Sabtu, 19 Februari 2011

MENGENAL "PASEMON" DALAM PUISI (3)

1. Hakikat Wacana/Teks Puisi
Istilah teks dapat disejajarkan dengan wacana. Istilah teks dan wacana mempunyai arti yang cukup kom­pleks. Hal ini tidak saja disebabkan istilah wacana atau diskursus merupakan kawasan dari bahasa, akan tetapi juga disebabkan ia berkaitan langsung dengan prak­tik sosial dan kehidupan sehari-hari. Sebagai kawasan bahasa, diskursus didefinisikan sebagai “cara ter­tentu dalam berbicara, menulis, dan berfikir” (Basley, dalam Piliang, 1999). Dengan kata lain, wacana identik dengan bahasa lisan. Diskursus atau wacana adalah cara tertentu dalam menggu­nakan bahasa. Akan tetapi wacana dan teks, keduanya tidak hanya merupakan cara ber­bahasa, melainkan juga berkaitan secara langsung dengan praktek bahasa tersebut, dan relasi-relasi sosial di belakangnya. Pendeknya, wacana dan teks berkaitan dengan penggunaan bahasa di dalam jaman, waktu, dan tempat (konteks) tertentu. Oleh karena wacana dan teks diprak­tikkan di dalam masyarakat, jaman, waktu dan latar belakang ma­syarakat yang berbeda, maka wacana dan teks ti­dak bersifat universal.
Wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistik (bahasa) atau lainnya (Edmonson, 1981: 4). Dalam pengertian ini, wacana identik dengan teks yang terikat oleh peristiwa ter­struktur. Teks ini merupakan urut-urutan ekspresi linguistik yang terstruktur membentuk keseluruhan yang padu atau uniter. Segers (2000:25) mendefinisikan teks sastra sebagai “seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur, serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca”. Di Eropah penelitian wacana atau teks dikenal sebagai penelitian text­linguistic. Para sarjana Eropah dengan demikian tidak membedakan teks dan wacana.
Wacana (teks) dianggap sebagai salah satu istilah umum dalam contoh pemakaian bahasa, yakni bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi (Richard, dkk., 1989). Di lain pihak, wacana (teks) merupakan rekaman keba­hasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Ko­munikasi dapat meng­gunakan bahasa lisan dan dapat pula menggu­nakan bahasa tulis. Apapun bentuknya, wacana (teks) mengasumsikan adanya penyapa (ad­dressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pe­sapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis (yang bisa disebut teks), penyapa adalah penulis, se­dang­kan pesapa adalah pembaca (lihat Sudarma, 1994: 4).
Sebuah wacana terdiri atas kalimat (tuturan) yang berurutan dan saling menopang dalam urutan makna secara kronologis. Se­buah wacana dapat kohesif dan koheren karena adanya (1) pasangan yang ber­dekatan, (2) penafsiran lokal, (3) prinsip analogi, dan (4) pentingnya koteks (lihat Brown dan Yule, 1983).  Dari karakteristik demikian, dapat saja terjadi sebuah wacana hanya terdiri atas satu kalimat. Di dalam puisi “Malam Lebaran” Sitor Situmorang, misalnya, hanya terdiri satu larik saja, yakni bulan di atas kuburan. Atau puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Kalian” hanya terdiri satu larik: pun!, “Luka”, hanya terdiri atas larik: ha ha. Jadi, satu larik di dalam puisi, dalam pengertian umum sama dengan kalimat atau tuturan dan dipandang sebagai wacana.
Setiap pendekatan analitis dalam linguistik yang melibatkan pertim­bangan-pertimbangan kontekstual, menurut Brown dan Yule (1996: 26), semestinya termasuk bidang kajian pragmatika. Melaku­kan analisis wacana tentu saja juga melibatkan sintaksis dan se­mantik, tetapi terutama adalah pragmatik. Pada analisis wacana, seperti pada pragmatik, kita memperhati­kan benar-benar apa yang dilakukan oleh pemakai bahasa, menerangkan ciri-ciri bahasa pada wacana sebagai sarana yang dipakai dalam apa yang mereka laku­kan. Ringkasnya, seorang penganalisis wacana memperlakukan da­tanya sebagai rekaman (teks) suatu proses dinamis yang menggunakan ba­hasa  sebagai alat komunikasi, dalam sebuah konteks, oleh pembicara atau penulis untuk mengekspresikan berbagai makna dan mencapai maksud/inti wacana tersebut. Berdasarkan data tersebut, penganalisis berusaha menjelaskan keteraturan dalam realisasi ba­hasa yang digunakan orang untuk mengkomu­nikasikan maksud atau keinginan.
Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian, jadi bersifat prag­matik (Samsuri, 1987/1988: 1). Pemahaman wacana lebih diti­tikberatkan pada hasil, baik dalam wujud lisan maupun tulis. Dalam pemahaman wa­cana dipertimbangkan hubungan antara pembicara-penyimak (ma­syarakat tutur) atau penulis-pembaca (ma­syarakat wa­cana). Dalam pemahaman tersebut di­pertimbangkan gejala keba­hasaan yang dise­but pragmatik. Dalam kaitan ini Soemarmo (dalam Dardjowidjojo, 1988:159) menyatakan bahwa pemaha­man memerlu­kan pengetahuan sintaksis, semantis, dan pragmatis.
Teks puisi memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai ma­salah kehidupan. Berbagai ma­salah kehidupan, baik berupa peris­tiwa yang terjadi dalam kehidupan se­hari-hari, se­suatu yang dialami oleh sastrawan, masalah sejarah-so­sial-politik-ekonomi-bu­daya, maupun berbagai fenomena kehidupan yang menjadi bahan renungan, ha­yatan, pe­mikiran sastrawan diekspresikan secara unik dan menarik. Keunikan dan daya tarik wacana puisi tersebut realisa­sinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sas­trawan selaku kreator. Sastrawan yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana puisi yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri. Teks puisi “di­bentuk dan dicipta­kan oleh sastrawan berdasarkan de­sakan emosional dan rasional” (Su­mardjo, 1982: 12). Puisi menu­rut wawasan Luxemburg (1986: 5), merupakan se­buah ciptaan, se­buah kreasi, dan bukan sebuah imi­tasi. Oleh karena itu, wajar apa­bila un­sur-unsur pribadi sastrawan seperti pengetahuan, peristiwa penting yang dialami, visi, misi, dan konsepsinya meronai puisi yang dicipta­kannya.
Teks puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra, selain prosa dan drama. Secara fisik, teks puisi terungkap melalui pemaparan bahasa yang pe­nuh dengan simbol, bahasa kias, dan gaya bahasa lainnya. Peng­gunaan simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa oleh seorang sas­trawan dimaksudkan untuk me­madatkan pengungkapan dan mengefektifkan pengung­kapan. Dengan pemakai-an simbol, bahasa kias, metafora, dan gaya bahasa tersebut, sastrawan dapat mencipta­kan puisi yang mengutamakan intensifikasi, korespondensi, dan musikalitas.
Intensi­fi­kasi, korespondensi, dan musikalitas inilah yang tampil dominan dalam karya sastra berbentuk puisi (bandingkan Esten, 1985; Semi, 1985; Teeuw, 1985). Intensifikasi merupakan upaya sastrawan memperdalam intensitas penuturan dengan berbagai cara pemaparan bahasa. Korespon­densi merupakan upaya sastrawan menjalin gagasan menjadi satu ke­satuan. Musikalitas meru­pakan upaya penyair mempermanis, mem­perkuat, dan menonjolkan efek puitik kepada hasil kreasinya. Dengan intensifikasi, korespondensi, dan mu­sikalitas yang baik sas­trawan mampu men­ciptakan puisi yang secara fisik berbeda dengan prosa. Jika prosa lebih bersifat menerangjelaskan, maka puisi bersi­fat memusat dalam perenungan.

2. Unsur Pembangun Teks Puisi
Sebagai salah satu genre sastra, unsur-unsur yang membangun teks puisi berbeda dengan prosa. Unsur-unsur tersebut adalah (1) diksi (diction), (2) imaji (imagery), (3) kata nyata (the concrete word), (4) gaya bahasa (figurative language), dan (4) ritme dan rima (rhythm and rime) (Morris, 1964: 617). Beri­kut ini aspek-aspek tersebut di­berikan pen­jelasan secukupnya.
Pertama, diksi. Diksi adalah seleksi kata-kata untuk mengekspresikan ide atau gagasan dan perasaan (Ahmadi, 1988: 126). Diksi yang baik adalah pemilihan kata-kata secara efektif dan tepat di dalam makna serta sesuai dengan tema, audien, dan ke­jadian. Diksi juga berarti penataan, penyusunan, dan pemilahan kata-kata ke dalam susunan tertentu yang secara efektif dapat mengungkapkan ide, gagasan, dan perasaan. Prinsip utama dalam diksi ada­lah bahwa dalam pemilihan dan penempatan kata harus se­suai, tepat, eko­nomis, dan tegas. Misalnya, larik puisi “Aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang” (“Aku”, Chairil Anwar). Kata ‘aku’ dipandang lebih sesuai, tepat, ekonomis, dan tegas daripada kata ‘saya, beta, hamba, atau daku’, diksi ‘binatang jalang’ dipandang lebih tepat daripada “binatang liar atau buas’, dan seterusnya. Hal yang penting diperhatikan ten­tang diksi dalam pen­ciptaan puisi, menurut Ahmadi (1988: 126-127), ialah bahwa setiap kata merupa­kan lambang atau simbol yang mengacu kepada sesuatu yang lain. Kata ‘aku’ dan ‘binatang jalang’ keduanya melambangkan kebebasan.
Penggunaan diksi dalam teks puisi, menurut Aminuddin (1995:215) se­cara umum memberikan gambaran berikut. Diksi dapat berupa kata dasar mau­pun kata yang telah mengalami proses morfologis, dapat berupa kata yang berciri autosemantis maupun sinsemantis. Dalam diksi terdapat kesesuaian hubungan kata-kata yang satu dengan yang lain, baik dalam rangka pencip­taan keseimbangan paduan bunyi maupun dalam penciptaan hubungan se­mantisnya. Ditinjau dari aspek semantisnya, kata-kata yang digunakan oleh penyair selain merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat de­notatif, juga merujuk pada kata yang ciri semantisnya bersifat konotatif. Se­cara aso­si­atif, kata-kata yang digunakan dapat menggambarkan kata-kata yang me­miliki hubungan secara indeksial, kolokasional, sinonimi, hiponimi, an­tonimi. Aspek referensial yang digunakan ber­sifat transparan, kabur, ikonis, hipokonis, hanya diacu­kan pada gambaran ciri semantis dasar maupun telah mengalami pemindahan dari ciri acuan semantis dasarnya. Kata-kata yang digunakan dapat memberi kesan kedaerahan, merujuk pada kata yang biasa diguna­kan dalam komunikasi sehari-hari, dan dapat pula memberi kesan vulgar.
Kedua, imaji. Imaji merupakan hasil pengolahan imajinasi atau pengimajian (imagery). Imaji dapat berupa kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau ka­limat. Imaji meru­pakan un­sur dasar yang khas dalam karya ber­ben­tuk puisi. Menurut Preminger (lihat Badrun, 1989) imaji adalah re­produksi dalam pikiran mengenai perasaan yang dihasilkan oleh per­sepsi yang bersifat fisik, mistis, dan psikis. Fungsi imaji di dalam puisi ialah menggugah perasaan, pikiran, dan kesan mental pembaca puisi. Jenis imaji di dalam puisi bermacam-macam. Ada imaji yang berhubungan dengan indera penglihatan disebut dengan imaji lihatan (visual image). Jenis imaji yang berhubungan dengan indera pendengaran disebut imaji dengaran (auditory image). Imaji yang ber­hubungan dengan indera peraba disebut imaji rabaan (tactile image). Imaji yang berhubungan dengan indera penciuman disebut dengan imaji bauan (nosey image) (Wellek dan War­ren, 1979: 236-237). Nukilan bait pertama puisi “Riwayat” (Sajak-sajak Lengkap, 1961—2001:8) karya Goenawan Mohamad berikut ini terdapat berbagai macam imaji.

Gelitikkan, musim, panasmu ke usiaku
bersama matari. Dari jauh
bumi tertidur oleh nafasmu, dan oleh daun
yang amat rimbun dan amat teduh
Dan seperti mimpi
laut kian perlahan
kian perlahan
         
                (Goenawan Mohamad, “Riwayat”)

Ketiga, gaya bahasa. Gaya menurut Kamus Istilah Sastra (Zaidan, Rus­tapa, Hani’ah, 1994) adalah cara pengungkapan dalam prosa atau puisi. Analisis gaya meliputi pilihan kata, majas, sarana retorika, bentuk kalimat, bentuk paragraf, dan setiap aspek pemakaian bahasa oleh penulis. Gaya ba­hasa, menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984) adalah pema­kaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang arti har­fiahnya. Gaya bahasa yang baik menimbulkan citra tertentu di dalam pikiran pem­baca puisi. Dengan kata lain, gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui ba­hasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepriba­dian. Oleh Hartoko dan Rahmanto (1986) gaya bahasa diarti­kan sebagai cara yang khas untuk mengungkap­kan diri. Cara terse­but meliputi setiap aspek bahasa seperti pemilihan kata-kata, peng­gunaan kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya. Dengan demikian bahasa kias dalam puisi termasuk bagian dari gaya bahasa.
Ruang lingkup kajian gaya bahasa meliputi identifikasi ben­tuk, ciri, unsur, hubungan antarunsur dalam wacana puisi. Dengan demikian, kajian gaya bahasa me­masuki wilayah yang berkaitan dengan komponen yang hadir secara simultan, yakni wacana puisi itu sendiri. Dari wacana puisi itu lebih lanjut dikaji aspek formal yang berkaitan dengan unit-unit gaya bahasa. Ka­jian unit-unit gaya ba­hasa itu dimanfaat­kan sebagai dasar pemilahan jenis gaya bahasa, identifikasi ciri, serta dasar dalam menafsirkan satuan-satuan pesan yang dikandungnya. Jenis gaya bahasa secara umum dibedakan menjadi gaya bahasa perbandingan, pertentang-an, pertautan, dan perulangan. Gaya bahasa tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah pe­milihan dan penggunaan kata serta pemvaria­sian struktur. Dalam kaitan ini, Ah­madi (1991) menyatakan bahwa “gaya bahasa adalah kualitas visi, pan­dangan penu­lis/penutur, karena gaya bahasa mere­fleksikan cara seseorang pengarang memilih dan meletakkan kata-kata dan kalimat dalam tubuh karangan”. Pe­milihan dan pema­kaian suatu kata sangat ditentukan oleh kemam­puan penulis dalam menangkap “rasa kata” atau tingkatan makna pada kata tersebut.
Gaya bahasa, termasuk di dalamnya bahasa kias, dapat dike­lompok­kan menurut berbagai segi, antara lain berdasarkan struktur kalimat dan berdasarkan lang­sung-tidaknya makna. Gaya bahasa yang memiliki acuan makna tidak langsung dibedakan menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris mencakup: aliterasi, asonansi, anastrof, apo­fasis, apostrof, asindeton, polisindeton, kiasmus, elipsis, eufemisme, litotes, pleo­nasme, tautologi, peri­frasis, prolepsis, pertanyaan retoris, koreksio, hiperbola, para­doks. Gaya ba­hasa kiasan mencakup: persamaan atau simile, metafora, alegori, per­soni­fi­kasi, alusi, eponim, epitet, sinekdoche, metonimi, antonomasia, hiplase, ironi, satire, antifrasis, dan paranomasia.
Ahmadi (1991) mengelompokkan gaya bahasa ke dalam dua kelom­pok, yakni gaya perasosiasian dan gaya penegasan. Pengelom­pokan Ahmadi ini sejajar dengan kategori gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan yang dikemukakan oleh Yassin (1996). Dari ber­bagai referensi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa kias sejajar dengan istilah gaya bahasa. Akhirnya, gaya bahasa dapat dikelom­pokkan ke dalam tiga kategori, yakni gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, dan gaya ba­hasa asosiasi (per­tautan dan perulangan) (Darmawan, 1995). Penelitian ini mengacu pada klasifikasi gaya bahasa yang dilakukan oleh Darmawan. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan pemakaian gaya bahasa metafora dalam puisi “Berlayar” karya Linus Suryadi A.G.

Kesetiaan kepada hidup
hidup kepada kesetiaan
Laksana jaring-jaring ikan
dijalin lalu dikembangkan
            ( Linus Suryadi A.G., “Berlayar”)

Keempat, ritme dan rima. Ritme dan rima besar pengaruhnya dalam memperjelas makna sebuah puisi. Ritma dan rima puisi ini erat berhubungan dengan pengertian (sense), perasaan (feeling), nada (tone), dan tu­juan (intention). Lebih lanjut, hubungan ritme dan rima dinyatakan oleh Morris, dkk., 1964: 620) “rhythm is the result of sys­temati­cally stressing or accenting words and sylables, whereas rime repeats similar sounds in some apparent scheme”. Dalam sastra Indone­sia, khususnya puisi, ritme tidak selalu berhubungan dengan tekanan dan ak­sen, melainkan pada panjang dan pendeknya tuturan, cepat dan lambatnya pembacaan, dan ditentukan oleh tipografi puisi.
Rima dibeda­kan men­jadi rima awal dan rima akhir.
Contoh rima awal:

Bagaikan banjir gulung gemulung
Bagaikan topan deruh-menderuh
Demikian rasa datang semasa
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
(J.E. Tatengkeng, “Perasaan Seni” bait I)

Contoh rima akhir:

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
(Amir Hamzah, “Padamu Jua” bait I)

Berdasarkan susunannya rima dapat berupa (1) rima berang­kai dengan susunan aa, bb, cc, dd …; (2) rima berselang, dengan susunan abab, cdcd…; (3) rima berpeluk dengan susunan abba, cddc.
Contoh rima berangkai dengan susunan aa, bb, cc, dd:

Di mata air di dasar kolam
Kucari jawab teka-teki alam

Di kawan awan kian kemari
Di situ juga jawab kucari

Kepada gunung penjaga waktu
Kutanya jawab kebenaran tentu
(J.E. Tatengkeng, “Kucari Jawab”)

Contoh rima berselang dengan susunan abab, cdcd:

Duduk di pantai waktu senja,
Naik di rakit buaian ombak,
Sambil bercermin di air-kaca,
Lagu diayunkan lagu ombak

Lautan besar bagai bermimpi
Tiada gerak, tetap berbaring
Tapi pandang karang di tepi
Di sana ombak memecah nyaring
(J.E. Tatengkeng, “Sepantun Laut” bait I, II)


Contoh rima berpeluk dengan susunan abba:

Perasaan siapa takkan nyala
Melihat anak berlagu dendang
Seorang sahaja berlagu dendang
Tiada berbaju buka kepala
Beginilah nasib anak gembala
Berteduh di bawah kayu nan rindang
Semenjak pagi meninggalkan kandang
Pulang ke rumah di senja kala
(M. Yamin, “Gembala”)

3. Karakteristik Teks Puisi
Riffaterre (1978:1—2) dengan tepat mengungkapkan karak-teristik teks puisi dalam ungkapan “Says one thing, means another” atau dalam ungkapan penyair Sapardi Djoko Damono dalam suatu kesempatan  “bilang begini, maksudnya begitu”. Kedua ungkapan yang dikemukakan oleh pakar sastra itu memiliki maksud bahwa puisi sebagai teks mengungkapkan sesuatu hal dan berarti hal lain secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketidaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya pemakaian kias seperti metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjamemen, dan persejajaran baris. Ketiga karakteristik ketidaklangsungan wacana puisi tersebut diterangjelaskan dalam paparan berikut ini.
Pertama, penggantian arti. Di dalam teks puisi, pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimi (Riffaterre, 1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kias) memiliki acuan makna sesuatu yang lain. Misalnya dalam puisi “Sajak Putih” karya Chairil Anwar (1959:19) berikut ini.

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah....
                            (Chairil Anwar, “”Sajak Putih”)

Bait pertama baris ke-3: Di hitam matamu kembang mawar dan melati. Kata ‘mawar’ dan ‘melati’ adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain, yakni sesuatu yang indah atau cinta yang murni. Secara umum, bahasa kias di dalam puisi seperti perbandingan, personifikasi, sinekdoki, dan metonimi itu biasa disebut saja dengan metafora meskipun sesungguhnya metafora itu berbeda dengan kiasan lain, memiliki sifat sendiri: metafora itu melihat sesuatu dengan perantaraan hal atau benda lain.
Dalam bait kedua baris pertama sepi menyanyi adalah personifikasi, dalam keadaan yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi: ‘sepilah yang menyanyi’ karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Dalam keadaan diam itu, jiwa si akulah yang beriak seperti air kolam kena angin. Dalam baris ke-3 dan 4 Dan dalam dadaku memerdu lagu menarik menari seluruh aku kata ‘lagu’ dan ‘menari’ itu mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan, yang bersandar pada tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat menyenangkan.
Dalam bait ketiga baris pertama: Hidup dari hidupku, pintu terbuka, mengiaskan bahwa ada jalan, ada harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya, yang dikiaskan dengan Selama matamu bagiku menengadah. Ketika kekasih masih mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. Selama engkau darah mengalir dari luka berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah, tidak bercerai. Semuanya itu merupakan “Sajak Putih”, yaitu pernyataan hati si penyair (sajak) yang diucapkan dengan tulus ikhlas (putih).
Kedua, penyimpangan arti. Penyimpangan arti terjadi apabila di dalam puisi ada ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense. Di dalam puisi kata-kata, frase, dan kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu. Misalnya dalam “Sajak Putih” Chairil Anwar bait ke-3 dan 4, baris-baris itu sesungguhnya ambigu: Hidup dari hidupku, pintu terbuka selama mataamu bagiku menengadah. Ini dapat ditafsirkan dengan arti gandi bahwa hidup si aku akan selalu ada jalan keluar, ada harapan-harapan, atau kegairahan. Selama kekasihnya masih suka memandang dia, masih mencintainya, masih setia kepadanya, masih percaya kepadanya, masih menghen-dakinya, masih membutuhkan si aku, maka si aku akan tetap merasa hidup bergairah. Selama kau darah mengalir dari luka, Antara kita Mati datang membelah... itu dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan arti kata dan kalimat yang terdapat di dalam ungkapan itu, misalnya: selama kau masih hidup, masih dapat merasakan sakitnya hidup, antara si aku dan kekasihnya tidak bertengkar, berselisih pendapat, dan juga tidak bercerai, maka si aku hidup penuh dengan harapan.
Di dalam teks puisi juga terdapat ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir, sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Dalam puisi Indonesia, penyair Subagio Sastrowardoyo sering menggunakan ironi, misalnya pada puisi berjudul “Nyanyian Ladang” berikut.

Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelah selesai melunas hutang
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan.
Pak tani, jangan menangis.

Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang.
Pak tani, jangan menangis.
                   (Subagio Sastrowardoyo, “Nyanyian Ladang”)

Dalam teks puisi tersebut si penyair seolah-olah menghibur pak tani, yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah cukup bagi pak tani: cukup istirahat, cukup punya kerja di sawah, punya sandang setelah lunas hutang, cukup punya pangan sesudah kondangan, cukup punya ladang buat bersawah. Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana dan sengsara, sebab penyair banyak menggunakan ungkapan Kau akan.... di balik ungkapan Pak tani, jangan menangis terdapat ironi: pak tani harus menagis dalam keadaan menderita itu, dalam keadaan melarat, hidup penuh hutang, punya makan setelah pergi kondangan.
Penyimpangan arti di dalam teks puisi juga dilakukan dengan nonsense. Nonsense merupakan bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab tidak terdapat dalam kosa kata, misalnya penggabungan dua kata atau lebih seperti sepisaupa, sepisaupi, terkekehkekeh-kekehkekehkekehkeh. Nonsense ini menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu, menimbulkan arti dua segi, menimbulkan suasana aneh, suasana gaib, ataupun suasana lucu. Dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Pot”: potata potitu potkaukah potaku?; dalam puisi berjudul “Herman”: kakekkekkakakek. Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’, ‘pisau’, dan ‘sapa’ menjadi sepisaupa, sepisaupi, sepisapanya sehingga sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga menjadi makna sepi seperti pisau menusuk. Ketika Sutardji menggabungkan kata ‘sepi’ dan ‘pikul’, menjadi ‘sepikul dosa’, maka dosa itu betapa berat dan sepi mencekam—dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau.
Ketiga, penciptaan arti. Menurut Riffaterre (1978:2) penciptaan arti terjadi bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengor-ganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya. Misalnya, simetri, rima, enjambemen atau ekuivalensi-ekuivalensi makna di antara persamaan-persamaan posisi dalam bait. Di dalam teks puisi sering terdapat keseimbangan berupa persejajaran arti antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait. Persamaan posisi (homologues) misalnya tampak dalam pantun atau yang sejenisnya. Semua tanda di luar kebahasaan itu menciptakan makna di luar arti kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralelisme. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan puisi berjudul “Mari” (1981:25) karya Sutardji Calzoum Bachri yang penuh persejajaran bentuk dan arti oleh ulangan yang berturut-turut terjadilah orkestrasi dan irama. Orkestrasi ini menyebabkan liris dan konsentrasi. Hal ini adalah makna di luar kebahasaan.

mari pecahkan botolbotol
ambil lukanya
jadikan bunga
mari pecahkan tiktok jam
ambil jarumnya
jadikan diam
mari pecahkan pelita
ambil apinya
jadikan terang
mari patahkan rodaroda
kembalikan asalnya:
jadikan jalan
mari kembali
pada Adam
sepi pertama
dan duduk memandang
diri kita
yang telah kita punahkan
ada dan tiada
yang disediakan Adam pada kita
dan
mari berlari
pada siri kita
dan kembali menyimaknya
dengan keheranan Adam pada perjumpaan
pertama dengan dunia
(Sutardji Calzoum Bachri, “Mari”)

Teks puisi termasuk ke dalam jenis wacana transaksional, karena hal yang dipandang penting ialah “isi” komunikasi. Teks puisi yang telah dipublikasikan bersifat umum, karena wacana puisi diciptakan oleh penyair tidak untuk dinikmati sendiri saja, melainkan untuk dibaca oleh masyarakat umum. Meskipun teks puisi diperuntukkan bagi masyarakat umum, teks puisi merupakan bentuk komunikasi yang khas. Dikatakan demikian karena “pesapa” dapat hadir, dapat juga tidak hadir, dan dapat berupa seorang atau lebih. Ciri khas yang lain adalah bahwa wacana puisi dapat dibaca pada waktu dan tempat yang jauh jaraknya dari waktu dan tempat penciptaannya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara penyair dan pembaca karya sastra bersifat khas pula. Selain itu, teks puisi merupakan wacana khas yang di dalam ekspresinya menggu-nakan bahasa dengan memanfaatkan segala kemungkinan yang tersedia.
Teks puisi berisi monolog, artinya ada satu instansi yang mengucapkan sesuatu di dalamnya. Dalam teks puisi instansi yang mengucapkan sesuatu itu disebut subjek lirik (aku lirik). Aku lirik ini di dalam teks puisi tidak selalu dapat ditunjuk dengan jelas. Kadang-kadang ia tinggal di latar belakang, seperti dalam pelukisan alam. Biasanya, aku lirik mengarahkan perhatian kepada dirinya sendiri dengan mempergunakan kata-kata seperti “aku” atau “-ku”. Kata-kata ini dapat menyertai pelukisan pengalaman atau perasaan yang sangat pribadi. Misalnya teks puisi “Pamflet Penyair” karya Rendra berikut ini praktis sama dengan penyairnya sendiri.

Inilah sajakku.
Pamflet masa darurat.
Apakah artinya renda-renda kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan.
Kepadamu aku bertanya.
                  (Rendra, “Pamflet Penyair”)

Gambaran aku lirik dapat disimpulkan dari teks itu sendiri. Gambaran tersebut dapat terjadi dengan berbagai cara. Teks itu sendiri dapat menyajikan fakta mengenai jenis kelaminnya, usia, wajah, dan pekerjaannya. Gambaran mengenai aku lirik itu tampak dari kata-kata yang diucapkan dan cara bercerita. Aku lirik itu berupa pengemban pikiran dan perasaan, bukannya selaku seorang manusia yang memiliki pola jiwa tertentu. Kedua puisi berikut, misalnya, menampilkan wajah aku lirik yang berbeda.

Kami jalan sama. Sudah larut.
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat.
               (Chairil Anwar, “Kawanku dan Aku”)


Kau menuding aku, aku menuding kau
kau dan aku menjadi satu
karna dindingku, karna dindingmu
dari mana kita, dunia  bersatu
              (Linus Suryadi AG, “Dinding-dinding Kota Yogya”)

Aku lirik di dalam teks puisi menyapa seseorang, misalnya “engkau”, “kawan”, “-mu”, dan lain-lain.  Tidak hanya orang perorangan yang disapa oleh aku lirik, tetapi juga ide-ide tertentu, gejala-gejala, para dewa, angin, awan, samodera, sebuah kota. Dalam sapaan retorik aku lirik memang menyapa seseorang atau sesuatu, tetapi tidak mengharapkan jawaban. Ungkapan serupa itu disebut apostrof.

4. Simbol dalam Teks Puisi
Simbol (symbol) adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol berbeda dengan lambang, simbol merupakan kata atau sesuatu yang dapat dianalogikan sebagai kata yang terkait dengan penafsiran pemakai, kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Hubungan antara simbol dan yang disimbolkan bersifat satu arah. Kata “bunga”, misalnya, tidak hanya memiliki hubungan timbal balik antara gambaran yang disebut “bunga”, melainkan secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan ‘keindahan’, ‘kelembutan’, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kesadaran simbolis selain dapat menampilkan gambaran objek yang diacu juga dapat menggambarkan idea, citraan, maupun konfigurasi gagasan yang mengatasi bentuk simbolik maupun gambaran objeknya sendiri. Dengan demikian pembuahan makna dari suatu simbol pada dasarnya merupakan perepresentasian ciri semantis yang secara abstrak juga dapat membentuk satuan pengertian tertentu.
Dapat dinyatakan bahwa simbol merupakan gejala khusus dari lambang. Sebagai bagian dari lambang, meskipun tidak semua lambang adalah simbol, simbol itu sendiri dapat disebut sebagai lambang. Simbol sebagai gejala khusus dari lambang karena keberadaan simbol terkait dengan lambang dan interpretasi, penggunaan dan penikmatan, keikutsertaan dan pemasukan ciri, seni dan mitologi, serta gejala lain menyangkut pengkreasian lambang. Sedangkan lambang merupakan ‘fakta’ yang dapat didudukkan secara isolatif terlepas dari hubungannya dengan penafsiran. Dapat dinyatakan bahwa lambang mengacu pada gejala yang lebih luas daripada simbol dan simbol hanya mengacu pada simbol verbal.
Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Eco (1983:134) bahwa “The symbolic is the activity by which experience is not only coordinate but also communicated. Kreasi simbolik bukan hanya menyangkut kegiatan kreasi simbolik tetapi juga terkait dengan penyampaian lambang itu dalam komunikasi. Penyusunan dan penyampaian lambang itu selain berhubungan dengan untaian isi juga berhubungan dengan bentuk yang mewujudkan untaian isi sebagai bentuk ekspresi. Oleh sebab itu, sebagai sistem, sistem simbolik selain terkait dengan dunia pengalaman, pengetahuan, dan intensi penuturnya juga terkait dengan konteks sosial budaya pemakainya. Pemakaian kata Adam sebagai nama pasangan Hawa, misalnya, tidak dapat semata-mata disikapi sebagai nama tetapi juga sebagai simbol yang mengemban isi tertentu sejalan dengan intensi penuturnya.
Bertolak dari uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa bentuk simbolik merupakan bentuk kebahasaan yang sudah terkait dengan dunia penafsiran pemakai bahasa dan secara asosiatif memiliki hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbolik itu sendiri. Unsur hubungan dengan berbagai aspek di luar bentuk simbolik itu antara lain ciri acuan simbolik, ciri acuan simbolik dengan pengertian lain yang diasosiasikan, hubungan antarsimbol dalam satuan teksnya, dan implikasi penggarapan bentuk simbolik itu pada wujud tuturannya. Jika bentuk simbolik terkait dengan bentuk, makna, dan perwujudannya sebagai teks maka pembicaraan tentang bentuk simbolik ditinjau dari objeknya akan merujuk pada bentuk kebahasaan dalam suatu teks, dalam hal ini adalah teks puisi.
Lambang ialah suatu pola arti, sehingga apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan terjadi suatu hubungan asosiasi. Lambang itu sendiri tidak langsung menunjukkan sesuatu. Kitalah yang menghubungkan lambang dengan apa yang dilambangkan. Dalam dunia puisi lambang-lambang yang dipergunakan seorang penyair seringkali sangat pribadi dan sukar dimengerti. Seperti halnya personifikasi, maka lambang-lambang yang dipergunakan oleh penyair pun pada umumnya bersifat metaforik.
Lambang dalam wacana puisi, menurut Bachtiar (1982), se­cara kate­goris dapat dibedakan (1) lambang konstitutif, yakni lam­bang yang membentuk keper­cayaan-kepercayaan, (2) lambang kogni­tif, yakni lambang yang mem­bentuk pengeta­huan, (3) lambang etis, yakni lambang yang membentuk nilai-nilai moral, dan (4) lambang ekspresif, yakni lambang yang mengungkapkan perasaan. Lambang estetik, menurut Suryawinata (Promotor I Disertasi) dapat ditambahkan untuk melengkapi pendapat Bachtiar tersebut. Dengan lam­bang estetik, penyair dapat mengkomunikasikan dan mengkong-kretkan ima­jinasi, intuisi, dan ide-idenya.
Wujud lambang budaya dalam teks puisi, sebagaimana dikemuka­kan oleh Barthes (dalam Hawkes, 1977: 116-118; Piliang, 1999:128-129), dibedakan dalam lima kode bahasa. Kelima kode tersebut adalah (1) kode hermeneu­tika (the hermeneutic code), yakni kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respon;  (2) kode semantik (the code of  semantic or signi­fier), yakni kode yang berada pada kawasan penanda—penanda khusus yang memiliki konotasi, atau tanda yang materialnya sendiri menawarkan makna konotasi; (3) kode simbolik (the symbolic code), yakni kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, di mana satu ungkapan mele­burkan diri ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi sehingga menggiring ke­mungkinan makna ke kemungkinan yang lainnya dalam indetermi­nasi;  (4) kode pro­raetik (the proraitic code), adalah kode yang mengatur satu alur cerita atau narasi—ia disebut juga kode aksi; dan (5) kode budaya (the cultural code), yakni kode yang mengatur dan mem­bentuk ‘suara-suara kolektif’ dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam.
Pembahasan bentuk simbolik dapat dihubungkan dengan figure.  Todorov (1987:91) mengemukakan, “Figure, this word come from fingere, in the sense of efformare, componere, to form, to dispose, to arrange”. Figure menyangkut perihal pembentukan, penempatan, penataan, pengurutan unsur kebahasaan dalam penyampaian gagasan. Penataan, pembentukan, dan pengurutan tersebut memiliki kekhasan, karena sebagaimana halnya dengan gaya, penataan, pembentukan, dan pengurutan unsur kebahasaan tersebut merupakan upaya mencapai efek tertentu sejalan dengan intensi penyairnya. Meskipun memiliki kekhasan, penggunaan figure bukan merupakan penyimpangan kaidah karena pengga-rapannya terkait dengan pengolahan kaidah kebahasaan guna menghasilkan paparan yang khas sehingga memiliki kekayaan nilai bagi pembacanya. Karakteristiknya selain ditentukan oleh ciri sistemik kaidahnya juga ditentukan oleh inovasi yang dilakukan oleh penyairnya.
Karya sastra sebagai bentuk komunikasi tidak dapat meninggalkan kata sebagai wahana ekspresi. Bertumpu pada anggapan bahwa pemaparan teks beretolak dari konfigurasi gagasan maupun bentuk ekspresi tertentu, pemilihan kata dalam kreasi penciptaan selalu memperhatikan satuan hubungannya dengan kata lain dalam satuan bentuk ekspresinya. Dalam puisi upaya menciptakan efek keindahan antara lain dilandasi oleh prinsip penggunaan kata sehemat mungkin untuk menyampaikan gambaran makna sebanyak mungkin.
Kata adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan makna tertentu. Kata sebagai lambang kebahasaan yang ada dalam dunia penafsiran pemakai bahasa pada dasarnya adalah simbol.  Berbeda dengan gambaran penger-tian simbol sebagaimana dikemuka-kan di atas, Pierce (1992) mengemukakan bahwa:

A symbol is a sign which refers to the object that is donotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object”.

Simbol diartikan sebagai lambang yang mengacu pada objek tertentu di luar lambang itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkan sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan maknanya. Dalam artian demikian, kata merupakan salah satu bentuk simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah kebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya.
I

5. Bahasa Kias dalam Teks Puisi
Secara tradisional, misalnya dalam wawasan Aristoteles, bahasa kias diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan ataupun analogi semantis yang umum dengan yang khusus ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan atau analogi tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam menggam-barkan citraan maupun gagasan baru.
Pada bentuk bahasa kias Aku ini binatang jalang, misalnya, terdapat dua hal yang diperbandingkan, yakni “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan tersebut dapat ditemukan persamaan ciri semantis antara “aku” dan “binatang jalang”. Pada perbandingan ciri semantis yang umum, “aku” memiliki ciri semantis sebagai ‘makhluk’, demikian juga “binatang”. “Aku” mempunyai ciri semantis bernyawa, begitu juga “binatang”. Pada sisi lain, perbandingan itu juga merujuk pada ciri semantis yang khusus dengan yang khusus. “Aku” sebagai makhluk ‘berkesadaran’ sebagai ciri khusus manusia diperbandingkan dengan “binatang” yang secara khusus diberi ciri ‘jalang’. Perbandingan sebagai salah satu ciri umum dari bahasa kias antara lain dapat berbentuk metonimi, sinekdok, simile, ironis, dan metafora.
Bahasa kias, menurut Aminuddin (1995:234), umumnya terkait dengan (1) perbandingan atau penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap pengamatan realitas secara natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap, maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu kata-kata tersebut; dan (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan terbentuk melalui proses kreatif pemakainya. Proses kreatif tersebut secara esensial terkait dengan kreasi dalam membentuk gagasan, menghubungkan gagasan dengan kata-kata dan kongkretum yang dicitrakannya maupun potensi citraan itu dalam menuansakan pengertian-pengertian tertentu.
Berbeda dengan penggunaan bahasa kias dalam komunikasi sehari-hari yang sudah menjadi milik umum, bahasa kias dalam wacana puisi merupakan bahasa kias yang bersifat personal. Meskipun bersifat personal, penelusuran pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan penelusuran pema-haman bahasa kias yang umum. Hal itu disebabkan oleh karena bahasa kias dalam wacana puisi tentu merupakan kreasi batiniah penyair yang berhubungan dengan penuansaan gagasan, pencitraan, pengalaman kultural, dan konteks kewacanaannya.
Bahasa kias dapat dibedakan menjadi tiga, yakni (1) metaforik, (2) metonimik, dan (3) ironik. Pertama, kiasan metaforik, yakni kiasan yang bertumpu pada adanya kesejajaran ciri citraan antara analogon dengan sesuatu yang dianalogikan. Kedua kiasan yang metonimik, yakni kiasan yang didasarkan pada hubungan eksternal antara kata yang digantikan dengan yang menggantikan secara tetap. Kesejajaran pada perbandingan yang metaforik merujuk pada kesejajaran persepsi suatu realitas. Sedangkan hubungan eksternal yang bersifat tetap merujuk pada hubungan antara dua kata yang ditinjau dari ciri semantisnya secara asosiatif memiliki hubungan semantis secara tetap.
Dalam metafora, dua objek atau pengertian diperbanding-kan secara implisit. Dalam ucapan rumahku melindungi aku bagaikan sebuah benteng, rumah dibandingkan dengan sebuah benteng. Benteng disebut pembanding sedangkan rumah unsur yang dibandingkan. Kata penghubung “bagaikan” berfungsi sebagai mata rantai antara pembanding dan apa yang dibandingkan. Dalam ucapan tersebut motif tidak disebut secara eksplisit. Kita sendiri harus mencari aspek kemiripan antara rumah dan benteng, misalnya, ‘di samping aspek perlindungan dapat juga dibayangkan aspek kokoh-kuat’. Dalam bentuk metaforis, ungkapan tersebut dapat dinyatakan dalam ungkapan “rumahku bentengku” atau cukup “bentengku” saja.
Di dalam wacana puisi, metafora-metafora sering berbelit-belit. Ini antara lain disebabkan karena apa yang dibandingkan harus disimpulkan dari konteks. Misalnya ungkapan Lorong-lorong tidur yang tuli mengandung metafora ganda. Metafora ganda ini diuraikan dulu menjadi dua, yaitu ‘lorong tidur’ dan ‘lorong tuli’. Kemudian kita meneliti kata-kata itu menurut arti harfiah dan kiasan. Mengingat konteksnya, maka ‘lorong tuli’ rupanya dipakai menurut arti kiasan, sedangkan ‘tidur’ menurut arti harfiah. Kalau kita tinjau ‘lorong tuli’ tersendiri, maka ‘lorong’ dapat dianggap sebagai unsur harfiah, sedangkan ‘tuli’ sebagai sebuah metafora. Kemudian kita berusaha menetapkan apa yang diperbandingkan, artinya mencari kata-kata lain sebagai pengganti ‘tuli’ dan ‘lorong’ sehingga terjadi suatu ungkapan yang menurut arti harfiah mempunyai arti. ‘Lorong tuli’ mungkin bisa ditafsirkan sebagai lorong-lorong yang tertutup bagi kenyataan, seperti orang-orang tuli juga terpisah dari lingkungannya. ‘Lorong tidur’ dapat diartikan sebagai kawasan yang kita lintasi waktu tidur (bermimpi). Jadi apa yang dibandingkan ialah ‘bagian mimpi yang terpisah dari kenyataan’.
Pembedaan metafora dengan metonimi dalam beberapa kasus dapat ditentukan berdasarkan ciri hubungannya dengan kata yang diperbandingkan atau digantikan. Pada hubungan yang metaforis penentuannya dapat dilakukan dengan melihat karakteristik hubungan kemungkinan kata yang diperbandingkan secara paradigmatis. Pernyataan Berkakuan kapal di pelabuhan, misalnya, mengandaikan “kapal” secara paradigmatis dapat digantikan dengan kata “tubuh”, pernyataan itu dapat dikomposisikan menjadi “Berkakuan tubuh di pelabuhan”. Pernyataan yang metonimik hanya merujuk pada hubungan secara sintagmatis, dalam arti antara kata yang menggantikan itu tidak dapat membentuk hubungan secara paradigmatis.
Bentuk pernyataan yang juga digolongkan sebagai bahasa kias ialah ironi. Kata ironi berasal dari eiron yang berarti ‘penyembunyian’, ‘penipuan’, ‘pura-pura’. Dengan demikian pernyataan yang secara tersembunyi mengandung pengertian lain selain yang secara eksplisit dinyatakan merupakan ironi. Dalam ironi penyampaian pengertian secara tidak langsung itu dinyatakan melalui penggunaan kata/kata-kata yang ditinjau dari ciri semantisnya bertentangan atau mungkin memiliki acuan lain yang memiliki hubungan asosiatif. Bahasa kias yang ironik ini merupakan wujud pasemon dalam wacana puisi.
Pemahaman bahasa kias dalam wacana puisi merupakan kegiatan ‘pemberian makna’ pada bentuk, citraan yang ditampil-kan, gagasan yang dinuansakan, karakteristik hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, dan kemungkinan efeknya bagi pembaca. Guna memperoleh gambaran mengenai bentuk bahasa kias, pembaca perlu membaca puisi secara keseluruhan. Melalui kegiatan membaca, pembaca selain memperoleh gambaran untaian isi puisi diharapkan juga dapat memperoleh gambaran kemungkinan segmentasi bahasa kias sesuai dengan satuan konstruksinya, hubungan antara satuan bahasa kias itu dengan unsur lain dalam satuan teksnya, hubungan makna kata-kata yang satu dengan yang lain secara asosiatif, sebaran penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi, dan karakteristik penggunaan bahasa kias dalam wacana puisi.
Bahasa kias secara esensial berhubungan dengan (1) perbandingan maupun penghubungan ciri dunia acuan berdasarkan tanggapan terhadap hasil maupun penghubungan ciri realitas natural; (2) kesejajaran, hubungan secara tetap maupun percampuran ciri dunia acuan secara tetap; (3) penggarapan medan ciri semantis kata-kata yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari persepsi terhadap objek yang diacu oleh kata-kata; (4) dunia pengalaman maupun konteks sosial budaya pembentuknya. Sebagai fakta penggunaan bahasa, bahasa kias tidak terwujud dalam bentuk siap pakai melainkan secara esensial terkait dengan kreasi pembentuknya.

6. Proses Komunikasi Puisi
Jika seseorang setuju bahwa puisi terutama berkaitan dengan pertanyaan “apa yang membuat pesan verbal menjadi karya seni?” (Jacobson, 1960:350), maka penyair seharusnya tertarik pada pertanyaan bagaimana teks puisi berfungsi dalam komunikasi manusia (Balcerzan, 1974:194). Dalam kajian puisi jelas bahwa seseorang harus memanfaatkan dukungan yang ditawar-kan semiotik karena komunikasi manusia adalah salah satu objek yang mungkin dari semiotik (van Dijk, 1971:68).

Dari sudut pandang teori komunikasi, tiga lapisan komunikasi dapat dikenali dalam teks puisi. Lapisan pertama berkenaan dengan hubungan komunikasi antara penyair, teks, dan pembaca. Lapisan kedua dan ketiga didapati di dalam teks itu sendiri: tingkatan kedua terdiri atas komunikasi antara narator dan pembaca implisit (implied reader, menunjuk pada peran pembaca dalam teks); tingkatan ketiga terdiri atas hubungan komunikasi timbal balik antarpelaku dalam teks. Dalam bab ini pembicaraan difokuskan pada lapisan komunikasi pertama, yaitu antara penyair, teks, dan pembaca.

Roman Jacobson adalah salah seorang dari teoretikus yang pertama-tama menjelaskan proses komunikasi teks puisi. Dalam artikelnya yang terkenal, Linguistics and Poetics, Jacobson menerangkan bahwa ada enam fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk setiap jenis komunikasi verba. “ADDRESSER ‘PENGIRIM’ mengirimkan suatu MESSA-GE ‘PESAN’ kepada seseorang ADDRESEE ‘YANG DIKIRIMI’. Agar operatif, pesan tersebut memerlukan CONTEXT  ‘KONTEKS’, sehingga dipahami oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikan; suatu CODE ‘KODE’ secara penuh atau paling tidak sebagian, umum bagi pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuat kode dan pengarti kode); dan akhirnya, suatu CONTACT ‘KONTAK’, suatu saluran fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan yang dikirimi, memungkinkan keduanya memasuki dan berada dalam komunikasi (Jacobson, 1960:353).
Oleh Jacobson, fungsi puitik sering didefinisikan sebagai: “seperangkat yang mengarah kepada PESAN secara terpusat, pada  PESAN itu sendiri, merupakan fungsi PUITIK bahasa” (Jacobson, 1960:356). Dengan demikian, fungsi puitik dapat dijumpai dalam semua proses komunikasi verbal, apabila perhatian hanya diarahkan pada pesan itu sendiri. Sesungguhnya Jacobson telah menunjukkan pada tahun 1935 bahwa fungsi puitik atau estetik tidak terbatas pada teks puisi khususnya dan karya seni pada umumnya, tetapi muncul juga dalam artikel surat kabar, ceramah, dan sebagainya. Seseorang dapat mengimajinasikan bahwa dalam bacaan, misalnya dalam studi sejarah, fungsi puitik (yang disebabkan oleh pemakaian bahasa “puisi”) bersaing keras dengan fungsi referensial (suatu deskripsi tentang situasi-situasi tertentu dalam sejarah). Pertanyaan yang dapat diajukan dnegan mengingat konsep Jacobson tentang fungsi puitik adalah apakah seorang pengkaji mampu menentukan dominan-nya fungsi puitik di atas fungsi-fungsi potensial dalam suatu teks tertentu.
Dari sudut pandang teori informasi, sebuah teks puisi dapat dipandang sebagai seperangkat tanda yang ditransmisikan melalui saluran kepada pembaca. Dalam proses pembacaan puisi, saluran komunikasi terdiri atas halaman-halaman kertas putih dengan ketikan hitam. Kode yang dipilih penyair dan diketahui atau sebagian diketahui oleh pembaca memungkinkan pembaca untuk men-decode tanda-tanda tektual dan mengaitkan makna dengan materi teks.  Perbedaan antara saluran dan kode agaknya dapat diterangkan begini, saluran memungkin-kan pembaca membaca teks puisi, sedangkan kode memungkinkan pembaca untuk menafsirkan teks puisi. Konsep tentang kode, informasi, denotasi, dan konotasi akan dibicarakan secara singkat untuk memperjelas proses komunikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar