ORIENTASI UMUM
“Pasemon” dalam Perspektif Budaya
Dalam kebudayaan Jawa, “pasemon” merupakan suatu cara ekspresi berupa sindiran halus dalam bentuk kiasan yang menunjukkan suatu sikap pada saat dan tempat tertentu. Kata “pasemon”, menurut Santoso (2000:15) berasal dari kata semu yang mendapat konfiks pa-an yang hadir secara simultan. Kata semu merupakan ajektiva yang berarti ‘tidak jelas’, ‘samar’, ‘bukan sebenarnya’, ‘tidak langsung’, dan ‘sesuatu yang mendekatkan suatu sifat tertentu’. Konfiks pa-an berfungsi untuk membuat nomina. Melalui proses persandian [u] dan [a] berubah menjadi [o], maka terbentuklah kata “pasemon”.
“Pasemon” dalam kaitannya dengan estetika penulisan puisi merupakan suatu bentuk ekspresi verbal yang terdapat di dalam teks puisi dan digunakan oleh penyair sebagai cara berkomunikasi serta untuk mengungkapkan makna tertentu. Ekspresi verbal tersebut biasanya terpapar dalam bahasa kias atau lambang yang menyiratkan berbagai makna ketika diinterpretasikan. “Pasemon’’ di dalam teks puisi, realisasinya cenderung berupa ungkapan verbal-tulis. Ungkapan verbal-tulis di dalam teks puisi yang berupa “pasemon” itu belum pernah dijadikan fokus kajian. Kajian “pasemon” sebagai bagian kajian budaya dalam konteks sastra Indonesia termasuk relatif baru dan belum menjadi perhatian para pengkaji. Kajian tentang fenomena “pasemon” dalam konteks budaya dan dalam kaitannya dengan estetika penulisan puisi Indonesia yang dipaparkan pada bab-bab selanjutnya difokuskan pada upaya penyingkapan estetika “pasemon” dalam teks puisi Indonesia.
Arti penting pembahasan tentang wujud bahasa, makna, dan fungsi komunikatif “pasemon’’ itu didukung oleh beberapa fakta empirik berikut ini. Karya sastra berbentuk puisi dapat dipandang sebagai sistem lambang budaya yang intersubjektif dari suatu masyarakat (Cassirer, 1987: 287; Kun¬towijoyo, 1987: 127-150; Kartodirdjo, 1987: 24; Faruk, 1988: 30-31); Kayam, 1988; 1990; 1990a; 1991). Sebagai lambang budaya yang intersubjektif, karya puisi bukanlah artefak (artefact) atau fakta kebendaan seba-aimana dinyatakan oleh beberapa ahli sastra (Teeuw, 1984: 191; Pradopo, 1995: 106). Karya puisi adalah sebuah teks yang merupakan inskripsi yang menjadi fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran kolektif budaya, dan fakta sosial (sociofact) dari masyarakat yang menghasilkannya (Durkheim, 1986: 32; Brinton, 1985: 201; Karto¬dirdjo, 1992: 176-179; Soedjatmoko, 1994: 87; Saryono, 1997: 1). Sebagai sistem lambang budaya puisi berhubungan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan terhadap nilai tertentu dalam konteks dialektika bu¬daya tertentu.
Teks puisi selalu berhubungan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu (Damono, 1984; 1993; Kleden, 1986; Kartodirdjo, 1987; 1992; Kuntowijoyo, 1972; 1991; Soedjatmoko, 1984; 1994; Nasr, 1993; 1994; Pearson, 1994). Sebagai contoh, puisi Jawa merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Jawa, puisi Bugis-Makassar merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Bugis-Makassar, puisi Indonesia merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Indonesia, puisi Afrika merepresentasikan nilai bu¬daya Afrika, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa puisi selalu erat berkaitan dengan nilai budaya tertentu karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu (Teeuw, 1982; Mulder, 1987; Damono, 1995; Ajidarma, 1995; Saryono, 1997).
Puisi Indonesia menampilkan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya Indonesia. Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa akan menampilkan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya Jawa di tengah konteks dan proses dialektika budaya Indonesia. Puisi Indonesia selalu membayangkan atau menghadirkan tentang konstruksi realitas budaya Indonesia yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, digagas, dan dipandang oleh sastrawan (Mulder, 1985: 72; 1987: 27-28; Ab¬dullah, 1991: 44-45). Puisi Indonesia juga dipandang sebagai teks dan sekaligus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi realitas budaya Indonesia. Yang terepresentasi dalam puisi Indonesia adalah konstruksi realitas nilai budaya Indonesia.
Penulisan buku ini didasarkan pada sejumlah asumsi berikut ini. Pertama, puisi selain merupakan bentuk karya sastra tertua, merupakan teks yang di dalamnya penuh dengan misteri. Kemisterian itu antara lain tampak ketika dilakukan pembacaan puisi, sering terjadi, pembaca mengalami kesulitan dalam memahami keseluruhan makna puisi, sebab dalam realitasnya penyair sering menggunakan cara pengungkapan yang unik. Cara pengungkapan yang unik tersebut antara lain dapat berbentuk “pasemon”. Oleh karena itu, fenomena “pasemon” dalam teks puisi Indonesia perlu dipaparkan dan diberi penjelasan secukupnya sehingga pembaca puisi Indonesia memperoleh informasi yang diperlukan dalam memahami ‘kemisterian puisi’ yang terungkapkan melalui “pasemon”.
Kedua, di dalam teks puisi terdapat cara ekspresi atau strategi komunikasi yang bercorak “pasemon”, mengandung unsur permainan, ekspresi yang ‘menunjukkan’ tanpa kata-kata, berisi kias, lambang, dan lain-lain. Fenomena “pasemon” tersebut berkaitan dengan pemakaian bahasa kias dan lambang serta strategi komunikasi yang dipilih oleh penyair dalam fungsinya untuk mengkomunikasikan ide-idenya. Fenomena “pasemon” dalam perspektif perpuisian Indonesia merupakan persoalan baru yang masih merupakan misteri. Oleh karena itu, sekali lagi, pemaparan dan penjelasan hal-ikhwal “pasemon” itu dapat memberikan informasi yang cukup bagi pembaca untuk memahami puisi yang dibaca.
Ketiga, teks puisi yang terekspresikan melalui “pasemon” itu mengandung nilai-nilai budaya, yakni nilai edukatif, nilai religius, nilai filosofis, nilai etis, dan nilai estetis. Nilai edukatif berhubungan dengan adanya ajaran, pesan, atau amanat yang terungkapkan melalui “pase¬mon”. Nilai religius berhubungan dengan keterikatan manusia kepada kekudusan dan kesucian Tuhan Yang Maha Esa. Nilai filosofis berhubungan dengan keterikatan manusia kepada kebenaran dan ketepatan. Nilai etis berhubungan dengan persoalan kebaikan dan kesusilaan. Nilai estetika berhubungan dengan persoalan keindahan dan keelokan fenomena estetis. Beragam nilai budaya itu perlu dipaparkan dan dijelaskan sehingga dapat menambah kekayaan rohani pembaca terhadap khazanah budaya bangsanya.
Keempat, realitas yang disebut puisi merupakan ‘gejala komunikasi khas berupa bahasa yang diabdikan pada fungsi estetis’ (Aminuddin, 1990 :61). Puisi mengandung unsur-unsur yang yang hadir secara simultan, yaitu paparan bahasa, struktur isi, dan aspek keindahan. Berdasarkan ciri hubungan, ciri kehadiran, dan tingkatan hubungan antarunsur dalam membangun totalitas puisi dapat diketahui bahwa unsur pembangun itu dapat bersifat internal, yaitu unsur yang hadir secara simultan, mengandung pasangan langsung, dan saling berinterdependensi, dan unsur yang bersifat eksternal, yakni unsur yang apabila ditinjau dari perspektif entitas puisi merupakan unsur-unsur yang memiliki hubungan kausal dan fungsional. Penjelasan dan pemaparan aspek intrinsik dan ekstrinsik teks puisi akan menambah khazanah wawasan pembaca dalam upaya merebut maknanya.
Kelima, secara teoretis-metodologis dapat dikemukakan bahwa (1) “pasemon” merupakan salah satu unsur gejala komunikasi bahasa yang secara objektif terwujud dalam unit struktur tertentu, (2) “pasemon” merupakan unit struktur yang dapat disegmentasikan tanpa melepaskan dari ciri relasi dalam totalitas teksnya, (3) pemberian makna dan penjelasan setiap segmentasi “pasemon” tidak dapat dilepaskan dari ciri relasi struktur dalam totalitas teksnya, dan (4) antara pembaca dengan teks yang dibaca, atau antara apa yang diketahui oleh pembaca dengan pemberian penjelasan tidak dapat dilepaskan.
Berpangkal tolak dari beberapa fakta empirik dan asumsi yang telah dikemukakan itu, maka pemaparan dan penjelasan ‘’pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berbahasa ibu bahasa Jawa memiliki dasar yang logis dan kuat. Penyair Indonesia yang berbahasa ibu bahasa Jawa dan menulis dalam bahasa Indonesia antara lain: Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Darmanto Jatman, Linus Suryadi AG. Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono dipandang telah berhasil memasyarakatkan puisi liris-imajis yang diolah berdasarkan suasana. Selain itu, menurut Teeuw (1992: 134), “dari segi kuatnya pasemon dan efektifnya permajasan kedua penyair ini cukup mirip satu sama lain, walaupun ada pula perbedaannya”. Goenawan Mohamad dalam perpuisian Indonesia berperan dalam mengembalikan kewibawaan puisi Indonesia dari kemerosotannya pada sekitar tahun 60-an. Sementara itu, Rendra mulai dekade 60-an hingga kini dikenal sebagai penyair yang gencar mempopulerkan puisi yang sarat dengan kritik sosial dan kritik sosial ini merupakan satu ciri yang menonjol dalam puisi bercorak “pasemon”.
Jassin (dalam Eneste, Ed., 1986:35) memberikan penilaian terhadap kepenyairan Goenawan Mohamad sebagai berikut:
Mohamad (1993:69) menyatakan dengan tandas sikapnya yang individualistis sebagai penyair seperti berikut ini.
Di hadapan sebuah puisi berbahasa Indonesia, menurut pandangan Goenawan Mohamad (1993 :121 ; 1996: 311) “kita tidak dapat menengok ke dalam ‘dunia bahasa sastra yang penghuninya berjejal kelewat rapat’. Bahasa yang ada masih seperti dusun datar yang baru saja dihuni para transmigran—lokasi yang di¬ancam wa¬bah, perdu yang dihampiri hama. Tetapi itu, bagi penyair Indonesia, ada¬lah satu-satunya bahasa yang mungkin”. Dalam kaitan dengan masalah bahasa, Taufik Abdulah (dalam Latif dan Ibrahim, Eds., 1996:348) menyatakan:
Sejalan dengan masalah bahasa Indonesia sebagai wahana penulisan puisi, lebih jauh Goenawan Mohamad (dalam Latif dan Ibrahim, Eds., 1996:311) menyatakan:
Satu paradoks puisi Indonesia ialah dalam upayanya untuk menjadi ekspresi verbal yang otentik, ia tidak sepenuhnya mewujudkan diri sebagai ‘tindak verbal’. Ia tidak bersandar pada kekuatan kata dan variasinya. Ia menjadi contoh yang menurut penyair Jawa abad ke-10, Ronggowarsito, disebut sebagai ke¬heningan yang sekaligus kebeningan, kehampaan yang sesung¬guhnya berisi (weninging ati kang suwung, nanging sajatining isi).
Ancang-ancang Mendekati Teks Puisi
Puisi, sebagai buah kreativitas sastrawan, merupakan bentuk karya sastra yang paling tua. Karya sastra besar seperti Mahabarata, Ramayana, Wedatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, diungkapkan dalam bentuk puisi (Waluyo, 1987). Sebagai salah satu bentuk dan hasil ekspresi, kreasi, dan imajinasi sas¬trawan, bagaimanapun juga puisi merupakan simbol verbal. Simbol verbal puisi ini selanjutnya dapat dikaji sebagai (1) cara pemahaman (mode of comprehension), (2) cara komunikasi (mode of communication), dan (3) cara penciptaan (mode of creation) (Kuntowijoyo, 1987:127). Tiga cara kajian yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo tersebut berkaitan dengan perspektif sejarah. Tiga cara pendekatan itu dapat dirunut dari model komunikasi sastra menurut Abrams (1976)
Bagan model komunikasi sastra yang dikemukakan oleh Abrams itu secara sederhana menunjukkan empat wawasan dasar dalam mendekati sastra, yakni (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik. Pertama, pendekatan objektif meman-ang sastra sebagai dunia yang otonom. Pendekatan ini dalam praktiknya mengabaikan penulis (sastrawan/penyair) dan lingkungan sosial budaya. Menurut pendekatan ini sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi internal. Dalam pendekatan ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep linguistik dengan kajian sastra, baik secara metaforis maupun secara ekletis (Santoso, 1993:25).
Kedua, pendekatan ekspresif menonjolkan peranan penulis (sastrawan/penyair). Titik berat pendekatan ini adalah pada diri sastrawan/penyair—kesadaran sastrawan/ penyair secara psikologis, wawasan budaya sastrawan/ penyair, dan respon sastrawan/penyair terhadap problem dasar kehidupan. Dalam perspektif historis, pendekatan ekspresif berusaha mencari asal-usul terciptanya sastra, yaitu bagaimana sastra itu diciptakan, apa yang menjadi motif atau latar penciptaan, dan bagaimana model transformasi dunia sastrawan/penyair.
Ketiga, pendekatan mimetik menonjolkan aspek referen-sial. Dasar pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran yang diteliti adalah sejauh mana karya sastra merepresentasikan dunia nyata atau semesta dan kemungkinan adanya intertektualitas dengan karya lain. Oleh karena itu, pendekatan mimetik ini berhubungan dengan teori intertekstualitas, teori dekonstruksi, dan teori strukturalisme genetik (Santoso, 1993:25).
Keempat, pendekatan pragmatik atau lazim disebut estetika resepsi menonjolkan peranan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna. Anggapan dasar pendekatan pragmatik ini adalah sastra dipandang sebagai artefak tidak berarti apa-apa tanpa keterlibatan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna. Dalam Bagan yang telah dikemukakan itu tidak terlihat hubungan antara pembaca dan penulis (sastrawan/ penyair). Hubungan antara pembaca dan penulis (sastrawan/penyair) tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui karya yang dibacanya. Dalam konteks ini pembaca dituntut kreativitasnya untuk menemukan pesan penulis (sastrawan/ penyair) melalui karya yang dibacanya. Pembaca dalam komunikasi sastra dapat berfungsi sebagai subjek atau objek. Sebagai subjek, pembaca adalah pemberi makna, perebut amanat dan pemberi nilai terhadap sastra yang menjadi objeknya. Sebaliknya, sebagai objek pembaca selalu terkena bermacam-macam pengaruh dan kekuatan sosial budaya yang melingkupinya.
Kajian sastra dalam perspektif model komunikasi sebagaimana dikemukakan oleh Abrams (1976) tersebut berhubungan dengan berbagai faktor bahasa dan fungsinya. Enam faktor bahasa dan fungsinya itu, menurut Jacobson seperti dirujuk oleh Santoso (1993:27--28), meliputi (1) faktor penyampai (addresser), yaitu seorang penulis (sastrawan/ penyair) berusaha menyampaikan gagasan melalui karya sastra kepada pembaca—dalam hal ini faktor penyampai memiliki fungsi emotif atau ekspresif; (2) faktor penerima (addressee), yaitu pembaca atau khalayak sebagai objek yang dituju oleh si penulis (sastrawan/penyair)—dalam hal ini pembaca berusaha menerima atau menanggapi pesan yang disampaikan oleh penulis dalam rangka menjalankan fungsi konatif, reseptif, atau pragmatik; (3) faktor konteks (context), yaitu faktor-faktor yang turut mempengaruhi penyampaian pesan penulis (sastrawan/ penyair)—dalam hal ini konteks berhubungan dengan fungsi referensial bahasa atau fungsi acuan; (4) faktor amanat (message), yaitu sebagai tanda sastra memiliki amanat berupa pesan yang harus dipahami oleh pembaca—dalam hal ini pesan berhubungan dengan fungsi puitik atau estetik; (5) faktor kontak (contact), yaitu pembaca harus menghubungkan dirinya dengan sastra yang dibaca dan dinikmatinya—dalam hal ini berlangsung fungsi fatik; dan (6) faktor kode (code), yaitu pembaca harus dapat memahami kode-kode bahasa sesuai dengan konvensi sastra dan konvensi budaya yang melingkupi sastra—dalam hal ini berlaku fungsi metalingual atau sosio-budaya.
Kajian aspek bahasa puisi berhubungan dengan kemampuan penyair secara ekspresif dalam menyatakan pendapat, mengemukakan gagasan, dan menyampaikan buah imajinasi dalam wadah bahasa yang dipilihnya. Kajian terhadap bahasa puisi dapat diarahkan pada kemampuan penyair dalam menggunakan bahasa untuk mencapai efektivitas komunikasi. Kajian terhadap bahasa puisi juga terfokus pada sistem lambang bahasa yang muncul dalam komunikasi yang meliputi (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang, dan makna; (2) hubungan antara bentuk keba¬hasaan dengan dunia luar yang diacunya; dan (3) hubungan antara lam¬bang dan pemakaiannya (Aminuddin, 1988:40). Kajian seperti itu juga berkaitan dengan sistem sosial budaya dalam suatu masyarakat bahasa, sistem kebahasaan yang melandasi, bentuk kebahasaan yang digunakan, serta aspek semantis yang dikandungnya.
Kajian aspek makna puisi difokuskan pada nilai, kontribusi atau kegunaannya dalam kehidupan manusia. Puisi mengandung muatan nilai-nilai budaya yang berharga dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam puisi merupakan konsepsi ideal tentang sesuatu yang dipan-dang dan diakui berharga serta dijadikan pedoman, pengendali ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makluk ber-Tuhan (Koentjaraningrat, 1984).
Kajian puisi sebagai cara komunikasi mengacu pada bagaimana seorang penyair melalui karyanya dapat berkomunikasi dengan para pembacanya. Kajian puisi sebagai cara komunikasi dalam khazanah kajian puisi termasuk ke dalam kajian pendekatan ekspresif dan reseptif. Kajian respon pembaca dalam meresepsi makna puisi lebih cenderung termasuk ke dalam kajian sosiologi puisi yang mengangkat persoalan penyair, karya berupa puisi, dan respon masyarakat pembaca. Kajian tentang ekspresi dan kreasi berhubungan dengan proses kreatif penyair dalam penciptaan puisi. Dengan demikian, yang menjadi fokus perhatian kajian ekspresif adalah (1) proses kreatif yang dilakukan oleh penyair dalam menciptakan puisi; (2) faktor-faktor yang mendorong penyair berkarya; (3) visi, misi, dan konsepsi yang dianut oleh penyair; (4) aliran puisi yang diciptakan oleh penyair; dan (5) latar belakang sosial-budaya, agama, keyakinan, dan pandangan hidup penyair bersangkutan.
Sebuah kajian yang ideal melibatkan keempat cara pendekatan tersebut secara komprehensif dan integratif. Penerapan keempat pendekatan secara komprehensif dan integratif dapat menyingkapkan fenomena “pasemon” dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa secara utuh-menyeluruh. Namun demikian, pemilihan salah satu pendekatan kajian dimungkinkan, sebab penerapan empat pendekatan kajian tersebut merupakan “pekerjaan raksasa” yang selain memerlukan banyak waktu, tenaga, beaya, juga menuntut kemampuan pengkaji. Sejalan dengan hal itu, maka pemilihan pada satu atau dua pendekatan di¬mungkinkan. Pendekatan utama yang digunakan dalam kajian ini ialah pendekatan objektif dan dilengkapi dengan pendekatan pragmatik (reseptif) dan mimesik dalam hubungannya dengan “pasemon”. Penerapan pendekatan objektif, yang dalam hal ini digunakan ancangan semiotika, difokuskan pada aspek bahasa, makna, dan fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia. Dengan ancangan semiotika dan dilengkapi oleh pendekatan teori lain yang relevan (analisis isi, analisis wacana, dan hermeneutika) dapat diungkapkan wujud bahasa, isi, dan fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia.
Fokus masalah yang menarik dipaparkan dalam buku ini adalah (1) wujud ba¬hasa (form) “pasemon”, (2) ragam makna (substance) yang terdapat di dalam “pasemon”, dan (3) fungsi komunikatif “pasemon” sebagai strategi penuturan penyair. Pertama, wujud bahasa (form) “pasemon’’ merupa¬kan fenomena yang unik dan menarik untuk dipaparkan. Wujud bahasa (form) ‘’pasemon’’ di dalam teks puisi Indonesia—berdasarkan hasil observasi—menunjukkan fenomena tentang cara penggu¬naan bahasa tulis secara tidak langsung, sebab “pasemon” diungkapkan dengan penggunaan kias, lambang, atau dalam bentuk sasmita. Penggunaan bahasa tulis dengan ungkapan kias, lambang, atau dalam bentuk sasmita di dalam teks puisi itu sering menyebabkan kesulitan bagi pembaca puisi dalam menangkap dan memahami makna puisi. Penggunaan ungkapan kias, lambang, atau dalam bentuk sasmita itu pada satu sisi memang dapat mendukung terciptanya sebuah puisi yang sublim dan indah, namun pada sisi lain penggunaan ungkapan kias, lambang, atau sasmita itu dapat menghalangi proses komunikasi antara penyair dengan para pembacanya. Dengan kajian wujud bahasa “pasemon’’, yang meliputi unsur yang turut membentuk “pasemon’’ dan struktur bahasa “pasemon’’, dapat dihasilkan pemaparan (description) dan penjelasan (explanation) mengenai wujud bahasa “pasemon” sehingga ‘kebuntuan’ komunikasi antara penyair dan pembaca puisi dapat dijembatani.
“Pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa—sebagaimana telah dikemukakan—realitasnya menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis sebagai wahana pengungkapannya. Penyair berbahasa ibu bahasa Jawa yang menulis puisi dalam bahasa Indonesia, menurut Kayam (1982 :92) “akan tersandung pada penerjemahan gugusan ide dan fantasi yang sangat pribadi dari penyairnya’’. Gugusan ide dan fantasi yang sangat pribadi itu biasanya erat sekali berhubungan dengan ‘budaya ibu’ yang semestinya diungkapkan dalam bahasa ibu, namun karena sesuatu hal harus diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Teks puisi Indonesia dengan demikian merupakan salah satu transformasi ide dan fantasi penyair yang tersusun dalam simbol-simbol bahasa ibu ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dalam teks puisi yang bercorak “pasemon’’ itu merupakan ‘bahasa pilihan’ penyair, yakni merupakan bahasa yang ditemukan dan dikembangkannya sendiri oleh penyair. Bahasa pilihan itu merupakan wilayah pribadi penyair (private domain).
Hal yang menarik dalam konteks penulisan puisi oleh penyair berbahasa ibu bahasa Jawa, menurut pengamatan Ben Anderson (dalam Kayam, 1982 :93), ialah bahwa penyair-penyair Jawa yang terbaik tidak menulis dalam bahasa ibu mereka, tetapi memilih menulis dalam bahasa Indonesia karena mereka melihat bahasa Indonesia sebagai ‘bahasa pembebasan’. Maksudnya, hanya melalui bahasa Indonesia yang lebih netral—tidak mengenal kerumitan tingkat-tingkat dan bebas dari beban budaya Jawa yang kompleks—penulis Jawa yang paling berbakat itu dapat berkiprah seluas-luasnya dalam perpuisian Indonesia.
Dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa Indo-nesia sebagai wahana penulisan puisi, Sumanto (1999:xvii) menyatakan:
Istilah “bahasa yang menari” yang dikemukakan oleh Sumanto tersebut tampaknya dipinjam dari ungkapan Tutty Tellez (1994) dalam risalahnya yang terkenal berjudul Words Floating in The Twin Lakes: “poetry is dancing words”. Yang dimaksud oleh Tellez dengan telaga kembar (the twin lakes) adalah dunia impian dan dunia realita. Dalam kata-kata Sumanto (1999) “Dua jagad itu saling mengerling di benak penyair, dan kata-kata menari-nari sambil bolak-balik, bagaikan pelaju, dari satu jagad ke jagad lainnya”. Penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa dalam berkarya juga berada di dua pandangan dunia (world view), yakni Jawa dan Indonesia.
Makna (substance) “pasemon’’ juga menarik untuk dipaparkan. Makna “pasemon” ini berhubungan dengan tiga aspek, yaitu suasana (mood), gagasan (idea), dan pesan (message) (Djelantik, 1999 :18). Suasana, gagasan, dan pesan penyair yang diungkapkan dengan cara “pasemon” itu diyakini mengungkapkan berbagai nilai budaya seperti nilai filosofis, nilai edukatif, nilai religius, nilai etis, dan nilai estetis. Dengan kajian mengenai makna ‘’pasemon’’ ini dapat dihasilkan temuan berupa bobot isi “pasemon” yang berguna bagi berbagai keperluan. Dengan kajian, makna “pasemon” dapat dideskripsikan dan diberi penjelasan secara tuntas sehingga pembaca puisi yang mengalami kesulitan da¬lam berkomunikasi dengan penyair dapat “terjembatani”.
Fungsi komunikatif “pasemon’’ di dalam teks puisi Indonesia yang merupakan realisasi dari strategi penu-turan penyair merupakan persoalan lain yang juga menarik dipaparkan. Fungsi komunikatif “pasemon’’ sebagai strategi penuturan penyair berhubungan dengan dua hal yang berperan, yaitu bakat (talent) dan keterampilan (skill) penyair (Djelantik, 1999 :18). Kajian yang berkenaan dengan bakat dan keterampilan penyair dalam bertutur dengan cara “pasemon’’ akan menghasilkan deskripsi dan eksplanasi tentang strategi penuturan “pasemon” dalam upaya menjalankan fungsi komunikatif. Dengan kajian mengenai fungsi komunikatif “pasemon’’ sebagai strategi penuturan penyair, dapat dihasilkan berbagai ragam perwujudan dan cara penyair dalam mengkomunikasikan ide, gagasan, dan pesan melalui teks puisi yang ditulisnya.
Orientasi Fenomena Pasemon
Kajaian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena “pasemon” dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa, sehingga dapat disebut sebagai kajian budaya terhadap sastra Indonesia. Kajian budaya terhadap sastra Indonesia sampai sekarang ini masih relatif jarang dilakukan peneliti sastra, kurang diminati oleh peneliti sastra Indonesia (Foulcher, 1993:65—70). Akibatnya, teori yang menekankan kajian budaya terhadap sastra tampaknya kurang berkembang dengan baik, bahkan kurang diakui keberadaannya (Guerin dkk, 1979; Wellek dan Warren, 1989; Newton, 1994; Saryono, 1997). Oleh karena itu, setiap kajian budaya terhadap sastra Indonesia menemui keterbatasan teoretis, yaitu kurang tersedia dan kurang mantabnya berbagai konsep teoretis atau teori untuk melakukan kajian budaya terhadap sastra Indonesia. Keterbatasan teoretis seperti itu terkandung dalam buku ini.
Penulisan fenomena "pasemon" ini menemui kesulitan berupa kurang tersedianya teori atau konsep teoretis yang memadai dari khazanah ilmu sastra untuk menjawab berbagai masalah mengenai fenomena “pasemon”. Berbagai teori sastra yang selama ini ada, tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk memecahkan semua masalah yang dijadikan pembahasan buku ini. Untuk memecahkan masalah-masalah mengenai seluk-beluk “pasemon” dalam teks puisi Indonesia perlu didukung oleh berbagai teori, baik yang berasal dari teori sastra maupun dari ilmu budaya secara interdisipliner. Secara teoretis, teori utama yang digunakan dalam kajian ini ialah teori Semiotika dan dilengkapi dengan teori Analisis Isi (Content Analysis), teori Analisis Wacana, dan Teori Hermeneutika. Teori lain seperti sosiologi, etnografi, psikologi, dan pragmatik tidak dipergunakan dalam kajian ini. Akibatnya, hasil kajian kurang menjangkau aspek sosialisasi puisi.
Secara metodologis, kajian yang disajikan dalam buku ini juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan metodologis itu dapat bersifat empiris dan hermeneutis (Kleden, 1995a; Sularto, 1995). Keterbatasan empiris meliputi sumber data dan penentuan sumber data, sedangkan keterbatasan hermeneutis berhubungan dengan pengum-pulan dan analisis data. Boleh jadi sumber data yang dipilih dan ditentukan kurang memadai dan kurang mencukupi, lebih-lebih jika dipandang dari perspektif ideologi dan aliran keilmuan tertentu. Dari sudut ideologi gender dan feminisme, misalnya, penentuan sumber data kajian ini terkesan genderistik dan maskulin karena sumber datanya adalah puisi yang diciptakan oleh penyair laki-laki.
Selanjutnya pengumpulan data kajian ini mengguna-kan studi dokumentasi yang menuntut adanya pemaham-an arti secara memadai (verstehen). Pemahaman arti yang memadai ini bergantung pada wawasan, kemampuan, dan kepekaan peneliti. Dalam hubungan ini dapat terjadi perolehan data dianggap terbatas dan keabsahannya dapat diperdebatkan lebih lanjut, baik pada tingkat empiris maupun hermeneutis, baik tingkat kelengkapan data maupun tingkat pemahaman serta penafsiran data kajian (Kleden, 1986b; 1995; Sularto, 1995). Hal yang sama dapat saja terjadi pada analisis data. Analisis data kajian ini dilakukan dengan model interaktif yang dialektis yang langkah operasionalnya disusun sendiri oleh peneliti, sehingga keterandalan dan kecermatannya masih perlu diuji lebih lanjut.
Secara metodologis, kajian ini menerapkan studi dokumentasi dan studi yang menggunakan analisis teks dan kurang mengeksplorasi pendekatan kreatif (mode of creation) dan pragmatis. Pendekatan kreatif dan pragmatis kiranya dapat dipergunakan peneliti lain dalam kajian terhadap puisi, atau sastra pada umumnya. Dengan keter-batasan metodologis seperti itu, sesuai dengan kelemahan kajian yang bersifat kualitatif, maka hasil kajian tidak dapat digeneralisasikan.
Ruang lingkup buku ini berhubungan dengan aspek-aspek yang merupakan hal-hal yang dikaji. Dalam buku ini ada tiga aspek utama yang sekaligus menggambarkan cakupannya, yakni (1) wujud bahasa ‘‘pasemon’’, (2) makna ‘‘pasemon’’, dan (3) fungsi komunikatif ‘‘pasemon’’ sebagai representasi strategi penuturan. Ketiga aspek utama tersebut digunakan untuk memaparkan “pasemon” dalam teks puisi Indonesia berjenis puisi lirik (lyric). Di dalam puisi lirik imaji muncul atau bermunculan bebas. Jenis puisi lainnya seperti balada, naratif, ode, dan lain-lain tidak dijadikan fokus kajian.
Wujud bahasa ‘pasemon’ mencakup bentuk struktur dan unsur bahasa ‘‘pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa. Hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini ialah bahwa puisi-puisi yang dikaji hanyalah karya penyair yang berlatar belakang budaya Jawa, khususnya yang berasal dari Jawa Tengah—termasuk Daerah Istimewa Jogjakarta—yang ditentukan berdasarkan kriteria tertentu. Alasan yang perlu dikemu-kakan sehubungan dengan pemilihan puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa adalah (1) “pasemon” merupakan bagian dari budaya Jawa yang telah dikenal luas di dalam masyarakat (meskipun akhir-akhir ini banyak pihak yang menurut Prof. Dr. Suminato A. Sayuti “tidak menggubrisnya”), (2) penyair berlatar belakang budaya Jawa dimungkinkan menggunakan bentuk “pasemon” di dalam puisi-puisinya, sebagaimana dinyatakan oleh A. Teeuw (1992:116—142) terhadap puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, dan (3) pennulis buku ini berlatar belakang budaya Jawa sehingga dapat memahami fenomena “pasemon” di dalam teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa. Dalam kaitan itu, hasil pemaparan dan penjelasan mengenai wujud bahasa pasemon dalam teks puisi Indonesia yang meliputi bentuk struktur dan unsur tidak berlaku untuk puisi Indonesia yang dihasilkan oleh penyair berlatar belakang budaya non-Jawa.
Aspek makna ‘‘pasemon’’ merupakan representasi berbagai makna dalam berbagai konteksnya. Makna tersebut dapat berupa nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang dipaparkan dalam kajian ini, tentu saja, terbatas pada puisi-puisi yang diangkat sebagai objek kajian. Aspek fungsi komunikatif sebagai representasi strategi penuturan ‘‘pasemon’’ difokuskan pada berbagai fungsi yang diemban oleh ‘‘pasemon’’ dalam teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa.
Kajian “pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia tidak terlepas dari pendekatan tekstual (analisis teks, hermeneutika, dan semiotika) yang memiliki perspektif berikut ini. Pertama, perwujudan “pasemon” dalam teks puisi ada dalam suatu totalitas teks puisi sehingga tidak dapat dideskripsikan secara isolatif. Kedua, “pasemon” dalam teks puisi selain memiliki tautan dengan unsur-unsur lain dalam satuan teksnya, juga merupakan subsistem yang unsur-unsurnya dapat disegmen-tasikan. Ketiga, “pasemon” sebagai unsur dalam teks puisi merupakan wujud gejala komunikasi bahasa yang selain memiliki hubungan kausal, antara lain dunia penyair dan pembacanya, juga memiliki unsur-unsur yang hadir secara simultan, yakni wujud paparan bahasa “pasemon” itu sendiri dengan berbagai aspeknya. Keempat, sebagai gejala komunikasi bahasa, “pasemon” selain memiliki aspek struktur formal, juga memiliki aspek semantis yang berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh penyairnya.
“Pasemon’’ merupakan unit struktur bahasa yang dibentuk oleh adanya satuan hubungan kata-kata yang difung-sikan untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung, menciptakan suasana, serta mencapai nilai keindahan tertentu. Berdasarkan gambaran umum itu dapat dinyatakan bahwa “pasemon” di dalam teks puisi memiliki dimensi (1) penyair sebagai penyampai gagasan melalui paparan bahasa, (2) satuan hubungan kata-kata yang memiliki unsur dan ciri relasi tertentu, (3) satuan makna yang berhubungan dengan gagasan serta gambaran suasana tertentu, (4) relasi unit struktur bahasa pasemon dengan unsur-unsur lain dalam satuan teksnya, (5) nilai keindahan, dan (6) pembaca sebagai pemberi makna sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan penyair serta efek keindahan yang ingin dicapainya.
Istilah-istilah Teknis yang Digunakan
Penjelasan terhadap beberapa istilah teknis yang digunakan dalam buku ini dipandang penting agar terdapat persamaan dalam memahami fokus, arah, dan lingkup kajian ini. Beberapa istilah teknis yang perlu diberikan penjelasan dikemukakan dalam pa¬paran berikut ini.
“Pasemon” menurut Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Rustapa, dan Hani’ah, 1994) adalah “sindiran atau kecaman terselubung dalam sas¬tra Jawa”. Dalam kebudayaan Jawa, pasemon merupakan suatu cara ekspresi berupa sindiran halus, pengibaratan, pengiasan, perlambang, dan isyarat atau sugesti yang menunjukkan suatu sikap pada suatu saat. Kata “pasemon” berasal dari kata semu yang mendapat konfiks pa-an yang hadir secara simultan. Kata semu merupakan ajektiva yang berarti ‘tidak jelas’, ‘samar’, dan ‘bukan sebenarnya’, dan ‘sesuatu yang mendekatkan suatu sifat tertentu’. Konfiks pa-an berfungsi untuk membuat nomina. Melalui proses persandian [u] dan [a] berubah menjadi [o]. ‘’Pasemon’’ dalam buku ini diartikan sebagai suatu bentuk ekspresi verbal-tulis yang terdapat di dalam teks puisi dan yang digunakan oleh penyair sebagai cara berkomunikasi serta untuk mengungkapkan pesan tertentu. Ekspresi verbal-tulis tersebut biasanya terpapar dalam bahasa kias dan lambang yang menyiratkan berbagai makna ketika diinterpretasikan.
‘’Pasemon’’ memiliki wujud (appearance, form) yang terdiri atas bentuk struktur dan unsur. Bentuk struktur ‘’pasemon’’ ini didukung oleh penggu¬naan berbagai cara pengungkapan verbal secara tidak langsung. Bentuk struktur bahasa “pasemon” dimungkinkan berupa nominatif, predikatif, atau kalimatif. Bahasa “pasemon” nominatif tampil ketika “pasemon” dikemukakan melalui nomina pada subjek atau objek. Bahasa “pasemon” predikatif tampil ketika “pasemon” dikemukakan melalui predikat. Bahasa “pasemon” kalimatif tampil ketika keseluruhan kalimat mengemukakan “pasemon”.
Makna ‘’pasemon’’ dapat berupa beragam makna (gagasan dan pesan, substance) yang terekspresikan menurut berbagai konteks seperti penyair, pembaca, topik, latar, dan tujuannya. Makna ‘’pasemon’’ ini realisasinya dapat berupa nilai-nilai budaya seperti yang bersifat edukatif, filosofis, nilai etis, estetis, atau religius. ‘’Pasemon’’ sebagai bentuk dan cara ekspresi dalam komunikasi memiliki berbagai fungsi komunikatif. Sebagai gejala komunikasi lewat bahasa, ‘’pase-mon’’ memiliki ciri “polisemantis” dan “multi fungsional”. Dengan kata lain, di dalam ‘’pasemon’’ terkandung banyak fungsi. Setiap pa¬paran bahasa terdapat sejumlah fungsi (referensial, emotif, puitik, dll.) yang berkaitan dengan beberapa faktor (konteks, peman¬car, juru bicara, penyair), penerima (pembaca) dan berita atau pesan bahasa. Fungsi mana yang dominan tergantung pada faktor yang ditekankan. Pesan bahasa disampaikan secara fonis, grafis, dan leksi¬kosemantis. Makna dan fungsi komunikatif ‘’pasemon’’ ini pada da¬sarnya difungsikan oleh penyair untuk menyampaikan pesan edukatif, etis, estetis, filosofis, dan religius.
Dalam kajian ini istilah teks dan wacana dianggap sama. Puisi merupakan salah satu genre teks sastra, selain prosa dan drama. Sebagai teks, puisi memiliki kekhasan dalam bentuk pemaparan dan cara pemaparan bahasa sebagai wahana pengungkapnya. Teks puisi merupakan buah kreativitas penyair yang memiliki paparan bahasa bersifat polisemantis, terbentuk dari sistem bahasa natural dan sistem kode sesuai dengan konvensinya, di dalamnya terdapat pemadatan struktur kebahasaan, variasi pola struktur, dan mengandung makna. Sebuah teks puisi “adalah seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca” (Segers, 2000:25).
“Pasemon” dalam Perspektif Budaya
Dalam kebudayaan Jawa, “pasemon” merupakan suatu cara ekspresi berupa sindiran halus dalam bentuk kiasan yang menunjukkan suatu sikap pada saat dan tempat tertentu. Kata “pasemon”, menurut Santoso (2000:15) berasal dari kata semu yang mendapat konfiks pa-an yang hadir secara simultan. Kata semu merupakan ajektiva yang berarti ‘tidak jelas’, ‘samar’, ‘bukan sebenarnya’, ‘tidak langsung’, dan ‘sesuatu yang mendekatkan suatu sifat tertentu’. Konfiks pa-an berfungsi untuk membuat nomina. Melalui proses persandian [u] dan [a] berubah menjadi [o], maka terbentuklah kata “pasemon”.
“Pasemon” dalam kaitannya dengan estetika penulisan puisi merupakan suatu bentuk ekspresi verbal yang terdapat di dalam teks puisi dan digunakan oleh penyair sebagai cara berkomunikasi serta untuk mengungkapkan makna tertentu. Ekspresi verbal tersebut biasanya terpapar dalam bahasa kias atau lambang yang menyiratkan berbagai makna ketika diinterpretasikan. “Pasemon’’ di dalam teks puisi, realisasinya cenderung berupa ungkapan verbal-tulis. Ungkapan verbal-tulis di dalam teks puisi yang berupa “pasemon” itu belum pernah dijadikan fokus kajian. Kajian “pasemon” sebagai bagian kajian budaya dalam konteks sastra Indonesia termasuk relatif baru dan belum menjadi perhatian para pengkaji. Kajian tentang fenomena “pasemon” dalam konteks budaya dan dalam kaitannya dengan estetika penulisan puisi Indonesia yang dipaparkan pada bab-bab selanjutnya difokuskan pada upaya penyingkapan estetika “pasemon” dalam teks puisi Indonesia.
Arti penting pembahasan tentang wujud bahasa, makna, dan fungsi komunikatif “pasemon’’ itu didukung oleh beberapa fakta empirik berikut ini. Karya sastra berbentuk puisi dapat dipandang sebagai sistem lambang budaya yang intersubjektif dari suatu masyarakat (Cassirer, 1987: 287; Kun¬towijoyo, 1987: 127-150; Kartodirdjo, 1987: 24; Faruk, 1988: 30-31); Kayam, 1988; 1990; 1990a; 1991). Sebagai lambang budaya yang intersubjektif, karya puisi bukanlah artefak (artefact) atau fakta kebendaan seba-aimana dinyatakan oleh beberapa ahli sastra (Teeuw, 1984: 191; Pradopo, 1995: 106). Karya puisi adalah sebuah teks yang merupakan inskripsi yang menjadi fakta mentalitas (mentifact), fakta kesadaran kolektif budaya, dan fakta sosial (sociofact) dari masyarakat yang menghasilkannya (Durkheim, 1986: 32; Brinton, 1985: 201; Karto¬dirdjo, 1992: 176-179; Soedjatmoko, 1994: 87; Saryono, 1997: 1). Sebagai sistem lambang budaya puisi berhubungan dengan dunia hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan terhadap nilai tertentu dalam konteks dialektika bu¬daya tertentu.
Teks puisi selalu berhubungan dengan konstruksi pengetahuan budaya tertentu (Damono, 1984; 1993; Kleden, 1986; Kartodirdjo, 1987; 1992; Kuntowijoyo, 1972; 1991; Soedjatmoko, 1984; 1994; Nasr, 1993; 1994; Pearson, 1994). Sebagai contoh, puisi Jawa merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Jawa, puisi Bugis-Makassar merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Bugis-Makassar, puisi Indonesia merepresentasikan konstruksi realitas nilai budaya Indonesia, puisi Afrika merepresentasikan nilai bu¬daya Afrika, dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa puisi selalu erat berkaitan dengan nilai budaya tertentu karena keberadaan dan kedudukannya sebagai sistem lambang budaya membuatnya selalu terlekati nilai budaya dalam konteks dan proses dialektika budaya tertentu (Teeuw, 1982; Mulder, 1987; Damono, 1995; Ajidarma, 1995; Saryono, 1997).
Puisi Indonesia menampilkan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya di tengah konteks dan proses dialektika budaya Indonesia. Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa akan menampilkan hayatan, renungan, ingatan, pikiran, gagasan, dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya Jawa di tengah konteks dan proses dialektika budaya Indonesia. Puisi Indonesia selalu membayangkan atau menghadirkan tentang konstruksi realitas budaya Indonesia yang dihayati, direnungi, diingat, dipikirkan, digagas, dan dipandang oleh sastrawan (Mulder, 1985: 72; 1987: 27-28; Ab¬dullah, 1991: 44-45). Puisi Indonesia juga dipandang sebagai teks dan sekaligus inskripsi yang selalu merepresentasikan konstruksi realitas budaya Indonesia. Yang terepresentasi dalam puisi Indonesia adalah konstruksi realitas nilai budaya Indonesia.
Penulisan buku ini didasarkan pada sejumlah asumsi berikut ini. Pertama, puisi selain merupakan bentuk karya sastra tertua, merupakan teks yang di dalamnya penuh dengan misteri. Kemisterian itu antara lain tampak ketika dilakukan pembacaan puisi, sering terjadi, pembaca mengalami kesulitan dalam memahami keseluruhan makna puisi, sebab dalam realitasnya penyair sering menggunakan cara pengungkapan yang unik. Cara pengungkapan yang unik tersebut antara lain dapat berbentuk “pasemon”. Oleh karena itu, fenomena “pasemon” dalam teks puisi Indonesia perlu dipaparkan dan diberi penjelasan secukupnya sehingga pembaca puisi Indonesia memperoleh informasi yang diperlukan dalam memahami ‘kemisterian puisi’ yang terungkapkan melalui “pasemon”.
Kedua, di dalam teks puisi terdapat cara ekspresi atau strategi komunikasi yang bercorak “pasemon”, mengandung unsur permainan, ekspresi yang ‘menunjukkan’ tanpa kata-kata, berisi kias, lambang, dan lain-lain. Fenomena “pasemon” tersebut berkaitan dengan pemakaian bahasa kias dan lambang serta strategi komunikasi yang dipilih oleh penyair dalam fungsinya untuk mengkomunikasikan ide-idenya. Fenomena “pasemon” dalam perspektif perpuisian Indonesia merupakan persoalan baru yang masih merupakan misteri. Oleh karena itu, sekali lagi, pemaparan dan penjelasan hal-ikhwal “pasemon” itu dapat memberikan informasi yang cukup bagi pembaca untuk memahami puisi yang dibaca.
Ketiga, teks puisi yang terekspresikan melalui “pasemon” itu mengandung nilai-nilai budaya, yakni nilai edukatif, nilai religius, nilai filosofis, nilai etis, dan nilai estetis. Nilai edukatif berhubungan dengan adanya ajaran, pesan, atau amanat yang terungkapkan melalui “pase¬mon”. Nilai religius berhubungan dengan keterikatan manusia kepada kekudusan dan kesucian Tuhan Yang Maha Esa. Nilai filosofis berhubungan dengan keterikatan manusia kepada kebenaran dan ketepatan. Nilai etis berhubungan dengan persoalan kebaikan dan kesusilaan. Nilai estetika berhubungan dengan persoalan keindahan dan keelokan fenomena estetis. Beragam nilai budaya itu perlu dipaparkan dan dijelaskan sehingga dapat menambah kekayaan rohani pembaca terhadap khazanah budaya bangsanya.
Keempat, realitas yang disebut puisi merupakan ‘gejala komunikasi khas berupa bahasa yang diabdikan pada fungsi estetis’ (Aminuddin, 1990 :61). Puisi mengandung unsur-unsur yang yang hadir secara simultan, yaitu paparan bahasa, struktur isi, dan aspek keindahan. Berdasarkan ciri hubungan, ciri kehadiran, dan tingkatan hubungan antarunsur dalam membangun totalitas puisi dapat diketahui bahwa unsur pembangun itu dapat bersifat internal, yaitu unsur yang hadir secara simultan, mengandung pasangan langsung, dan saling berinterdependensi, dan unsur yang bersifat eksternal, yakni unsur yang apabila ditinjau dari perspektif entitas puisi merupakan unsur-unsur yang memiliki hubungan kausal dan fungsional. Penjelasan dan pemaparan aspek intrinsik dan ekstrinsik teks puisi akan menambah khazanah wawasan pembaca dalam upaya merebut maknanya.
Kelima, secara teoretis-metodologis dapat dikemukakan bahwa (1) “pasemon” merupakan salah satu unsur gejala komunikasi bahasa yang secara objektif terwujud dalam unit struktur tertentu, (2) “pasemon” merupakan unit struktur yang dapat disegmentasikan tanpa melepaskan dari ciri relasi dalam totalitas teksnya, (3) pemberian makna dan penjelasan setiap segmentasi “pasemon” tidak dapat dilepaskan dari ciri relasi struktur dalam totalitas teksnya, dan (4) antara pembaca dengan teks yang dibaca, atau antara apa yang diketahui oleh pembaca dengan pemberian penjelasan tidak dapat dilepaskan.
Berpangkal tolak dari beberapa fakta empirik dan asumsi yang telah dikemukakan itu, maka pemaparan dan penjelasan ‘’pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berbahasa ibu bahasa Jawa memiliki dasar yang logis dan kuat. Penyair Indonesia yang berbahasa ibu bahasa Jawa dan menulis dalam bahasa Indonesia antara lain: Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Rendra, Darmanto Jatman, Linus Suryadi AG. Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono dipandang telah berhasil memasyarakatkan puisi liris-imajis yang diolah berdasarkan suasana. Selain itu, menurut Teeuw (1992: 134), “dari segi kuatnya pasemon dan efektifnya permajasan kedua penyair ini cukup mirip satu sama lain, walaupun ada pula perbedaannya”. Goenawan Mohamad dalam perpuisian Indonesia berperan dalam mengembalikan kewibawaan puisi Indonesia dari kemerosotannya pada sekitar tahun 60-an. Sementara itu, Rendra mulai dekade 60-an hingga kini dikenal sebagai penyair yang gencar mempopulerkan puisi yang sarat dengan kritik sosial dan kritik sosial ini merupakan satu ciri yang menonjol dalam puisi bercorak “pasemon”.
Jassin (dalam Eneste, Ed., 1986:35) memberikan penilaian terhadap kepenyairan Goenawan Mohamad sebagai berikut:
Pada Goenawan nampak suatu pengetahuan mengenai sastra lama. Pariksit dan Si Malin Kundang adalah tokoh-tokoh yang menarik perhatiannya, bukan sekadar diceritakan kembali, tapi dihayati kembali situasi dan sikap hidupnya dengan tafsiran sendiri. Maka tampaklah suatu kontradiksi: kembali menyelami kebudayaan lama dan memberontaki kebudayaan lama. Nampak suatu penggunaan idiom-idiom lama menentang nilai-nilai lama atau memberi nilai-nilai baru kepada nilai-nilai lama yang justru bersifat sebaliknya. Bagi Goenawan yang penting ialah puisi, pribadi.
Mohamad (1993:69) menyatakan dengan tandas sikapnya yang individualistis sebagai penyair seperti berikut ini.
Salah satu kebebasan pertama seorang pencipta adalah kebebasan dari sikap kolektif yang mengikat diri dan bahaya orang terlalu memperhatikan ‘rumus-rumus’ umum yang dikenakan di atas kesadaran keseorangannya ialah terbentuknya diri dalam lingkungan kolektivisme, sehingga hasilnya nanti tidak akan lebih dari hasil tukang proyeksi, suara umum, dan penyodor kemutlakan ajaran.
Di hadapan sebuah puisi berbahasa Indonesia, menurut pandangan Goenawan Mohamad (1993 :121 ; 1996: 311) “kita tidak dapat menengok ke dalam ‘dunia bahasa sastra yang penghuninya berjejal kelewat rapat’. Bahasa yang ada masih seperti dusun datar yang baru saja dihuni para transmigran—lokasi yang di¬ancam wa¬bah, perdu yang dihampiri hama. Tetapi itu, bagi penyair Indonesia, ada¬lah satu-satunya bahasa yang mungkin”. Dalam kaitan dengan masalah bahasa, Taufik Abdulah (dalam Latif dan Ibrahim, Eds., 1996:348) menyatakan:
Kalau hal ini diperhatikan, maka kita pun bisa berhadapan dengan masalah yang paling mendasar dalam bahasa, yaitu soal representation. Perdebatan klasik tentu akan kembali mempermasalahkan apakah bahasa dan alat utama yang dimiliki, yaitu kata, hanyalah sekadar penamaan belaka ataukah memang merupakan wakil sesungguhnya dari realitas atau pikiran dan perasaan dari sang pemberi pesan.
Dalam hubungan dengan persoalan bahasa Indonesia itu muncul pertanyaan, seberapa jauh (seberapa dalam) bahasa Indonesia dapat menjalankan fungsi sosio-kulturalnya sebagai saluran komu¬nikasi dan sebagai unsur integratif sebuah karya cipta—dalam hal ini puisi? Pertanyaan ini mengindikasikan jawaban tentang persoalan dinamika hubungan antara wujud, makna, dan fungsi komunikatif bahasa ‘’pasemon’’—sebagai saluran komunikasi simbolik bagi penyampaian pesan, realitas “objektif”, dan berita pikiran—dengan lingkungan khalayak pemakai bahasa, baik pengirim pesan maupun penerima pesan. Dalam hal ini, apakah bahasa—sebagai saluran komunikasiyang membentuk realitas, yang mewujudkan pesan, ataukah, khalayak pemakai yang menentukan corak saluran pesan itu? Dalam hubungan ini dapat dinyatakan bahwa penambahan dan pembesaran perbendaharaan pengetahuan, tentang berbagai gejala alam, sosial, dan kemanusiaan, kerap menimbulkan keharusan perubahan “kata” menjadi “istilah” atau “konsep”, yang mewakili seperangkat ide. Ketika perubahan ini terjadi, maka terputuslah hubungan kata dengan artinya yang semula “telah disetujui” oleh komunitas penutur bahasa. Konsep bukan lagi yang bisa ditentukan artinya, sebagaimana tertera dalam kamus, tetapi sesuatu yang maknanya harus dirumuskan dan kalau perlu diperdebatkan.
Sejalan dengan masalah bahasa Indonesia sebagai wahana penulisan puisi, lebih jauh Goenawan Mohamad (dalam Latif dan Ibrahim, Eds., 1996:311) menyatakan:
Satu paradoks puisi Indonesia ialah dalam upayanya untuk menjadi ekspresi verbal yang otentik, ia tidak sepenuhnya mewujudkan diri sebagai ‘tindak verbal’. Ia tidak bersandar pada kekuatan kata dan variasinya. Ia menjadi contoh yang menurut penyair Jawa abad ke-10, Ronggowarsito, disebut sebagai ke¬heningan yang sekaligus kebeningan, kehampaan yang sesung¬guhnya berisi (weninging ati kang suwung, nanging sajatining isi).
Ancang-ancang Mendekati Teks Puisi
Puisi, sebagai buah kreativitas sastrawan, merupakan bentuk karya sastra yang paling tua. Karya sastra besar seperti Mahabarata, Ramayana, Wedatama, Tripama, Babad Tanah Jawi, diungkapkan dalam bentuk puisi (Waluyo, 1987). Sebagai salah satu bentuk dan hasil ekspresi, kreasi, dan imajinasi sas¬trawan, bagaimanapun juga puisi merupakan simbol verbal. Simbol verbal puisi ini selanjutnya dapat dikaji sebagai (1) cara pemahaman (mode of comprehension), (2) cara komunikasi (mode of communication), dan (3) cara penciptaan (mode of creation) (Kuntowijoyo, 1987:127). Tiga cara kajian yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo tersebut berkaitan dengan perspektif sejarah. Tiga cara pendekatan itu dapat dirunut dari model komunikasi sastra menurut Abrams (1976)
Bagan model komunikasi sastra yang dikemukakan oleh Abrams itu secara sederhana menunjukkan empat wawasan dasar dalam mendekati sastra, yakni (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3) pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik. Pertama, pendekatan objektif meman-ang sastra sebagai dunia yang otonom. Pendekatan ini dalam praktiknya mengabaikan penulis (sastrawan/penyair) dan lingkungan sosial budaya. Menurut pendekatan ini sastra harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan sastra sebagai struktur verbal yang otonom dengan koherensi internal. Dalam pendekatan ini terjalin secara jelas antara konsep-konsep linguistik dengan kajian sastra, baik secara metaforis maupun secara ekletis (Santoso, 1993:25).
Kedua, pendekatan ekspresif menonjolkan peranan penulis (sastrawan/penyair). Titik berat pendekatan ini adalah pada diri sastrawan/penyair—kesadaran sastrawan/ penyair secara psikologis, wawasan budaya sastrawan/ penyair, dan respon sastrawan/penyair terhadap problem dasar kehidupan. Dalam perspektif historis, pendekatan ekspresif berusaha mencari asal-usul terciptanya sastra, yaitu bagaimana sastra itu diciptakan, apa yang menjadi motif atau latar penciptaan, dan bagaimana model transformasi dunia sastrawan/penyair.
Ketiga, pendekatan mimetik menonjolkan aspek referen-sial. Dasar pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran yang diteliti adalah sejauh mana karya sastra merepresentasikan dunia nyata atau semesta dan kemungkinan adanya intertektualitas dengan karya lain. Oleh karena itu, pendekatan mimetik ini berhubungan dengan teori intertekstualitas, teori dekonstruksi, dan teori strukturalisme genetik (Santoso, 1993:25).
Keempat, pendekatan pragmatik atau lazim disebut estetika resepsi menonjolkan peranan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna. Anggapan dasar pendekatan pragmatik ini adalah sastra dipandang sebagai artefak tidak berarti apa-apa tanpa keterlibatan pembaca sebagai penyambut, penghayat, dan pemberi makna. Dalam Bagan yang telah dikemukakan itu tidak terlihat hubungan antara pembaca dan penulis (sastrawan/ penyair). Hubungan antara pembaca dan penulis (sastrawan/penyair) tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui karya yang dibacanya. Dalam konteks ini pembaca dituntut kreativitasnya untuk menemukan pesan penulis (sastrawan/ penyair) melalui karya yang dibacanya. Pembaca dalam komunikasi sastra dapat berfungsi sebagai subjek atau objek. Sebagai subjek, pembaca adalah pemberi makna, perebut amanat dan pemberi nilai terhadap sastra yang menjadi objeknya. Sebaliknya, sebagai objek pembaca selalu terkena bermacam-macam pengaruh dan kekuatan sosial budaya yang melingkupinya.
Kajian sastra dalam perspektif model komunikasi sebagaimana dikemukakan oleh Abrams (1976) tersebut berhubungan dengan berbagai faktor bahasa dan fungsinya. Enam faktor bahasa dan fungsinya itu, menurut Jacobson seperti dirujuk oleh Santoso (1993:27--28), meliputi (1) faktor penyampai (addresser), yaitu seorang penulis (sastrawan/ penyair) berusaha menyampaikan gagasan melalui karya sastra kepada pembaca—dalam hal ini faktor penyampai memiliki fungsi emotif atau ekspresif; (2) faktor penerima (addressee), yaitu pembaca atau khalayak sebagai objek yang dituju oleh si penulis (sastrawan/penyair)—dalam hal ini pembaca berusaha menerima atau menanggapi pesan yang disampaikan oleh penulis dalam rangka menjalankan fungsi konatif, reseptif, atau pragmatik; (3) faktor konteks (context), yaitu faktor-faktor yang turut mempengaruhi penyampaian pesan penulis (sastrawan/ penyair)—dalam hal ini konteks berhubungan dengan fungsi referensial bahasa atau fungsi acuan; (4) faktor amanat (message), yaitu sebagai tanda sastra memiliki amanat berupa pesan yang harus dipahami oleh pembaca—dalam hal ini pesan berhubungan dengan fungsi puitik atau estetik; (5) faktor kontak (contact), yaitu pembaca harus menghubungkan dirinya dengan sastra yang dibaca dan dinikmatinya—dalam hal ini berlangsung fungsi fatik; dan (6) faktor kode (code), yaitu pembaca harus dapat memahami kode-kode bahasa sesuai dengan konvensi sastra dan konvensi budaya yang melingkupi sastra—dalam hal ini berlaku fungsi metalingual atau sosio-budaya.
Kajian aspek bahasa puisi berhubungan dengan kemampuan penyair secara ekspresif dalam menyatakan pendapat, mengemukakan gagasan, dan menyampaikan buah imajinasi dalam wadah bahasa yang dipilihnya. Kajian terhadap bahasa puisi dapat diarahkan pada kemampuan penyair dalam menggunakan bahasa untuk mencapai efektivitas komunikasi. Kajian terhadap bahasa puisi juga terfokus pada sistem lambang bahasa yang muncul dalam komunikasi yang meliputi (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang, dan makna; (2) hubungan antara bentuk keba¬hasaan dengan dunia luar yang diacunya; dan (3) hubungan antara lam¬bang dan pemakaiannya (Aminuddin, 1988:40). Kajian seperti itu juga berkaitan dengan sistem sosial budaya dalam suatu masyarakat bahasa, sistem kebahasaan yang melandasi, bentuk kebahasaan yang digunakan, serta aspek semantis yang dikandungnya.
Kajian aspek makna puisi difokuskan pada nilai, kontribusi atau kegunaannya dalam kehidupan manusia. Puisi mengandung muatan nilai-nilai budaya yang berharga dalam kehidupan manusia. Nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam puisi merupakan konsepsi ideal tentang sesuatu yang dipan-dang dan diakui berharga serta dijadikan pedoman, pengendali ucapan, tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia sebagai makhluk pribadi, makhluk sosial, dan makluk ber-Tuhan (Koentjaraningrat, 1984).
Kajian puisi sebagai cara komunikasi mengacu pada bagaimana seorang penyair melalui karyanya dapat berkomunikasi dengan para pembacanya. Kajian puisi sebagai cara komunikasi dalam khazanah kajian puisi termasuk ke dalam kajian pendekatan ekspresif dan reseptif. Kajian respon pembaca dalam meresepsi makna puisi lebih cenderung termasuk ke dalam kajian sosiologi puisi yang mengangkat persoalan penyair, karya berupa puisi, dan respon masyarakat pembaca. Kajian tentang ekspresi dan kreasi berhubungan dengan proses kreatif penyair dalam penciptaan puisi. Dengan demikian, yang menjadi fokus perhatian kajian ekspresif adalah (1) proses kreatif yang dilakukan oleh penyair dalam menciptakan puisi; (2) faktor-faktor yang mendorong penyair berkarya; (3) visi, misi, dan konsepsi yang dianut oleh penyair; (4) aliran puisi yang diciptakan oleh penyair; dan (5) latar belakang sosial-budaya, agama, keyakinan, dan pandangan hidup penyair bersangkutan.
Sebuah kajian yang ideal melibatkan keempat cara pendekatan tersebut secara komprehensif dan integratif. Penerapan keempat pendekatan secara komprehensif dan integratif dapat menyingkapkan fenomena “pasemon” dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa secara utuh-menyeluruh. Namun demikian, pemilihan salah satu pendekatan kajian dimungkinkan, sebab penerapan empat pendekatan kajian tersebut merupakan “pekerjaan raksasa” yang selain memerlukan banyak waktu, tenaga, beaya, juga menuntut kemampuan pengkaji. Sejalan dengan hal itu, maka pemilihan pada satu atau dua pendekatan di¬mungkinkan. Pendekatan utama yang digunakan dalam kajian ini ialah pendekatan objektif dan dilengkapi dengan pendekatan pragmatik (reseptif) dan mimesik dalam hubungannya dengan “pasemon”. Penerapan pendekatan objektif, yang dalam hal ini digunakan ancangan semiotika, difokuskan pada aspek bahasa, makna, dan fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia. Dengan ancangan semiotika dan dilengkapi oleh pendekatan teori lain yang relevan (analisis isi, analisis wacana, dan hermeneutika) dapat diungkapkan wujud bahasa, isi, dan fungsi komunikatif “pasemon” dalam teks puisi Indonesia.
Fokus masalah yang menarik dipaparkan dalam buku ini adalah (1) wujud ba¬hasa (form) “pasemon”, (2) ragam makna (substance) yang terdapat di dalam “pasemon”, dan (3) fungsi komunikatif “pasemon” sebagai strategi penuturan penyair. Pertama, wujud bahasa (form) “pasemon’’ merupa¬kan fenomena yang unik dan menarik untuk dipaparkan. Wujud bahasa (form) ‘’pasemon’’ di dalam teks puisi Indonesia—berdasarkan hasil observasi—menunjukkan fenomena tentang cara penggu¬naan bahasa tulis secara tidak langsung, sebab “pasemon” diungkapkan dengan penggunaan kias, lambang, atau dalam bentuk sasmita. Penggunaan bahasa tulis dengan ungkapan kias, lambang, atau dalam bentuk sasmita di dalam teks puisi itu sering menyebabkan kesulitan bagi pembaca puisi dalam menangkap dan memahami makna puisi. Penggunaan ungkapan kias, lambang, atau dalam bentuk sasmita itu pada satu sisi memang dapat mendukung terciptanya sebuah puisi yang sublim dan indah, namun pada sisi lain penggunaan ungkapan kias, lambang, atau sasmita itu dapat menghalangi proses komunikasi antara penyair dengan para pembacanya. Dengan kajian wujud bahasa “pasemon’’, yang meliputi unsur yang turut membentuk “pasemon’’ dan struktur bahasa “pasemon’’, dapat dihasilkan pemaparan (description) dan penjelasan (explanation) mengenai wujud bahasa “pasemon” sehingga ‘kebuntuan’ komunikasi antara penyair dan pembaca puisi dapat dijembatani.
“Pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia yang ditulis oleh penyair berlatar belakang budaya Jawa—sebagaimana telah dikemukakan—realitasnya menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis sebagai wahana pengungkapannya. Penyair berbahasa ibu bahasa Jawa yang menulis puisi dalam bahasa Indonesia, menurut Kayam (1982 :92) “akan tersandung pada penerjemahan gugusan ide dan fantasi yang sangat pribadi dari penyairnya’’. Gugusan ide dan fantasi yang sangat pribadi itu biasanya erat sekali berhubungan dengan ‘budaya ibu’ yang semestinya diungkapkan dalam bahasa ibu, namun karena sesuatu hal harus diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Teks puisi Indonesia dengan demikian merupakan salah satu transformasi ide dan fantasi penyair yang tersusun dalam simbol-simbol bahasa ibu ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dalam teks puisi yang bercorak “pasemon’’ itu merupakan ‘bahasa pilihan’ penyair, yakni merupakan bahasa yang ditemukan dan dikembangkannya sendiri oleh penyair. Bahasa pilihan itu merupakan wilayah pribadi penyair (private domain).
Hal yang menarik dalam konteks penulisan puisi oleh penyair berbahasa ibu bahasa Jawa, menurut pengamatan Ben Anderson (dalam Kayam, 1982 :93), ialah bahwa penyair-penyair Jawa yang terbaik tidak menulis dalam bahasa ibu mereka, tetapi memilih menulis dalam bahasa Indonesia karena mereka melihat bahasa Indonesia sebagai ‘bahasa pembebasan’. Maksudnya, hanya melalui bahasa Indonesia yang lebih netral—tidak mengenal kerumitan tingkat-tingkat dan bebas dari beban budaya Jawa yang kompleks—penulis Jawa yang paling berbakat itu dapat berkiprah seluas-luasnya dalam perpuisian Indonesia.
Dalam hubungannya dengan penggunaan bahasa Indo-nesia sebagai wahana penulisan puisi, Sumanto (1999:xvii) menyatakan:
Di tangan penyair, seperti Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi AG, Darmanto Yatman, Subagio Sastrowardoyo dan penyair terkemuka lainnya, “bahasa” yang disajikan adalah “bahasa yang menari”.
Istilah “bahasa yang menari” yang dikemukakan oleh Sumanto tersebut tampaknya dipinjam dari ungkapan Tutty Tellez (1994) dalam risalahnya yang terkenal berjudul Words Floating in The Twin Lakes: “poetry is dancing words”. Yang dimaksud oleh Tellez dengan telaga kembar (the twin lakes) adalah dunia impian dan dunia realita. Dalam kata-kata Sumanto (1999) “Dua jagad itu saling mengerling di benak penyair, dan kata-kata menari-nari sambil bolak-balik, bagaikan pelaju, dari satu jagad ke jagad lainnya”. Penyair Indonesia berlatar belakang budaya Jawa dalam berkarya juga berada di dua pandangan dunia (world view), yakni Jawa dan Indonesia.
Makna (substance) “pasemon’’ juga menarik untuk dipaparkan. Makna “pasemon” ini berhubungan dengan tiga aspek, yaitu suasana (mood), gagasan (idea), dan pesan (message) (Djelantik, 1999 :18). Suasana, gagasan, dan pesan penyair yang diungkapkan dengan cara “pasemon” itu diyakini mengungkapkan berbagai nilai budaya seperti nilai filosofis, nilai edukatif, nilai religius, nilai etis, dan nilai estetis. Dengan kajian mengenai makna ‘’pasemon’’ ini dapat dihasilkan temuan berupa bobot isi “pasemon” yang berguna bagi berbagai keperluan. Dengan kajian, makna “pasemon” dapat dideskripsikan dan diberi penjelasan secara tuntas sehingga pembaca puisi yang mengalami kesulitan da¬lam berkomunikasi dengan penyair dapat “terjembatani”.
Fungsi komunikatif “pasemon’’ di dalam teks puisi Indonesia yang merupakan realisasi dari strategi penu-turan penyair merupakan persoalan lain yang juga menarik dipaparkan. Fungsi komunikatif “pasemon’’ sebagai strategi penuturan penyair berhubungan dengan dua hal yang berperan, yaitu bakat (talent) dan keterampilan (skill) penyair (Djelantik, 1999 :18). Kajian yang berkenaan dengan bakat dan keterampilan penyair dalam bertutur dengan cara “pasemon’’ akan menghasilkan deskripsi dan eksplanasi tentang strategi penuturan “pasemon” dalam upaya menjalankan fungsi komunikatif. Dengan kajian mengenai fungsi komunikatif “pasemon’’ sebagai strategi penuturan penyair, dapat dihasilkan berbagai ragam perwujudan dan cara penyair dalam mengkomunikasikan ide, gagasan, dan pesan melalui teks puisi yang ditulisnya.
Orientasi Fenomena Pasemon
Kajaian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena “pasemon” dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa, sehingga dapat disebut sebagai kajian budaya terhadap sastra Indonesia. Kajian budaya terhadap sastra Indonesia sampai sekarang ini masih relatif jarang dilakukan peneliti sastra, kurang diminati oleh peneliti sastra Indonesia (Foulcher, 1993:65—70). Akibatnya, teori yang menekankan kajian budaya terhadap sastra tampaknya kurang berkembang dengan baik, bahkan kurang diakui keberadaannya (Guerin dkk, 1979; Wellek dan Warren, 1989; Newton, 1994; Saryono, 1997). Oleh karena itu, setiap kajian budaya terhadap sastra Indonesia menemui keterbatasan teoretis, yaitu kurang tersedia dan kurang mantabnya berbagai konsep teoretis atau teori untuk melakukan kajian budaya terhadap sastra Indonesia. Keterbatasan teoretis seperti itu terkandung dalam buku ini.
Penulisan fenomena "pasemon" ini menemui kesulitan berupa kurang tersedianya teori atau konsep teoretis yang memadai dari khazanah ilmu sastra untuk menjawab berbagai masalah mengenai fenomena “pasemon”. Berbagai teori sastra yang selama ini ada, tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan untuk memecahkan semua masalah yang dijadikan pembahasan buku ini. Untuk memecahkan masalah-masalah mengenai seluk-beluk “pasemon” dalam teks puisi Indonesia perlu didukung oleh berbagai teori, baik yang berasal dari teori sastra maupun dari ilmu budaya secara interdisipliner. Secara teoretis, teori utama yang digunakan dalam kajian ini ialah teori Semiotika dan dilengkapi dengan teori Analisis Isi (Content Analysis), teori Analisis Wacana, dan Teori Hermeneutika. Teori lain seperti sosiologi, etnografi, psikologi, dan pragmatik tidak dipergunakan dalam kajian ini. Akibatnya, hasil kajian kurang menjangkau aspek sosialisasi puisi.
Secara metodologis, kajian yang disajikan dalam buku ini juga memiliki keterbatasan. Keterbatasan metodologis itu dapat bersifat empiris dan hermeneutis (Kleden, 1995a; Sularto, 1995). Keterbatasan empiris meliputi sumber data dan penentuan sumber data, sedangkan keterbatasan hermeneutis berhubungan dengan pengum-pulan dan analisis data. Boleh jadi sumber data yang dipilih dan ditentukan kurang memadai dan kurang mencukupi, lebih-lebih jika dipandang dari perspektif ideologi dan aliran keilmuan tertentu. Dari sudut ideologi gender dan feminisme, misalnya, penentuan sumber data kajian ini terkesan genderistik dan maskulin karena sumber datanya adalah puisi yang diciptakan oleh penyair laki-laki.
Selanjutnya pengumpulan data kajian ini mengguna-kan studi dokumentasi yang menuntut adanya pemaham-an arti secara memadai (verstehen). Pemahaman arti yang memadai ini bergantung pada wawasan, kemampuan, dan kepekaan peneliti. Dalam hubungan ini dapat terjadi perolehan data dianggap terbatas dan keabsahannya dapat diperdebatkan lebih lanjut, baik pada tingkat empiris maupun hermeneutis, baik tingkat kelengkapan data maupun tingkat pemahaman serta penafsiran data kajian (Kleden, 1986b; 1995; Sularto, 1995). Hal yang sama dapat saja terjadi pada analisis data. Analisis data kajian ini dilakukan dengan model interaktif yang dialektis yang langkah operasionalnya disusun sendiri oleh peneliti, sehingga keterandalan dan kecermatannya masih perlu diuji lebih lanjut.
Secara metodologis, kajian ini menerapkan studi dokumentasi dan studi yang menggunakan analisis teks dan kurang mengeksplorasi pendekatan kreatif (mode of creation) dan pragmatis. Pendekatan kreatif dan pragmatis kiranya dapat dipergunakan peneliti lain dalam kajian terhadap puisi, atau sastra pada umumnya. Dengan keter-batasan metodologis seperti itu, sesuai dengan kelemahan kajian yang bersifat kualitatif, maka hasil kajian tidak dapat digeneralisasikan.
Ruang lingkup buku ini berhubungan dengan aspek-aspek yang merupakan hal-hal yang dikaji. Dalam buku ini ada tiga aspek utama yang sekaligus menggambarkan cakupannya, yakni (1) wujud bahasa ‘‘pasemon’’, (2) makna ‘‘pasemon’’, dan (3) fungsi komunikatif ‘‘pasemon’’ sebagai representasi strategi penuturan. Ketiga aspek utama tersebut digunakan untuk memaparkan “pasemon” dalam teks puisi Indonesia berjenis puisi lirik (lyric). Di dalam puisi lirik imaji muncul atau bermunculan bebas. Jenis puisi lainnya seperti balada, naratif, ode, dan lain-lain tidak dijadikan fokus kajian.
Wujud bahasa ‘pasemon’ mencakup bentuk struktur dan unsur bahasa ‘‘pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia karya penyair berlatar belakang budaya Jawa. Hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini ialah bahwa puisi-puisi yang dikaji hanyalah karya penyair yang berlatar belakang budaya Jawa, khususnya yang berasal dari Jawa Tengah—termasuk Daerah Istimewa Jogjakarta—yang ditentukan berdasarkan kriteria tertentu. Alasan yang perlu dikemu-kakan sehubungan dengan pemilihan puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa adalah (1) “pasemon” merupakan bagian dari budaya Jawa yang telah dikenal luas di dalam masyarakat (meskipun akhir-akhir ini banyak pihak yang menurut Prof. Dr. Suminato A. Sayuti “tidak menggubrisnya”), (2) penyair berlatar belakang budaya Jawa dimungkinkan menggunakan bentuk “pasemon” di dalam puisi-puisinya, sebagaimana dinyatakan oleh A. Teeuw (1992:116—142) terhadap puisi-puisi Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono, dan (3) pennulis buku ini berlatar belakang budaya Jawa sehingga dapat memahami fenomena “pasemon” di dalam teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa. Dalam kaitan itu, hasil pemaparan dan penjelasan mengenai wujud bahasa pasemon dalam teks puisi Indonesia yang meliputi bentuk struktur dan unsur tidak berlaku untuk puisi Indonesia yang dihasilkan oleh penyair berlatar belakang budaya non-Jawa.
Aspek makna ‘‘pasemon’’ merupakan representasi berbagai makna dalam berbagai konteksnya. Makna tersebut dapat berupa nilai budaya. Nilai-nilai budaya yang dipaparkan dalam kajian ini, tentu saja, terbatas pada puisi-puisi yang diangkat sebagai objek kajian. Aspek fungsi komunikatif sebagai representasi strategi penuturan ‘‘pasemon’’ difokuskan pada berbagai fungsi yang diemban oleh ‘‘pasemon’’ dalam teks puisi karya penyair berlatar belakang budaya Jawa.
Kajian “pasemon’’ dalam teks puisi Indonesia tidak terlepas dari pendekatan tekstual (analisis teks, hermeneutika, dan semiotika) yang memiliki perspektif berikut ini. Pertama, perwujudan “pasemon” dalam teks puisi ada dalam suatu totalitas teks puisi sehingga tidak dapat dideskripsikan secara isolatif. Kedua, “pasemon” dalam teks puisi selain memiliki tautan dengan unsur-unsur lain dalam satuan teksnya, juga merupakan subsistem yang unsur-unsurnya dapat disegmen-tasikan. Ketiga, “pasemon” sebagai unsur dalam teks puisi merupakan wujud gejala komunikasi bahasa yang selain memiliki hubungan kausal, antara lain dunia penyair dan pembacanya, juga memiliki unsur-unsur yang hadir secara simultan, yakni wujud paparan bahasa “pasemon” itu sendiri dengan berbagai aspeknya. Keempat, sebagai gejala komunikasi bahasa, “pasemon” selain memiliki aspek struktur formal, juga memiliki aspek semantis yang berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan oleh penyairnya.
“Pasemon’’ merupakan unit struktur bahasa yang dibentuk oleh adanya satuan hubungan kata-kata yang difung-sikan untuk menyampaikan gagasan secara tidak langsung, menciptakan suasana, serta mencapai nilai keindahan tertentu. Berdasarkan gambaran umum itu dapat dinyatakan bahwa “pasemon” di dalam teks puisi memiliki dimensi (1) penyair sebagai penyampai gagasan melalui paparan bahasa, (2) satuan hubungan kata-kata yang memiliki unsur dan ciri relasi tertentu, (3) satuan makna yang berhubungan dengan gagasan serta gambaran suasana tertentu, (4) relasi unit struktur bahasa pasemon dengan unsur-unsur lain dalam satuan teksnya, (5) nilai keindahan, dan (6) pembaca sebagai pemberi makna sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan penyair serta efek keindahan yang ingin dicapainya.
Istilah-istilah Teknis yang Digunakan
Penjelasan terhadap beberapa istilah teknis yang digunakan dalam buku ini dipandang penting agar terdapat persamaan dalam memahami fokus, arah, dan lingkup kajian ini. Beberapa istilah teknis yang perlu diberikan penjelasan dikemukakan dalam pa¬paran berikut ini.
“Pasemon” menurut Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Rustapa, dan Hani’ah, 1994) adalah “sindiran atau kecaman terselubung dalam sas¬tra Jawa”. Dalam kebudayaan Jawa, pasemon merupakan suatu cara ekspresi berupa sindiran halus, pengibaratan, pengiasan, perlambang, dan isyarat atau sugesti yang menunjukkan suatu sikap pada suatu saat. Kata “pasemon” berasal dari kata semu yang mendapat konfiks pa-an yang hadir secara simultan. Kata semu merupakan ajektiva yang berarti ‘tidak jelas’, ‘samar’, dan ‘bukan sebenarnya’, dan ‘sesuatu yang mendekatkan suatu sifat tertentu’. Konfiks pa-an berfungsi untuk membuat nomina. Melalui proses persandian [u] dan [a] berubah menjadi [o]. ‘’Pasemon’’ dalam buku ini diartikan sebagai suatu bentuk ekspresi verbal-tulis yang terdapat di dalam teks puisi dan yang digunakan oleh penyair sebagai cara berkomunikasi serta untuk mengungkapkan pesan tertentu. Ekspresi verbal-tulis tersebut biasanya terpapar dalam bahasa kias dan lambang yang menyiratkan berbagai makna ketika diinterpretasikan.
‘’Pasemon’’ memiliki wujud (appearance, form) yang terdiri atas bentuk struktur dan unsur. Bentuk struktur ‘’pasemon’’ ini didukung oleh penggu¬naan berbagai cara pengungkapan verbal secara tidak langsung. Bentuk struktur bahasa “pasemon” dimungkinkan berupa nominatif, predikatif, atau kalimatif. Bahasa “pasemon” nominatif tampil ketika “pasemon” dikemukakan melalui nomina pada subjek atau objek. Bahasa “pasemon” predikatif tampil ketika “pasemon” dikemukakan melalui predikat. Bahasa “pasemon” kalimatif tampil ketika keseluruhan kalimat mengemukakan “pasemon”.
Makna ‘’pasemon’’ dapat berupa beragam makna (gagasan dan pesan, substance) yang terekspresikan menurut berbagai konteks seperti penyair, pembaca, topik, latar, dan tujuannya. Makna ‘’pasemon’’ ini realisasinya dapat berupa nilai-nilai budaya seperti yang bersifat edukatif, filosofis, nilai etis, estetis, atau religius. ‘’Pasemon’’ sebagai bentuk dan cara ekspresi dalam komunikasi memiliki berbagai fungsi komunikatif. Sebagai gejala komunikasi lewat bahasa, ‘’pase-mon’’ memiliki ciri “polisemantis” dan “multi fungsional”. Dengan kata lain, di dalam ‘’pasemon’’ terkandung banyak fungsi. Setiap pa¬paran bahasa terdapat sejumlah fungsi (referensial, emotif, puitik, dll.) yang berkaitan dengan beberapa faktor (konteks, peman¬car, juru bicara, penyair), penerima (pembaca) dan berita atau pesan bahasa. Fungsi mana yang dominan tergantung pada faktor yang ditekankan. Pesan bahasa disampaikan secara fonis, grafis, dan leksi¬kosemantis. Makna dan fungsi komunikatif ‘’pasemon’’ ini pada da¬sarnya difungsikan oleh penyair untuk menyampaikan pesan edukatif, etis, estetis, filosofis, dan religius.
Dalam kajian ini istilah teks dan wacana dianggap sama. Puisi merupakan salah satu genre teks sastra, selain prosa dan drama. Sebagai teks, puisi memiliki kekhasan dalam bentuk pemaparan dan cara pemaparan bahasa sebagai wahana pengungkapnya. Teks puisi merupakan buah kreativitas penyair yang memiliki paparan bahasa bersifat polisemantis, terbentuk dari sistem bahasa natural dan sistem kode sesuai dengan konvensinya, di dalamnya terdapat pemadatan struktur kebahasaan, variasi pola struktur, dan mengandung makna. Sebuah teks puisi “adalah seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca” (Segers, 2000:25).
terima kasih postingannya. jadi ngerti makna pasemon
BalasHapus