar puisi empat seuntai, bentuknya simetris; Tiap-tiap barisnya terdiri atas dua periodus dan terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis); Tiap gatranya pada umumnya terdiri atas dua kata; Gaya ekspresinya beraliran romantik tampak dalam gaya pengucapan perasaan, pelukisan alam indah; Gaya puisi Pujangga Baru diafan atau polos, tidak memakai kata-kata kiasan yang bermakna ganda, kata-katanya serebral, hubungan kalimat-kalimatnya jelas.
Perlu diberi catatan bahwa ciri-ciri formal itu merupakan kelanjutan bentuk formal dan struktur puisi lama meskipun ada perubahan-perubahan sedikit, misalnya pola persajakan akhirnya yang lebih bervariasi daripada pola sajak Melayu lama yang hanya a—b—a--b dan aaaa, begitu juga dua periodus dalam tiap barisnya yang kadang juga divariasi dengan menjadikannya dua baris dari satu baris dengan masing-masing satu periodus terdiri atas dua kata. Jadi, di samping puisi Pujangga Baru menyimpangi konvensi lama seperti pantun dan syair, juga masih meneruskan sebagian konvensinya.
Pujangga Baru mengikuti aliran romantik Gerakan 80-an dari Belanda (Jassin, 1963:29—31). Aliran romantik itu berpengaruh dalam struktur dan ragam puisi-puisinya, pemilihan objek-objek, masalah-masalah, serta muatan perasaan. Aliran romantik tampak dalam gaya pengucap-an perasaan, pelukisan alam yang indah.
(2) Ciri Ekstrinsik/Ekstra Estetik
Masalahnya bersangkut-paut dengan kehidupan masyarakat kota, seperti masalah percintaan, masalah individu manusia, dan sebagainya; Ide nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mengisi puisi-puisi Pujangga Baru; Ide keagamaan menonjol; Curahan perasaan atau curahan jiwa tampak kuat: kegem-biraan, kesedihan, kekecewaan, dan sebagainya; Sifat didaktis masih tampak kuat.
2. Periode 1940-an—1950-an (Angkatan 45)
Puisi Angkatan 45 merupakan respon kepada puisi Pujangga Baru. Bila puisi Pujangga Baru beraliran romantik yang pada umumnya mengutamakan curahan perasaan, idealisme, cita-cita yang idealistis, maka puisi Angkatan 45 beraliran realisme yang mengutamakan penggambaran kehidupan secara nyata. Di dalamnya tergambar kehidupan sehari-hari yang dapat dialami secara nyata. Di samping itu, Angkatan 45 mengikuti aliran ekspresionisme dalam gaya pengucapannya (Jassin, 1985:5--30). Semua itu berpengeruh dalam gaya ekspresi struktur estetik dan pemilihan masalahnya.
Puisi-puisi Angkatan 45 dapat dipandang sebagai reaksi atau respon terhadap puisi-puisi Pujangga Baru. Puisi-puisi Angkatan 45 sering disebut puisi bebas, tidak terikat pada jumlah baris, persajakan, dan periodisasi. Di samping itu, juga tidak dipergunakan diksi kata-kata nan indah, tidak mengutamakan gaya curahan perasaan. Gayanya lebih bersifat pernyataan pikiran.
Puisi-puisi karya penyair Angkatan 45 diantologi-kan oleh H.B. Jassin dalam Gema Tanah Air (1948), Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948). Dalam Gema Tanah Air puisi-puisi penyair Angkatan 45 dibuat peringkat berdasarkan kedekatan dan penyimpangannya dari puisi-puisi Pujangga Baru. Dalam Kesu-sastraan Indonesia di Masa Jepang ada 9 penyair: Rosihan Anwar, Usmar Ismail, B.H. Lubis, Amal hamzah, Chairil Anwar, Nursjamsu, Anas Ma’ruf, Maria Amin, dan Bung Usman. Di antara mereka puisi-puisinya dimuat dalam Gema Tanah Air, kecuali B.H. Lubis, Rosihan Anwar, Maria Amin, Nursjamsu, dan Bung Usman. Pada tahun 1968, Gema Tanah Air dijadikan dua jilid dengan tambahan penyair diantaranya Siti Nuraini, Harijadi S.Hartowardojo, Toto Sudarto Bachtiar (kumpulan puisinya Etsa dan Suara), Mohamad Ali, dan P. Sengojo.
Penyair yang dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 adalah Chairil Anwar dengan kumpulan puisinya Deru campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan yang Putus (1951), kumpulannya bersama Asrul Sani dan Rivai Apin adalah Tiga Menguak Takdir (1950). Selain ketiga penyair itu, yang produktif di antaranya adalah Mahatmanto, Toto Sudarto bachtiar, Harijadi S. Hartowardojo, Siti Nuraini, dan Mohamad Ali. Selain itu ada Sitor Situmorang dengan kumpulan puisinya Peta Perjalanan, Dinding Waktu, dan Angin Danau.
Puisi Angkatan 45 pada umumnya mencari bahan-bahan sekitar masalah perang, masalah kemanusiaan menjadi menonjol dalam arti, orang ingin merdeka terbebas dari penjajahan, bebas dari kekejaman perang yang membuat penderitaan manusia. Sesudah selesai perang kemerdekaan, situasi menjadi berubah, orang-orang mulai memikirkan masyarakat dan keberadaan kebudayaan bangsaa. Dengan demikian, para sastrawaan pun sebagai anggota masyarakat dan bangsaa tidak terlepas dari masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Semuanya itu dituangkan ke dalam puisi-puisinya.
(1) Ciri-ciri Struktur Estetik
Puisinya puisi bebas, tidak terikat bait, jumlah baris, dan persajakan; Gaya ekspresionisme; Aliran dan gaya realisme; Pilihan kata sarana penting untuk mencerminkan pengalaman batin yang dalam dan untuk intensitas arti, mempergunakan kosa kata bahasa sehari-hari sesuai dengan aliran realisme; Bahasa kiasan yang dominan metafora dan simbolik; kata-kata, frase, kalimat-kalimat ambigu menyebabkan arti ganda; Sesuai dengan ciri (5) gaya puisinya prismatis dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-baris puisi dan kalimat-kalimat-nya implisit; Gaya pernyataan pikiran berkembang; dan Gaya ironi dan sinisme menonjol (Pradopo, 1984:26).
(2) Ciri-ciri Ekstra Estetik
Individualisme menonjol, dalam arti, kesadaran kepada keberadaan diri pribadi terpancar dengan kuat; Puisi mengekspresikan kehidupan batin/kejiwaan manusia lewat peneropongan batin sendiri; Puisi mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme universal) dengan jelas, seperti tentang kesengsaraan hidup, hak-hak asasi manusia; Masalah kemasyarakatan menonjol: dikemukakan kepincangan dalam masyarakat, seperti gambaran perbedaan yang mencolok antara golongan kaya dan miskin; Filsafat eksistensialisme mulai dikenal, lebih-lebih tampak dalam puisi-puisi sesudah tahun 1950-an (Pradopo, 1984:27); aspek-aspeknya tampak seperti paham hedonisme, absurditas kehidupan, nihilisme, dan kefanaan hidup yang membuat hidup jadi sia-sia.
3. Periode 50-an—60-an (Angkatan 66)
Periode 50-an—60-an pada dasarnya masih meneruskan konvensi Angkatan 45. Para penyair yang menulis sesudah tahun 1950 dan pertengahan 1950-an di antaranya adalah Kirdjomuljo, Subagio Sastrowardojo, W.S. Rendra, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Hartojo Andangdjaja. Para penyair yang mulai muncul dan terkenal sesudah tahun 1960 di antaranya Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Piek Ardijanto Soeprijadi, Darmanto Jatman, M. Poppy Hutagalung, Saini KM, Isma Sawitri.
Kumpulan puisi yang penting pada periode ini ialah Etsa dan Suara karya Toto Sudarto bachtiar. Toto oleh Jassin digolongkan penyair, tetapi menilik ciri-cirinya lebih dekat pada periode 1955—1960. Kumpulan puisi Ajip Rosidi: Pesta (1957), Cari Muatan (1959), dan Surat Cinta Enday Rasidin (1960). Kumpulan puisi W.S. Rendra: Balada orang-orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1964), Sajak-sajak Sepatu Tua (1970), Blues untuk Bonie (1971). Kumpulan puisi Subagio Sastrowardojo: Simponi (1957) Daerah Perbatasan (1970). Kumpulan puisi Kirdjomuljo: Romansa Perjalanan I (1951). Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono Dukamu Abadi (1968).
(1) Ciri Struktur Estetik
Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembang-nya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih ‘sederhana’ dibandingkan dengan puisi lirik. Gaya mantra mulai tampak; Gaya ulangan (paralelisme) mulai berkembang; Gaya puisi liris pada umumnya masih menerus-kan gaya Angkatan 45; dan Gaya slogan dan retorik makin berkembang (Pradopo, 1984:29).
(2) Ciri-ciri Ekstra Estetik
Ada gambaran suasana muram karena puisi-puisi melukiskan hidup yang penuh penderitaan; Puisi-puisi mengungkapkan masalah-masalah sosial seperti: kemiskinan, pengangguran, perbe-daan kaya dan miskin, belum adanya pemerataan kenikmatan hidup; Banyak dikemukakan cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.
4. Periode 1970-an—1990-an
Dengan munculnya penyair-penyair baru yang berbakat pada akhir 1960-an dan wal tahun 1970-an, timbullah periode sastra, khususnya puisi, yang mempunyai corak dan ciri tersebdiri. Para penyair muda menamakan dirinya Angkatan 70 atau juga Angkatan 80 (Rampan, 1987:18—22). Pada periode 1970-an –1990-an ini terbit kumpulan-kumpulan puisi, baik karya penyair yang muncul sebelum tahun 1970 maupun sesudahnya. Penyair-penyair periode 1955—1970 masih terus menulis juga dan menerbitkan kumpulannya pada periode 1970—1990 ini. Para penyair yang tergolong periode 1955—1970 yang masih aktif dan produktif menulis puisi adalah Subagio Sastrowardojo, Ajip Rosidi, W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Slamet Sukirnanto, dan Darmanto Jatman.
Dengan terbitnya puisi-puisi karya penyair angkatan lama dan penyair baru yang memperkenalkan gaya baru, maka dalam periode 1970—1990 ini ada bermacam-macam ragam puisi. Para penyair baru yang muncul pada akhir tahun 1960 dan sesudah tahun 1970 adalah Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Tuti Herati, Kuntowijoyo, Sides Sudyarto DS, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Yudhistira Ardi Nugroho, F. Rahardi, Adri Darmadji Woko, Korrie Layun Rampan, Dami N. Toda, Mira Sato (Seno Gumira Adjidarma), BY Tand, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, Eka Budianta, Diah hadaning, Afrizal malna, Soni farid maulana, dan Acep Zam zam Noer, serta Beni Setia. Di samping mereka masih ada puluhan, bahkan ratusan penyair mutakhir.
Ciri-ciri Struktur Estetik
Puisi bergaya mantra. Puisi ini mempergunakan sarana kepuitisan berupa ulangan kata, ulangan frase, atau ulangan baris-baris berupa paralelisme dikombinasikan dengan hiper-bola dan enumerasi untuk mendapatkan efek sebanyak-banyaknya. Di samping itu, dieksploitasi tipografi yang sugestif. Juga dipergunakan kata-kata nonsense yang secara linguistik tidak berarti, seperti satuan bunyi tak berarti, kata-kata yang diputus-putus, dibalik suku katanya secara metatesis, diulang berkali-kali salah satu suku katanya. Semuanya itu untuk mendapatkan makna baru (creating of meaning); ciri-ciri seperti itu mengingatkan pada puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri.
Dipergunakan kata-kata daerah secara mencolok untuk memberi warna lokal dan ekspresivitas; ciri-ciri seperti ini tampak pada puisi-puisi Darmanto Jatman dan Linus Suryadi AG; Mempergunakan asosiasi-asosiasi bunyi untuk mendapatkan makna baru; Puisi-puisi imajisme menggunakan teknik peng-ucapan tak langsung berupa kiasan-kiasan, gambaran angan, atau juga dipergunakan cerita kiasan (alegori dan parabel); ciri-ciri ini tampak pada puisi-puisi Geonawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, dan lain-lain; Gaya penulisan yang prosais, ini berhubungan dengan gaya imajisme; contoh untuk ciri ini dapat dilihat pada puisi Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Linus Suryadi AG; Puisi lugu mempergunakan teknik pengungkapan ide secara polos, dengan kata-kata serebral, kalimat-kalimat biasa atau polos. Pada 1970-an muncul puisi mbeling yang dipelopori oleh Remy Silado dan dalam perkembangan selanjutnya menjadi puisi lugu (Pradopo, 1984:31).
Ciri-ciri Ekstra Estetik
Puisi menggunakan kehidupan batin religius yang cenderung kepada mistik atau sufistik; Cerita, lukisan yang bersifat alegoris atau parabel sangat banyak; Puisi-puisi menuntut hak asasi manusia: kebebasan bicara, hidup merdeka, bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak, bebas dari pencemaran teknologi modern; dan Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan-penyelewengan (Pradopo, 1984: 32).
5. Wawasan Estetik Angkatan 2000
Pergeseran wawasan estetik periode ini ditandai oleh berubahnya struktur larik dan bait. Larik dan bait dalam puisi Chairil Anwar terikat dalam kesatuan sintaksis yang memolakan suatu bait. Meskipun baitnya hanya berisi satu larik, setiap baitnya merupakan satu kesatuan korespondensi yang selesai. Larik pada puisi-puisi Sutardji calzoum Bachri merupakan kumpulan enjambemen yang menghubungkan antarsintaksis—bahkan kadang antarkata—yang kemudian terhimpun di dalam bait yang—hampir selalu—tidak selesai. Selesaian bait biasanya diakhiri oleh suatu kejutan yang memberi sugesti tertentu, baik sugesti magis maupun sugesti psikologis yang berujung pada pertanyaan, berita, harapan, atau kenngerian. Larik pada Afrizal Malna bersifat netral, karena puisi Afrizal sebenarnya tersusun dalam bait yang sesungguhnya nirbait. Puisi tidak pernah punya selesaian karena sajak dapat dibalik secara sungsang dan baitnya dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah. Larik sama fungsinya dan kedudukannya dengan bait, karena larik itu sendiri merupakan bait. Dengan revolusi tipografi semacam ini, Afrizal mengubah arus dasar plot pikiran dan tema yang mengalir dari awal larik hingga akhir bait ke arah komunikasi kata per kata di dalam sajak.
Revolusi tipografi ini membawa pembaruan pada kedudukan kata di dalam sajak. Chairil Anwar menempatkan kata yang komunikatif dari perasan sinar wahyu, sebagaimana yang dimaksudkan William Blkake (17757—1827) tentang logos. Kata jadi terang bercahaya dan mumpuni dalam kedudukannya yang ningratis dan tanpa substitusi. Pribadi kata begitu kuat dan angker, bagaikan kharisma pahlawan. Sutardji menempatkan kata dalam alegori puitik, di mana kata difungsikan dalam wujudnya yang asli tanpa beban pemaknaan simbolik atau metaforis. Kata tidak dinobatkan menjadi agung, tetapi muncul dalam suasana dan situasi purba. Kata pada Afrizal Malna dipilih dari lingkungan sehari-hari sehingga tercipta habitat keseharian yang memun-culkan sifat kerakyatjelataan dari kataa itu sendiri. Kata-kata itu tampil dengan cerdas dan berwibawa, mencerminkan kecanggih-an sebuah dunia yang benar-benar modern. Modernisasi datang bukan dari pose luar dengan aksesori vocabuler dan hiperbolis, tetapi justru karena kesahajaannya mengangkat dirinya sendiri ke dalam kelas kualitas yang prima, tanpa dipercanggih, tetapi menjadi canggih secara alami.
Pembaruan terhadap pilihan dan kedudukan kata membawa pergeseran pada penempatan lirikus dari “aku lirik” kepada “benda-benda”. Afrizal Malna menggeser peran aku lirik kepada benda-benda yang menunjukkan bahwa muncul makna penting dari estetik aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan sederajat dengan kedudukan manusia. Pergeseran itu terasa membawa maknawi utuh seperti tampak dari beberapa baris yang mencerminkan kedudukan benda-benda, “lalu bapak menyusun dirinya kembali, dari body lotion, styling foam, dan pil strong of night: Indonesia raya! Sumpah Pemuda! Pembangunan! Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga, siih....” (“Kisah Cinta Tak Bersalah”). “Ada anak-anak menari, menyanyi, dalam novel yang lain. Mereka memakai tubuh ibunya sendiri. Dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain, antara masa lalu yang melepaskan sepatunya dalam sekolah:// Sitti, ilmu pengetahuan itu, seperti novel penuh batu, dia yang tak ada, dan semangka” (“Sitti Nurbaya Berlari-lari”).
Pemilihan Afrizal Malna kepada materi benda memper-lihatkan perbedaan yang mencolok dengan individualisme Chairil Anwar dan sifat esoterik Sutardji calzoum bachri. Biografi aku lirik pada Chairil mencerminkan pilihannya pada pemilahan terhadap habitat penyair yang menolak kehadiran habitat lainnya. Sutardji memang memasukkan benda-benda dan memfungsikan benda dalam katalogus puisi, tetapi karena sifat katanya yang bertujuan mendukung misteri atau mensugesti sifat-sifat arkhair, kata-kata itu berbeda fungsinya dalam estetik massal. Afrizal Malna dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dari interaksi massal, seperti diucapkan-nya sebagai kredo dalam Arsitektur Hujan, “Hiduplah orang-orang Lain Bersama Kita”. Dari kisan analogis “Pengantar Bersama Seorang dan Massa,” di buku itu Afrizal menunjukkan hubungan timbal balik antara “seseorang” dan “massa” dalam hubungan cerita sebuah kalung, “Saat mengenakan kalung itu, saya seperti mengenakan diri orang-orang lain pada leher saya. Saya bayangkan: Apakah melakukan sikat gigi setiap pagi dan sore, juga telah mengubah banyak hal pada tingkah laku saya. Ada identitas lain yang melapisi benda-benda di sekitar saya; seperti puisi lahir memperlihatkan adanya ikatan dan oposisi lain kemudian menyusun hubungan-hubungannya sendiri dalam ikatan ini. Walau masih sempat saya dengar di radio, berita kematian orang yang tidak saya kenal. Saya tahu kemudian saya telah berpikir bersama berbagai kejadian yang berlangsung di sekitar saya.... Dalam hubungan komunikasi seperti itu, ketika ada yang percaya bahwa dia adalah seseorang, saya segera melarikan diri ke tengah massa. Karena pada massa, saya bisa memenuhi identitas untuk tidak percaya saya hanya sebagai seseorang.”
Estetik massal ini merupakan penemuan Afrizal yang unik dalam sejarah sastra Indonesia, menunjukkan bahwa sumber keindahan itu memang berada di tengah massa. Karena itu, penyair ini menyatakan bahwa hal penting dari penciptaannya adalah menelusuri biografi teks, bukan biografi “aku lirik”. Biografi teks itu memperlihatkan perlainan dalam komunikasi verbal seperti yang dilakukan Chairil maupun Sutardji, karena Chairil dan Sutardji memilih menggunakan medium tradisional dalam sapaan wicara antarsubjek, meskipun terlepas dari imbangan manusiawi, yaitu menghidupkan benda-benda sebagai persona yang melahirkan sifat antropomorfisme.
Perubahan struktur tipografis membawa pembaru-an pada komposisi yang dibangun dalam tanda-tanda dan penanda kompositoris. Estetika komposisi yang dibangun dalam pengaturan partisipasi benda-benda, peristiwa, pertanyaan, aku lirik, dan pikiran diaransemen didalam perfeksi yang sejajar dan objektif. Afrizal menyajikan bahan dan bentuk yang orisinal dalam tataran estetika Angkatan 2000 pada penciptaan aransemental, setelah ia berjuang melewati “Penyair Anwar” dan “Matahari Bachri” dalam Abad yang Berlari (1984) untuk sampai pada puisi-puisi instalatif yang kompositoris sebagaimana ditunjukkan oleh indeks dan sebagian puisi dalam Arsitektur Hujan (1995) seperti dua fragmen puisi berikut ini. “Harga cabe naik lagi, 1000 rupiah yang lalu. Berita-berita dari pemerintah jadi seragam penuh ancaman, bersama inflasi, dan tumpukan kredit bank. Siapa bermain di situ, dingin dan basah, penuh nyonya-nyonya mencukur kakinya di salon. Bicaranya seperti jam-jam tidurku yang berbusa.... (“Kesibukan Membakar Sampah”), “Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam kristal-kristal vitamin C, lembar-lembar fotocopy: Tolong cumi kering setengah kilo; Minyak goreng satu botol; bawang putih ....Dan tidur yang tersisa pada rambut seorang ibu, tiba-tiba melempar selimut: siapa yang telah menyusun pagi jadi seperti ini? Suaranya, seperti siaran berita yang menggebrak meja” (“Orang-orang Jam 7 Pagi”).
Perkayaan angkatan ini ditandai oleh meluas dan mendalamnya materi yang digarap para penyair, sehinga melahirkan wawasan estetik baru atau memperluas wawasan estetik yang telah ada, sehingga memperlihatkan pendalaman. Perkembangan yang menarik dari angkatan ini tampak dari perluasan dan pelebatan wawasan estetik Afrizalian. Pada puisi-puisi nirbait, pelebaran itu mencapai esensinyaa sebagai buah estetik baru pada Dorothea Rosa Herliany. Dengan pola terusan atau sungsang, puisi-puisi penyair ini mencapai kematangan dan klasisitas lewat bentukan nirbait yang konsisten, bahkan kadang tanpa enjambemen, sehingga mencirikan sebuah penemuan yang mempribadi. Dengan model kaleidoskop yang gerai puisi-puisi nirbait penyair ini meninggalkan benda-benda untuk memasuki peristiwa-peristiwa yang rawan, “kota pun terbakar gairah pertempuran, hutan-hitan/yang kabur, dan tari-tarian purba/cinta masih bersarang dalam jiwa yang meronta/dalam pintu luka yang menganga. Perihnya terangkum/dalam vas bunga, di atas meja taman/lalu cemas apa lagi yang akan datang....” (“Konser Matahari”).
Pergeseran estetik aku lirik kepada benda-benda diperluas oleh Agus R. Sarjono dengan menempatkan benda sebagai persona yang mandiri di dalam pemanusiaannya sebagai pribadi yang memiliki eksistensi sebagai manusia. Jika pada Afrizal Malna benda-benda berada pada posisi komunikan yang disuruh oleh komunikator untuk berbicara, maka pada puisi-puisi Agus benda-benda aitu menduduki posisi merdeka dan menyandang sifat antropomorfisme, sehingga masing-masing benda mampu hidup dan berkpmunikasi seperti layaknya manusia. Dalam sejumlah puisinya, misalnya dalam “Rendezvous” (bagian dari Kenduri Air Mata) memperlihatkan pengembangan estetik pemanusiaan benda-benda. “Kamu cantik, ucap padang golf pada bunga/rumput yang berayun diasuh angin. Bunga rumput/itu pun tertunduk. Dikenangkannya padian/sayur-mayur dan lenguh kerbau yang bergegas/pergi sebelum tiba pagi....” (“Rendezvous”), “Maukah kaudengar kisahku, rengek Boldozer/sambil mencekal jalur-jalur pematang dan jemari sungai. Tidak/meskipun kami ingin. Kami sibuk. Lihatlah/ traktor-traktor dan surat keputusan dan pidato pengarahan/ telah tiba. Kami mesti berangkat sebelum terlambat/dan air mata menjadi jerat....” (“Pada Suatu Hari”).
Perkuatan dari pengucapan-pengucapan yang cerdas dan cerkas menunjukkan persambungan estetik referensial yang mempertaruhkan pengungkapan budaya lokal dan mancanegara untuk mencapai kepribadian keakuan puisi-puisi yang mandiri. Konvensi Chairil Anwar yang diperluas Goenawan Mohamad dan kemudian berkembang dari proses pembelajaran restoratif yang dinamik menghasilkan wacana-wacana kesemestaan yang membe-baskan Barat dan Timur dari batas-batas geografis dan dunia pemikiran. Para penyair angkatan ini tanpa canggung mempertemukan berbagai unsur vital dari berbagai realitas yang menjadi trend pemikiran abad manusia zaman kita dan menyatakannya sambil dengan pengucapan estetik yang mencirikan penemuan zaman-nya. Dalam puisi-puisi itu, aku lirik bergeser menjadi aku massal yang mencerminkan peniadaan keakuan, sehingga puisi menjadi netral dalam pemberian tanda dan menyikapi penandaan dari lirik. Sementara keakuan yang masih dipertahankan mencerminkan peleburan dari elan vital individu kepada elan vital massa, benda, atau suatu idea. Puisi-puisi Arif B. Prasetyo, Cecep Syamsul Hari, Remmy Novaris D.M., Beni R. Budiman, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Dimas Arika Mihardja, Nenden Lilis A., Omi Intan naomi, Medy Lukito, Wowok Hesti Prabowo, Sitok Srengenge, Kusprihyanto Namma, Aslan A. Abidin, dan lain-lain menunjukkan sifat-sifat untuk pengucapan estetik yang demikian. Pergeseran dari aku lirik ke pengucapan epika memperlihatkan kuatnya arus kisah dari sifat lirik murni. Sajak-sajak Joko Pinurbo dan H.U. Mardiluhung menunjukkan penemuan estetika yang demikian, di mana tokoh dan peristiwa saling memperkuat dan memperebut-kan posisi di dalam dramatisasi tragedi.
Pergeseran atavisme kepada pengucapan esoterik yang mencirikan warna lokal dieksploitasi secara menarik dengan inovasi baru sehingga mampu meniadakan sifat keasingan. Dengan membangun imaji-imaji tempat dan imaji-imaji budaya, serta berbagai peristiwa sakral, puisi-puisi warna lokal ini ke luar sebagai bagian estetik angkatan ini yang diucapkan dengan segar oleh Pieters Sombowadile, Iverdison Tinungki, Nurdin Supi, Putu Fajar Arcana, Tomy Tamara, I Wayan Arthawa, Tan Lioe Ie, dan lain-lain. Dalam puisi-puisi Oka Rusmini, warna lokal mencapai perluasan karena dibangun dari akar-akar tradisi yang mencerminkan kedudukan manusia di tengah alam dan budaya tempatan. Dunia esoterik tidak hadir dalam keterasingan, tetapi hadir secara meriah dan tajam karena ia tidak hanya menyajikan segi-segi eksotisme, tetapi justru menngasah kritik sosial yang mencerminkan kepedulian terhadap dunia nyata. Ia memper-lihatkan perkembalian estetika Chairil Anwar yang mem-bangun subjek atavisme di dalam rangkaian warna aku lirik, dengan memberi tambahan pada penting dan dilematis-nya kedudukan wanita berkasta tinggi di tengah masyarakat yang sepenuhnya modern.
Hubungan yang menarik dibangun oleh Gus tf dalam tataran aku lirik dalaman yang menggeser aku lirik luaran Chairil Anwar. Dalam puisi-puisi penyair ini yang muncul adalah kehidupan dalam manusia dengan menampilkan paradoks-paradoks yang tajam lewat metafora yang menguatkan kebebasan imajinasi. Jika aku lirik pada Chairil Anwar merupakan wirawan kehidupan, aku lirik dalaman puisi-puisi Gus tf merupakan pelecut, bahkan tiran yang mencermin-kan ironi bagi kehidupan dan penguasa. Dalam puisi “Mantel” ia amat jelas menunjukkan wawasan estetik aku lirik dalaman yang menunjukkan segi-segi pembaruan dari angkatan sebelumnya untuk terbentuknya angkatan sastra baru, bahwa “kutahu, kini, aku tak merantau lagi. Kata orang, rantauku/ada dalam diri. Tapi diriku, karena mantel itu, telah terkurung/seperti siput. Ingatkah kau dongeng si baju besi? Begitulah aku,/kata orang, pelan-pelan jadi tirani; walau untuk diri sendiri...”.
Penutup
Ikhtisar sejarah puisi Indonesia modern yang telah dikemukakan, setidak-tidaknya menunjukkan hal penting. Pertama, estetika puisi Indonesia modern selalu mengalami perkembangan yang cukup dinamis. Kedua, dalam dinamika perkembangan estetika puisi Indonesia modern dari periode awal hingga perkembangan yang mutakhir tercatat tiga tonggak prestasi yang pernah digapai oleh penyair, yakni estetika Chairil Anwar, Sutardji calzoum Bachri, dan Afrizal malna beserta rombongan penyair lain yang secara umum dapat dikelompokkan ke dalam estetika mereka bertiga—tentu dengan keunikan, perge-seran, dan perkembangannya sendiri. Ketiga, sebagai sebuah ikhtisar, sejarah puisi Indonesia modern masih perlu terus digali oleh para mahasiswa sebagai bahan studi yang tidak pernah habis-habisnya. Keempat, dari ikhtisar ini mahasiswa dapat tergugah untuk lebih jauh menjelajah dengan cara mencari antologi puisi dari periode ke periode berikutnya, membaca dengan intensif, dan menemukan kebenaran sejarah dengan kerja keras dan keringat sendiri.
Rujukan
Badudu, JS. Dkk.1984. Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga Tahun 40-an. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Jassin, H.B. 1959. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi. Jakarta: Balai Pustaka.
Jassin, H.B. 1963. Pujangga Baru: Prosa dan Puisi. Jakarta: Gunung Mulia.
Jassin, H.B. 1969. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi II. Jakarta: Balai Pustaka.
Jassin, H.B. 1969. Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang. Jakarta: Balai Pustaka.
Jassin, H.B. 1976. Beberapa Penyair di Depan Forum. Dalam Penyair Muda di Depan Forum. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II. Jakarta: Gramedia.
Nugroho Notosusanto. 1953. Soal Periodisasi dalam Sastra Indonesia. Dalam Basis XII (7): 199—210.
Pradopo, R.D. 1984. Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia. Makalah Seminar Temu Kritikus dan Sastrawan 1984. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Pradopo, R.D. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Lukman.
Pradopo, R.D. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rampan, K.L. 1986. Jejak Langkah Sastra Indonesia. Ende: Nusa Indah.
Rampan, K.L. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Riffaterre, M. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.
Rosidi, A. 1969. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, R. & Warren, A. 1868. Theory of Literature.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar