Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra. Studi sastra meliputi tiga bidang: teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra (Wellek & Warren, 1968:27). Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya (Wellek, 1978: 35). Hal ini sesuai dengan pengertian kritik sastra Indonesia modern juga, seperti dikemukakan oleh H.B. Jassin (1959:44—45), yaitu kritik sastra itu merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra.
Untuk mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut perlu dikemukakan guna kritik sastra. Kritik sastra dapat digolongkan menjadi tiga (Pradopo, 1988:17), yaitu pertama untuk perkembangan ilmu sastra sendiri, kedua, untuk perkembangan kesusastraan, dan ketiga untuk penerangan masyarakat pada umumnya. Kegunaan pertama, kritik sastra dapat membantu penyusunan teori sastra dan sejarah sastra. Kegunaan yang kedua, kritik sastra membantu perkembangan kesusastraan suatu bangsa dengan menjelaskan karya sastra mengenai baik-buruknya karya sastra dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Dengan demikian para sastrawan dapat mengambil manfaat dari kritik sastra sehingga mereka dapat memperkembangkan penulisan karya sastra mereka yang kemudian mengakibatkan perkembangan kesusastraan. Kegunaan yang ketiga, kritik sastra menguraikan (menganalisis, menginterpretasi, dan menilai) karya sastra. Dengan demikian, masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra ini bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 1988:17—23).
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi, dan evaluasi atau penilaian. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu ada analisis (Hill, 1966:6), yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Analisis itu merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi. Sebuah karya sastra itu berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Oleh karena itu, karya sastra perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra (Abrams, 1981:84). Dalam arti sempitnya, inter-pretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya. Karya sastra adalah karya seni. Oleh karena itu, harus diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya sastra itu. Analisis dan penafsiran karya sastra harus dihubungkan dengan penilaian (Wellek, 1968:156). Ketiga aktivitas kritik sastra tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan dalam mengkritik karya sastra karena ketiganya saling erat hubungan dan saling menentukan.
Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai karya sastra adalah orientasi karya sastra yang menentukan arah atau corak kritik sastra. Orientasi karya sastra itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra: alam (kehidupan), pembaca, penulis, dan karya sastra. Berdasar-kan hal itu ada empat orientasi, yaitu orientasi (1) mimetik, (2) pragmatik, (3) ekspresif, dan (4) objektif (Abrams, 1979:6; 1981:36—37). Pertama, orientasi mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, cerminan, ataupun representasi alam maupun kehidupan. Kriteria yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” representasi objek-objek yang digambarkan ataupun yang hendak digambarkan. Kedua, orientasi pragmatik memandang karya sastra sebagai sarana untuk mencapai tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi, ataupun pendidikan). Orientasi ini cenderung menimbang nilai berdasarkan pada berhasilnya mencapai tujuan. Ketiga, orientasi ekspresif memandang karya sastra sebagai ekspresi, luapan, ucapan perasaan sebagai hasil imajinasi pengarang, pikiran-pikiran, perasaan-perasaannya. Orientasi ini cenderung menimbang karya sastra dengan keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visi atau keadaan pikiran dan kejiwaan pengarang. Keempat, orientasi objektif memandang karya sastra sebagai sesuatu yang mandiri, otonom, bebas dari pengarang, pembaca, dan dunia sekelilingnya. Orientasi ini cenderung menerangkan karya sastra atas kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antarunsur yang membentuk karya sastra.
Di samping orientasi sastra, yang penting bagi pembicaraan masalah kritik sastra ialah jenis-jenis kritik sastra guna melihat corak-corak kritik sastra yang pernah dilakukan (ditulis) para sastrawan, umum, dan para ahli sastra. Jenis-jenis kritik sastra dapat dikelompokkan berdasarkan bentuknya, metode (penerapan), tipe-tipe kritik sastra, dan penulis kritik sastra. Berdasarkan bentuknya, kritik sastra dapat digolongkan menjadi kritik sastra teoretis dan kritik sastra praktis (terapan). Kritik sastra teoretis atau teori kritik sastra adalah prinsip-prinsip kritik sebagai dasar penilaian karya sastra. Kritik terapan atau kritik praktik berupa penerapan teori atau prinsip kritik sebagai dasar penilaian pada karya sastra.
Berdasarkan metode (penerapannya) ada tiga jenis kritik sastra, yaitu kritik induktif, kritik judisial, dan kritik impresionistik. Abrams (1981:35—37) menjadi kritik judisial dan kritik impresionistik. Kritik judisial adalah kritik sastra yang berusaha menganalisis dan menerang-kan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, teknik dan gayanya. Kritik judisial mendasarkan pertimbangan-pertimbangan individual kritikus atas dasar standar umum tentang kehebatan dan keluar-biasaan sastra. Kritik induktif adalah kritik sastra yang menguraikan bagian-bagian atau unsur-unsur karya sastra berdasarkan fenomena-fenomenanya yang ada secara objektif.
Kritik impresionistik adalah kritik sastra yang berusaha dengan kata-kata menggambarkan sifat-sifat yang terasa dalam bagian-bagian khusus atau dalam sebuah karya sastra, dan mengekspresikan tanggapan-tanggapan (impresi) kritikus yang ditim-bulkan secara langsung oleh karya sastra tersebut. Oleh Elliot (1960:3—4) kritik impresionistik disebut juga sebagai kritik yang estetik. Dalam jenis ini kritikus menunjukkan kesan-kesannya atas suatu objek dan ia memberikan tafsiran untuk mengagumkan pembaca, untuk menimbulkan kesan-kesan yang indah kepada pembaca. Jadi, dalam kritik sastra impresionistik kritikus menguraikan kesan-kesannya yang pokok-pokok terhadap suatu karya sastra, yang kadang bersifat subjektif. Berdasarkan penulis kritik dan juga corak kritiknya, kritik sastra dapat digolongkan menjadi kritik sastrawan dan kritik akademik. Kritik sastrawan ditulis oleh para sastrawan, biasanya bercorak ekspresif dan impresi-onistik. Kritik akademik adalah kritik sastra yang ditulis oleh para akademisi sastra dan bercorak ilmiah.
KRITIK AKADEMIK DAN KRITIK SASTRAWAN
Para penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode 1920-1955 itu merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya impresionistik, bertipe ekspresif dan pragmatik, ditulis tidak menurut sistematika ilmiah, bersifat esaistis, tidak ada analisis yang merenik (sebagai contoh, baca tulisan-tulisan Goenawan Mohamad & Sapardi Djoko Damono pada bab 6 dan 7). Pada periode itu belum ada kritik sastra yang ditulis secara panjang lebar, kecuali kritik puisi Sutan takdir Alisjahbana yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (1969). Tulisan itu dimuat bersambung pada Panji Pustaka tahun 1934 sampai dengan matinya pada waktu pendudukan Jepang (1942). Tulisan Takdir Alisjahbana itu dimaksudkan sebagai “usaha memberi pukulan maut pada syair dan pantun lama, yang sudah lama tiada berisi dan berjiwa lagi” (Alisjahbana, 1969:4).
Kurang lebih pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra akademik atau kritik ilmiah. Sesungguhnya, penulisan kritik akademik atau kritik ilmiah telah dimulai oleh Slamet-mulyana pada tahun 1950-an dengan judul tulisannya “Kemana Arah Perkem-bangan Puisi Indonesia?” (1953). Hanya saja baru sesudah tahun 1950-an corak kritik akademik ini berkembang dengan tampilnya A. Teeuw, Umar Junus, J.U. Nasution, dan para kritikus akademik dari kampus Rawamangun Fakultas Sastra UI. Beberapa contoh kritik akademik ini dapat dibaca pada bab-bab selanjutnya.
Corak kritik akademik ini berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastranya berupa penelitian ilmiah terhadap karya sastra dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya ialah pembicaraan yang sampai kepada hal-hal kecil, ada analisis yang merenik; disusun dalam susunan yang sistematik; sebagian unsur karya sastra disoroti; ada per-tanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat; pernyataan disertai argumentasi dan pembuktian; menggunakan sandaran pandangan atau pendapat para ahli sastra yang berhubungan untuk memperkuat pernyataan atau argumentasinya; mempergunakan metode ilmiah baik metode deduktif maupun induktif, bahkan juga dipergunakan metode statistik dan tabel; dan mempergunakan teknik penulisan yang lain.
Timbulnya kritik ilmiah ini segera menimbulkan reaksi para sastrawan. Misalnya pada awalnya adalah reaksi Rustandi Kartakusumah dan harijadi S. Harto-wardojo yang menuduhnya karya ilmiah itu sebagai kritik induktif yang interpretatif, tidak ada penilaian, sebagian besar hanya berupa penafsiran saja (Kartakusumah, 1960:17). Selanjutnya dikatakan bahwa kritik ilmiah tidak bisa diterima, lebih-lebih pada kurun zaman itu di Indonesia. Lagi pula, kritik ilmiah sifatnya serba lahir. Kemudian ia menyatakan “Jika sekiranya kritik ilmiah masih ada harganya bagi dunia sastra yang telah maju di Barat, di Indonesia ia akan menambah kekacauan ukuran dan sama sekali tidak akan memberi wawasan”.
Meskipun ada reaksi dari para sastrawan, kritik akademik terus berjalan, terus ditulis oleh para kritikus akademik, terutama untuk penulisan skripsi, penelitian sastra ilmiah, makalah, dan disertasi. Dengan makin banyaknya diterbitkan kritik sastra ilmiah berupa buku, pada tahun 1960-an timbul reaksi baru dari para sastrawan di antaranya yang tampil ke depan adalah Goenawan Mohamad dan Soe Hok Djin (Arief Budiman). Mereka memberi ciri kritik akademik sebagai kritik analitik. Hal ini disebabkan kritik akademik itu terlalu mencincang-cincang karya sastra, menganalisis karya sastra terlalu analitik, antara bagian-bagiannya saling berpisah-pisah, tidak ada kesatuan, karya sastra hanya dianggap sebagai kadaver (mayat) di atas meja bedah. Dengan demikian, kritik sastra kehilangan kemesraannya.
Untuk menandingi kritik akademik itu mereka mengemukakan kritik sastra dengan metode Ganzheit, yaitu melihat karya sastra sebagai keseluruhan (tidak dicincang-cincang), mengkritik karya sastra itu sesungguh-nya mengadakan pertemuan yang mesra dengan sastrawannya, berdialog, tidak dalam hubungan subjek dan objek, melainkan pertemuan antara subjek dengan subjek yang merdeka. Begitulah dikemukakan oleh Arief Budiman dalam salah satu tulisannya yang terkenal “Metode Ganzheit dalam Kritik Seni” (1968:101—103). Di samping itu, tulisan Arief Budiman berupa buku yang berjudul Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan (1976) skripsi sarjananya merupakan contoh kritik sastra dengan metode Ganzheit. Kalau dikaji, orientasi sastra kritik Arief Budiman itu bertipe ekspresif, memandang karya sastra sebagai luapan perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarangnya. Jadi, kritik Arief Budiman ini mirip atau sama dengan kritik J.E. Tatengkeng dalam tulisannya “Tujuh Belas tahun sesudah Chairil Anwar Wafat” (1967:100—104).
Atas reaksi para sastrawan terhadap kritik akademik yang diberi ciri sebagai kritik analitik itu, terjadilah perdebatan dan polemik. Kritik akademik diwakili oleh M.S. Hutagalung yang memproklamir-kan kritiknya sebagai “Kritik Sastra Aliran Rawa-mangun”, sedangkan dalam polemik itu pengikut kritik sastra metode Ganzheit diwakili oleh Arief Budiman. Atas keberatan kepada kritik sastra ilmiah ini, M.S. Hutagalung mengemukakan pembelaannya terhadap kebaikan dan manfaat kritik ilmiah berjudul “Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan Indonesia” dalam bukunya Membina Kesusastraan Indonesia Modern (1987). Dikemukannya manfaat penelitian sastra (kritik sastra) ilmiah, yaitu (1) penelitian ilmiah membuat orang lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri, sebagaimana adanya dan sebagaimana dirinya; (2) kritik sastra yang bersifat ilmiah akan lebih dapat diper-tanggungjawabkan, subjektivitasnya dapat dihindari, pengertian tentang nilai-nilai akan lebih jelas; dan (3) penelitian ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan, serta membina kesusastraan di masa datang.
Periode 1956—1975 merupakan periode kritik akademik taraf pertama, di situ tampak kritik akademik itu mempergunakan metode ilmiah dengan prinsip-prinsip kritik sastra yang umum. Baru sesudah tahun 1975, timbul kritik sastra ilmiah yang baru, yaitu disamping memper-gunakan metode ilmiah yang umum, kritik sastra akademik yang baru ini mempergunakan teori kritik sastra yang khusus dengan metodenya yang khusus pula. Hal ini disebabkan antara lain kian banyaknya teori sastra dan kritik sastra dari barat. Di antaranya kritik sastra strukturalisme dengan metode struktural; teori kritik sosiologi sastra dengan metode sosiologisnya, di antaranya teori dan metode strukturalisme genetik; kritik sastra strukturalisme dalam rangka semiotik; teori kritik sastra dan metode estetika resepsi; teori kritik sastra dekonstruksi dan metodenya; dan teori kritik sastra feminis. Dengan masuknya teori dan kritik sastra yang baru ini, kritik sastra akademik betul-betul menjadi kritik sastra ilmiah, dalam arti mempunyai teori sendiri yang khusus denganmetodenya sendiri yang khusus.
Atas membanjirnya teori sastra dan kritik sastra yang baru dari Barat ini, kemudian timbul reaksi dari sastrawan, terutama pelopornya Subagio Sastrowardojo. Ia seorang tokoh sastra penyair, kritikus sastra berasal dari kalangan akademik, tetapi corak kritiknya ekspresif yang merupakan ciri khas kritik sastrawan. Subagio Sastro-wardojo memberikan reaksi bahwa penggunaan teori kritik dari Barat begitu saja diterapkan dalam mengkritik karya sastra Indonesia itu tidak tepat. Hal ini disebabkan teori kritik sastra Barat itu berdasarkan sastra Barat yang mempunyai latar belakang sosial budaya sendiri, yang berlainan dengan latar belakang sosial budaya kesu-sastraan Indonesia. Di samping itu, kritik sastra Barat yang baru itu seringkali didasarkan pada sebuah karya sastra tertentu seorang sastrawan tertentu sehingga teori dan metode kritiknya tidak dapat begitu saja diterapkan dalam mengkritik sastra Indonesia. Reaksi Subagio itu disam-paikan dalam makalahnya berjudul “Kesimpulan-kesimpulan dari Pengalaman Menulis” (1984) dan “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri” (1988).
TEORI STRUKTURAL, SEMIOTIK, ESTETIKA RESEPSI
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, untuk memahaminya haruslah karya sastra dianalisis. Dalam analisis itu karya sastra diuraikan unsur-unsur pembentuknya. Dengan demikian, makna keseluruhan karya sastra akan dapat dipahami. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu adalah sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh (Hawkes, 1978:16). Di samping itu, sebuah struktur sebagai kesatuan yang utuh dapat dipahami makna keseluruhannya bila diketahui unsur-unsur pembentuknya dan saling hubungan di antaranya dengan keseluruhannya. Unsur-unsur atau bagian-bagian lainnya dengan keseluruhannya.
Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketanda-an. Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu, menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempu-nyai arti (Preminger, 1974:981). Seperti telah disebutkan bahwa arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karya sastra oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna karya sastra, haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan yang memungkinkan dipro-duksinya makna. Konvensi-konvensi apa yang mendasari timbulnya makna ini dieksplisitkan dalam konkret-isasi (Preminger, 1974:981). Konvensi-konvensi sastra ini bermacam-macam. Hal ini sesuai dengan sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jeniss-jenis sastra. Misalnya dalam puisi liris, di antaranya berupa ciri-ciri formal seperti enjambemen, sajak, metrum, dan ulangan-ulangan bunyi. Semuanya itu merupakan tanda-tanda yang menyumbangkan efek puitis sebagai maknanya. Konvensi puisi liris yang lain di antaranya seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984:104—105) berasal dari Culler adalah tiga konvensi dasar: (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.
Pertama, jarak dan deiksis. Puisi itu karya rekaan, maka ucapan itu bukanlah pencatatan tindak ucapan yang empiris, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, di sini ada “jarak” antara situasi si aku penulis dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik. Keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.
Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupa-kan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya (Teeuw, 1984:196). Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Di samping konvensi di atas, ada juga konvensi puisi yang lain, yang dapat dipergunakan untuk konkreti-sasi. Konvensi ini hendaknya dicari pembaca puisi berdasarkan keajegan puisi dari dulu hingga sekarang. Misalnya, konvensi puisi yang lain itu seperti dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1—2) bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusi selera yang selalu berubah, tetapi ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketak-langsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran baris (lihat Pradopo, 1987:209—222).
Tentu saja tiap-tiap genre sastra itu mempunyai konvensi sendiri-sendiri di samping konvensi sastra yang umum. Misalnya saja dalam roman atau cerpen selain ada konvensi kesatuan yang bulat (organic wholes), ada juga konvensi yang berhubungan dengan konvensi cerita seperti konven-si alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan lain-lainnya. Dalam analisis untuk memberi makna-nya, maka konvensi-konvensi yang berhubungan dengan itu dieksplisitkan.
Karya sastra tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sbelum karya sastra dicipta, sudah ada karya sastra yang mendahuluinya. Pengarang tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyim-pangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980:12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan. Sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungan-nya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertekstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre (Teeuw, 1983:65). Seringkali karya sastra berdasar atau berlatar pada karya sastra yang lain, baik karena menentang maupun karena meneruskan karya-karya yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian itu oleh Riffaterre disebut hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:66). Misalnya, dalam hal masalah emansipasi roman Belenggu mendapatkan makna hakikinya bila dikontraskan dengan Layar Terkembang yang menjadi hipogramnya. Begitu juga makna Layar Terkembang akan mendapat makna lebih penuh bila disejajarkan dengan roman Siti Nurbaya yang menjadi hipogramnya. Belenggu menentang ide emansipasi yang berlebih-lebihan yang menyebabkan kehidupan rumah tangga yang tidak bahagia, penuh ketidak-harmonisan, dan ketegangan. Semua itu tergambar dalam Belenggu. Hal ini kontras dengan ide emansipasi dalam Layar Terkembang yang menghendaki wanita bebas menentukan nasibnya, bahkan kalau perlu tidak usah kawin bila tanpa cinta dan haknya tidak sama dengan laki-laki (selanjutnya bacalah bab 4 dan 5 sebagai contohnya). Dalam puisi, tampak beberapa puisi Chairil Anwar berhipogram puisi-puisi Amir Hamzah. Di situ puisi-puisi Chairil Anwar menen-tang pikiran-pikiran maupun konsep estetik Pujangga Baru yang tersirat dalam puisi-puisi Amir Hamzah (selanjutnya baca contoh pada bab-bab selanjutnya).
Karya sastra dicipta oleh seorang pengarang. Ia tidak dapat terlepas dari masyarakat dan budayanya. Seringkali sastrawan sengaja menonjolkan kekayaan budaya masyarakat, suku bangsa, atau bangsanya. Hal ini tampak lebih-lebih dalam karya sastra Indonesia sejak tahun 1970 meskipun sebelumnya latar sosial budaya ini juga tampak dalam karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, untuk memahami dan memberi makna kepada karya sastra, latar sosial budaya ini harus diperhatikan.
Ketika kritikus hendak memberi makna novel Upacara (Korrie Layun Rampan), maka diharapkan kritikus memahami latar belakang budaya Dayak. Begitu juga ketika kritikus hendak memberi makna pada Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), maka haruslah diketahui konsep hidup orang Jawa dan kebudayaan Jawa. Tanpa semua itu, Pengakuan Pariyem tidak dapat dipahami dan tidak diberi makna dengan sepenuhnya. Ketika kritikus akan memberi makna puisi-puisi Subagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG, yang berlatar belakang budaya wayang, maka tidak boleh tidak latar belakang wayang yang bersang-kutan harus diketahui atau diterangkan dengan jelas mengenai hubungan antartokoh, peristiwa-peristiwa, dan konteks ceritanya.
Karya sastra tidak terlepas dari penulisnya. Penulis/pengarang memberikan intensinya dalam karyanya. Karya sastra merupakan luapan dan penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak boleh diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan. Hal ini disebabkan oleh hal bahwa belum tentu intensi pengarang itu dapat dijelmakan dalam karya sastra secara sempurna sebab karya sastra bermedia bahasa yang mempunyai sifat sendiri yang tidak begitu saja “tunduk” kepada kemauan pengarang. Di samping itu, juga masalah-masalah teknik penulisan seringkali menjadi penghalang bagi penulis untuk menyampaikan intensinya. Meskipun demikian, faktor pengarang tidak dapat diabaikan. Kemungkinan besar, keterangan-keterangan pengarang mengenai karyanya, baik dalam hal ekspresi ataupun pikiran yang dikemukakan, sangatlah perlu untuk memahami karyanya tersebut. Lebih-lebih bila karyanya menunjukkan adanya teknik dan pemikiran baru yang belum dikenal oleh masyarakat sastra. Di samping itu, pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan pengarang tentang seni sastra pada umumnya sangat bermanfaat untuk mempermudah pengungkapan makna karya sastranya.
Meskipun menurut teori objektif (struktural) bahwa bila pengarang menerangkan karyanya sendiri, maka sesungguhnya ia berlaku sebagai pembaca terhadap karyanya sendiri, akan tetapi, pastilah tafsiran-tafsiran terhadap karyanya sendiri itu akan “lebih” menunjukkan ketepatan daripada tafsiran pembaca yang lain, yang “hanya” berdasarkan teks yang tertulis. Namun, kete-rangan penulis atas karyanya sendiri itu memang tidak harus dimutlakkan sebab karyanya sebagai sistem tanda memang mempunyai konvensi sendiri yang objektif berdasarkan kompetensi sastra yang dilaksanakan.
Dikemukakan Jauss (1974:12—13) bahwa apresiasi pembaca pertama sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Tiap pembaca itu memiliki horizon harapan sendiri. Horizon harapan itu menurut Segers (1978:41) ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang dibaca oleh pembaca, kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun horizon “luas” dari pengetahuan-nya tentang kehidupan. Jadi, bila pembaca itu mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna”, dapat mengisi “tempat-tempat terbuka” dengan baik.
Dalam teori estetika resepsi yang menjadi perhatian utama adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca (Jauss, 1974:12). Hal itu disebabkan bahwa kehidupan historis sebuah karya sastra tidak terpikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepssi atau tanggapan para pembacanya. Menurut Jauss (1974:12—13) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya terungkap. Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang memberikan wajah yang sama masing-masing pembaca di setiap periode.
Dalam metode estetika resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh pembacanya. Pembaca dalam hubungan ini yang dimaksud adalah pembaca yang cakap, bukan awam, yaitu para kritikus sastra, ahli sejarah, dan ahli estetika. Dengan demikian, penelitian dengan metode estetika resepsi, seperti dikemukakan oleh Segers (1978: 49), ialah (1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebu-ah karya sastra dalam masa sejarahnya, dan (2) meneliti hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak dan di lain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi.
Referensi
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. London-Oxford-NewYork: Oxford University Press.
Abrams, M.H. 1981. Glossary of Literary Terms. New York-London: Holt, Rinnehart and Winston.
Budiman, A. 1976. Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hawkes, T. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Metruen & Co. Ltd.
Hill, K.C. 1966. Interpreting Literature, Chicago: The University Press of Chicago.
Jauss, H.R. 1974. “Literary History as a Challange”. Dalam Ralp Cohen (ed). New Direction in Literary History. London: Roudledge & Kegan paul.
Pradopo, R.D. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, R.D. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Lukman.
Riffaterre, M. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana University Press.
Preminger, A. 1974. Princeton Encyclopeia of Poetry and Poetics. Princeton: Princeton University Press.
Segers, R.T. 1978. The Evaluation of Literary Texts. Lisse: The Peter de Ridder.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1993. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, R. & Warren, A. 1968. Theory of Literature. New York: Harvest Books, Harcourt, Brace and Company.
Assalamualaikum...
BalasHapusizin mempelajari materi ini ya pak...
sekaligus menjadi referensi :)