Sabtu, 19 Februari 2011

MELACAK JEJAK TANDA DAN DIRI DALAM PUISI-PUISI NANANG SURYADI

Dimas Arika Mihardja

….
huruf-huruf berjumpalitan
kata-kata melompat-lompat menari-nari
mendendangkan segala yang ada
muntahkan idea kepada dunia
….
“Membaca Tanda” (dimuat dalam Orang Sendiri Membaca Diri, Swa Indonesia Foundation, 1997 hal. 29, karya Nanang Suryadi)

(1)

Hari ini, Kamis 1 April 2010 saya menerima email berisi segepok puisi karya Nanang Suryadi (NS). Kaget. NS merencanakan menerbitkan tiga kumpulan puisi dan sekaligus meminta saya menulis sepatah pengantar. Edan, begitu reaksi spontan, tiga kumpulan puisi sekaligus! Dan lebih edan lagi setelah membaca puisi-puisinya aku diserbu oleh: huruf-huruf berjumpalitan/ kata-kata melompat-lompat menari-nari/mendendangkan segala yang ada/ muntahkan idea kepada dunia. Setelah belasan tahun aku berpisah dengan NS (terakhir baca puisi bareng tahun 1997 di Malang) dan saat itu NS sedang asyik sebagai “orang sendiri membaca diri”. Kini di tahun 2010 di saat peringatan Hari Sastra sebagai dedikasi Chairil Anwar yang menggigil menghadapi kematiannya di bulan April beberapa tahun yang lalu, NS menyodorkan puisi dan dirinya untuk dibaca oleh orang lain. Emangnya orang lain bisa membaca karya sebagai sosok diri pribadi penyairnya secara akurat?

Benarlah sahabat batinku, Wahyu Prasetya (Semoga Allah menjaga kesehatannya), yang ogah menulis kata pengantar bagi buku NS bertajuk Orang Sendiri Membaca Diri , dengan dalih “Baik buruknya puisi dalam sebuah antologi sudah dipastikan sama-sama akan jatuh ke tangan pembacanya. Dari sinilah puisi diuji. Apakah yang diharapkan dari (hanya) sekedar pengantar?” . Meski begitu, Wahyu Prasetya di dalam “Bukan Pengantar” buku Orang Sendiri Membaca Diri (1997) selanjutnya menulis seperti ini:
“Untuk menyebut puisi-puisi sahabat ini (maksudnya NS), secara jujur dapat saya katakana, ia masih dikepung oleh pengaruh-pengaruh penyair lain. Terasa masih dominannya tema, ide dan pola konvensional. Di mana kerap terjadi pengulangan kata pada sajak, membuatnya menjadi kedodoran. Sedangkan pencarian lewat bentukan sintaksis baru belum cukup. Kelalaian yang dilakukan Nanang adalah ketika memasuki pola improvisatoris. Dari riset + wawasan literernya ia tidak atau belum menemukan substansi dari apa yang disebut puisi yang baik + indah.

Sesungguhnya, puisi tidak berhenti pad aide, namun merupakan perluasan dalam pengalaman batin. Dengan demikian seorang penyair akan menyadari bahwa ada anak tangga yang nantinya akan ditempuh. Karenanya, puisi-puisi yang baik akan selalu mengalir, mengendap, menumbuhkan perenungan yang kontemplatif”.

Lantas adakah relevansi pernyataan Wahyu Prasetya itu dengan pengantar ini? Tentu saja ada, mengingat karya dan kekaryaan seorang penyair dapat dilacak jejaknya sebagai tanda diri penyairnya. Inilah sebbnya pengantar ini dilabeli “Melacak Jejak Tanda dan Diri Puisi-puisi Nanang Suryadi”.

Sejujurnya, jika mau aman, saya dapat berposisi sebagaimana Wahyu Prasetya yang membebaskan pembaca dalam memaknai puisi. Akan tetapi, ada alas an lain, kenapa saya mau membuat pengantar bagi puisi-puisi NS yang terdapat di dalam buku ini. Alasan pertma dan utama, sebuah pengantar alih-alih dapat sebagai jembatan penghubung antara kompleksitas puisi yang relative sulit dipahami dengan pembaca yang senyatanya amat beragam pula bekal untuk memahami puisi. Bagi pembaca kritis-kreatif semisal para penyair dan kritikus, mungkin sebuah pengantar dipandang terlampau nyinyir. Akan tetapi bagi pembaca pada umumnya, sebuah pengantar bias sedikit membantunya untuk sedikit berkenalan dengan puisi.

Pengantar ini dibuat sebagai upaya melacak jejak tanda dan diri puisi seorang penyair bernama Nanang Suryadi. Apakah setelah melakukan perjalanan kreatif puluhan tahun Nanang Sunardi mampu meraih apa yang disebut “the ultimate reality”? Kebenaran tertinggi, atau capaian estetis tertinggi dapatkah diraih oleh seorang Nanang Suryadi di dalam proses kepenyairannya? Pertanyaan sederhana inilah yang saya coba terapkan sebagai semacam pendekatan dalam menghadapi puisi-puisi dalam buku ini.


(2)
Teks puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu ada analisis (Hill, 1966:6), yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Analisis itu merupakan salah satu sarana penafsiran atau interpretasi. Sebuah teks puisi itu berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, struktur rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Oleh karena itu, teks puisi perlu ditafsirkan untuk memperjelas artinya. Interpretasi adalah penafsiran karya sastra, dalam arti luasnya adalah penafsiran kepada semua aspek karya sastra (Abrams, 1981:84). Dalam arti sempitnya, interpretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya. Teks puisi adalah karya seni. Oleh karena itu, harus diterangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya teks puisi itu.

Analisis dan penafsiran teks puisi harus dihubungkan dengan penilaian (Wellek, 1968:156). Ketiga aktivitas kajian puisi tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena ketiganya saling erat hubungan dan saling menentukan. Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai teks puisi terdapat empat orientasi pendekatan yang menentukan arah atau corak kajian puisi. Orientasi pendekatan kajian puisi itu berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra, yakni: alam (kehidupan), pembaca, penulis, dan karya sastra. Berdasarkan hal itu ada empat orientasi, yaitu orientasi (1) mimetik, (2) pragmatik, (3) ekspresif, dan (4) objektif (Abrams, 1979:6; 1981:36—37).

Pertama, orientasi mimetik memandang teks puisi sebagai tiruan, cerminan, ataupun representasi alam maupun kehidupan. Kriteria yang dikenakan pada teks puisi adalah “kebenaran” representasi objek-objek yang digambarkan ataupun yang hendak digambarkan. Kedua, orientasi pragmatik memandang teks puisi sebagai sarana untuk mencapai tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi, ataupun pendidikan). Orientasi ini cenderung menimbang nilai berdasarkan pada berhasilnya mencapai tujuan. Ketiga, orientasi ekspresif memandang puisi sebagai ekspresi, luapan, ucapan perasaan sebagai hasil imajinasi pengarang, pikiran-pikiran, perasaan-perasaannya. Orientasi ini cenderung menimbang puisi dengan keasliannya, kesejatiannya, atau kecocokan dengan visi atau keadaan pikiran dan kejiwaan pengarang. Keempat, orientasi objektif memandang teks puisi sebagai sesuatu yang mandiri, otonom, bebas dari pengarang, pembaca, dan dunia sekelilingnya. Orientasi ini cenderung menerangkan teks puisi atas kompleksitas, koherensi, keseimbangan, integritas, dan saling hubungan antarunsur yang membentuknya.

Analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Hal ini mengingat bahwa puisi itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Karya sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua yang mempergunakan bahan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu, menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempu-nyai arti (Preminger, 1974:981). Seperti telah disebutkan bahwa arti bahasa ini ditingkatkan menjadi makna karya sastra oleh konvensi tambahan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan makna karya sastra, haruslah diketahui konvensi-konvensi tambahan yang memungkinkan diproduksinya makna.

Konvensi-konvensi apa yang mendasari timbulnya makna ini dieksplisitkan dalam konkretisasi (Preminger, 1974:981). Konvensi-konvensi sastra ini bermacam-macam. Hal ini sesuai dengan sifat sastra secara umum dan secara khusus sesuai dengan jeniss-jenis sastra. Misalnya dalam puisi liris, di antaranya berupa ciri-ciri formal seperti enjambemen, sajak, metrum, dan ulangan-ulangan bunyi. Semuanya itu merupakan tanda-tanda yang menyumbangkan efek puitis sebagai maknanya. Konvensi puisi liris yang lain di antaranya seperti dikemukakan oleh Teeuw (1984:104—105) berasal dari Culler adalah tiga konvensi dasar: (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.

Pertama, jarak dan deiksis. Puisi itu karya rekaan, maka ucapan itu bukanlah pencatatan tindak ucapan yang empiris, maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, di sini ada “jarak” antara situasi si aku penulis dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik. Keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.

Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.

Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya (Teeuw, 1984:196). Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Di samping konvensi di atas, ada juga konvensi puisi yang lain, yang dapat dipergunakan untuk konkretisasi. Konvensi ini hendaknya dicari pembaca puisi berdasarkan keajegan puisi dari dulu hingga sekarang. Misalnya, konvensi puisi yang lain itu seperti dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1—2) bahwa puisi itu dari dulu hingga sekarang meskipun selalu berubah oleh konsep estetik dan evolusi selera yang selalu berubah, tetapi ada satu hal yang tinggal tetap, yaitu puisi yang menyatakan satu hal dan berarti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Menurut Riffaterre ketaklangsungan itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu (1) penggantian arti (displacing of meaning) oleh adanya metafora dan metonimi; (2) penyimpangan arti (distorsing of meaning) oleh adanya ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense; dan (3) penciptaan arti (creating of meaning) oleh adanya bentuk-bentuk visual seperti tipografi, enjambemen, dan persejajaran baris (lihat Pradopo, 1987:209—222).

Tentu saja tiap-tiap genre sastra itu mempunyai konvensi sendiri-sendiri di samping konvensi sastra yang umum. Misalnya saja dalam roman atau cerpen selain ada konvensi kesatuan yang bulat (organic wholes), ada juga konvensi yang berhubungan dengan konvensi cerita seperti konven-si alur, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan lain-lainnya. Dalam analisis untuk memberi maknanya, maka konvensi-konvensi yang berhubungan dengan itu dieksplisitkan.

Puisi tidak lahir dalam situasi kosong, tidak lepas dari sejarah sastra. Artinya, sebelum puisi dicipta, sudah ada puisi yang mendahuluinya. Penyair tidak begitu saja mencipta, melainkan ia menerapkan konvensi-konvensi yang sudah ada. Di samping itu, ia juga berusaha menentang atau menyimpangi konvensi yang sudah ada. Karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dengan yang baru (Teeuw, 1980:12). Oleh karena itu, untuk memberi makna karya sastra, maka prinsip kesejarahan itu harus diperhatikan. Sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungan-nya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Ini merupakan prinsip intertekstualitas yang ditekankan oleh Riffaterre (Teeuw, 1983:65).

Seringkali puisi berdasar atau berlatar pada karya puisi yang lain, baik karena menentang maupun karena meneruskan karya-karya yang menjadi latar itu. Karya sastra yang menjadi dasar atau latar penciptaan karya sastra yang kemudian itu oleh Riffaterre disebut hipogram. Sebuah karya sastra akan dapat diberi makna secara hakiki dalam kontrasnya dengan hipogramnya (Teeuw, 1983:66). Dalam puisi, misalnya, tampak beberapa puisi Chairil Anwar berhipogram puisi-puisi Amir Hamzah. Di situ puisi-puisi Chairil Anwar menen-tang pikiran-pikiran maupun konsep estetik Pujangga Baru yang tersirat dalam puisi-puisi Amir Hamzah. Puisi-puisi gubahan Nanang Suryadi berhipogram dengan puisi-puisi Afrizal Malna, puisi-puisi Goenawan Mohamad, puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardojo, dan para penyair lain yang mendahului Nanang Suryadi. Puisi dicipta oleh seorang penyair. Ia tidak dapat terlepas dari masyarakat dan budayanya. Seringkali penyair sengaja menonjolkan kekayaan budaya masyarakat, suku bangsa, atau bangsanya. Hal ini tampak lebih-lebih dalam karya sastra Indonesia sejak tahun 1970 meskipun sebelumnya latar sosial budaya ini juga tampak dalam karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, untuk memahami dan memberi makna kepada karya sastra, latar sosial budaya ini harus diperhatikan.

Ketika pembaca hendak memberi makna pada Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), misalnya, maka haruslah diketahui konsep hidup orang Jawa dan kebudayaan Jawa. Tanpa semua itu, Pengakuan Pariyem tidak dapat dipahami dan tidak diberi makna dengan sepenuhnya. Ketika pengkaji akan memberi makna puisi-puisi Subagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Linus Suryadi AG, yang berlatar belakang budaya wayang, maka tidak boleh tidak latar belakang wayang yang bersangkutan harus diketahui atau diterangkan dengan jelas mengenai hubungan antartokoh, peristiwa-peristiwa, dan konteks ceritanya.

Puisi tidak terlepas dari penyairnya. Penyair memberikan intensinya dalam karyanya. Puisi merupakan luapan dan penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman penyairnya. Oleh karena itu, faktor penyair tidak boleh diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan. Hal inii disebabkan oleh hal bahwa belum tentu intensi penyair itu dapat dijelmakan dalam puisi secara sempurna sebab puisi bermedia bahasa yang mempunyai sifat sendiri yang tidak begitu saja “tunduk” kepada kemauan penyair. Di samping itu, juga masalah-masalah teknik penulisan seringkali menjadi penghalang bagi penyair untuk menyampaikan intensinya. Hal ini dapat dilacak jejaknya pada teknik penulisan Nanang Suryadi yang selalu bergeser dari tahun ke tahun, yang pada akhirnya Ia merambah gaya Afrizalian dalam penulisan puisi dengan memodifikasi menghilangkan tanda baca dan penulisan huruf besar, serta menggantikan personifikasi benda-benda dengan aku lirik yang terkait dengan subjek (manusia).
Meskipun demikian, faktor penyair tidak dapat diabaikan. Kemungkinan besar, keterangan-keterangan penyair mengenai karyanya, baik dalam hal ekspresi ataupun pikiran yang dikemukakan, sangatlah perlu untuk memahami karyanya tersebut. Lebih-lebih bila karyanya menunjukkan adanya teknik dan pemikiran baru yang belum dikenal oleh masyarakat sastra. Di samping itu, pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan pengarang tentang seni sastra pada umumnya sangat bermanfaat untuk mempermudah pengungkapan makna karya sastranya. Meskipun menurut teori objektif (struktural) bahwa bila penyair menerangkan karyanya sendiri, maka sesungguhnya ia berlaku sebagai pembaca terhadap karyanya sendiri, akan tetapi, pastilah tafsiran-tafsiran terhadap karyanya sendiri itu akan “lebih” menunjukkan ketepatan daripada tafsiran pembaca yang lain, yang “hanya” berdasarkan teks yang tertulis. Namun, kete-rangan penulis atas karyanya sendiri itu memang tidak harus dimutlakkan sebab karyanya sebagai sistem tanda memang mempunyai konvensi sendiri yang objektif berdasarkan kompetensi sastra yang dilaksanakan.

Dikemukakan Jauss (1974:12—13) bahwa apresiasi pembaca pertama sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Tiap pembaca itu memiliki horizon harapan sendiri. Horizon harapan itu menurut Segers (1978:41) ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang dibaca oleh pembaca, kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun horizon “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan. Jadi, bila pembaca itu mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna”, dapat mengisi “tempat-tempat terbuka” dengan baik. Terkait dengan ini, tahun 1997 penyair Nanang Suryadi menulis seperti ini:

“Ketika aku mengumpulkan puisi-puisi dalam buku ini, aku hanya ingin berbagi cerita padamu. Seperti ketika Abah dulu mendongeng, sebelum kami—anak-anaknya—tertidur oleh usapan tangannya di punggung, aku pun ingin bercerita tentang sesuatu atau berbagai hal. Yang mungkin itu membuatmu muak, mungkin itu membuatmu terhibur, mungkin itu akan membuatmu tertawa, mungkin itu akan membuatmu menangis, mungkin…..Ya, mungkin hanya itu yang sementara ini bias aku rumuskan: aku hanya ingin bercerita padamu. Tentang segala hal yang aku rasakan selama ini, tentang segala halyang menjadi ideaku, tentang segala hal yang kusaksikan, tentang segala kecintaan….”

Dalam teori estetika resepsi yang menjadi perhatian utama adalah pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra, dan masyarakat pembaca (Jauss, 1974:12). Hal itu disebabkan bahwa kehidupan historis sebuah karya sastra tidak terpikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepssi atau tanggapan para pembacanya. Menurut Jauss (1974:12—13) apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai estetiknya terungkap. Sebuah karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri dan yang memberikan wajah yang sama masing-masing pembaca di setiap periode.

Dalam metode estetika resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-tanggapan sebuah karya sastra oleh pembacanya. Pembaca dalam hubungan ini yang dimaksud adalah pembaca yang cakap, bukan awam, yaitu para kritikus sastra, ahli sejarah, dan ahli estetika. Dengan demikian, penelitian dengan metode estetika resepsi, seperti dikemukakan oleh Segers (1978: 49), ialah (1) merekonstruksi bermacam-macam konkretisasi sebuah karya sastra dalam masa sejarahnya, dan (2) meneliti hubungan di antara konkretisasi-konkretisasi itu di satu pihak dan di lain pihak meneliti hubungan di antara karya sastra dengan konteks historis yang memiliki konkretisasi-konkretisasi.

(3)
Sejarah perpuisian mencatat, puisi Indonesia modern yang pertama ditulis adalah puisi berjudul “Tanah Air” karya Mohamad Yamin, dimuat dalam Jong Sumatera No. 4, Tahun III, April 1920. Karya Mohamad Yamin itu sesungguhnya merupakan respon terhadap karya sebelumnya (Riffaterre via Teeuw, 1983:65), baik berupa tanggapan baru maupun penyambutan yang bersifat penerusan konvensi sebelumnya, tetapi sekaligus juga sering menyimpangi konvensi yang telah ada atau pun norma puisi sebelumnya. Hal itu menunjukkan bahwa puisi tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Demikian juga puisi itu merupakan tegangan antara konvensi dan inovasi (Teeuw, 1983:4, 11).

Sebelum Mohamad Yamin menulis “Tanah Air” itu, di Indonesia sudah ada sastra Melayu lama, khususnya puisi Melayu lama yang ragam utamanya berupa pantun dan syair yang merupakan puisi tradisional atau konvensional. Mohamad Yamin merespon pantun dan syair ini, menyimpangi norma-norma yang tradisional atau konvensional. Akan tetapi, ia juga meneruskan sebagian konvensi puisi lama dalam puisi-puisinya. Kemudian, jejak langkah Mohamad Yamin ini diikuti oleh penyair-penyair sezamannya. Akhirnya kelompok penyair sezaman Mohamad Yamin dengan karya-karyanya itu membentuk sebuah angkatan sastra yang dikenal dengan nama Angkatan Pujangga Baru. Nantinya puisi Pujangga Baru itu akan direspon oleh penyair-penyair periode sesudahnya dengan karya-karya puisinya.

Persambungan sejarah puisi dari periode ke periode selanjutnya menunjukkan ciri-ciri tertentu sesuai dengan periodenya. Hal ini sesuai dengan pengertian sejarah sastra sendiri, yaitu studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra dari sejak lahirnya sampai pada perkembangannya yang mutakhir (Wellek, 1968:25; Pradopo, 1988:12). Sejarah sastra tidak lepas dari masalah periodisasi (pembabakan waktu) untuk menunjukkan perkembangan sastra dari periode ke periode. Periode adalah bagian waktu yang dikuasai oleh norma-norma sastra dan konvensi-konvensi sastra, yang munculnya, meluasnya, variasi, integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut (Wellek, 1968:265).

Pada dekade 2000-an, di mana Nanang Suryadi masuk di dalamnya, menunjukkan pergeseran wawasan estetik yang ditandai oleh berubahnya struktur larik dan bait. Larik dan bait dalam puisi Chairil Anwar terikat dalam kesatuan sintaksis yang memolakan suatu bait. Meskipun baitnya hanya berisi satu larik, setiap baitnya merupakan satu kesatuan korespondensi yang selesai. Larik pada puisi-puisi Sutardji calzoum Bachri merupakan kumpulan enjambemen yang menghubungkan antarsintaksis—bahkan kadang antarkata—yang kemudian terhimpun di dalam bait yang—hampir selalu—tidak selesai. Selesaian bait biasanya diakhiri oleh suatu kejutan yang memberi sugesti tertentu, baik sugesti magis maupun sugesti psikologis yang berujung pada pertanyaan, berita, harapan, atau kengerian. Larik pada Afrizal Malna bersifat netral, karena puisi Afrizal sebenarnya tersusun dalam bait yang sesungguhnya nirbait. Puisi tidak pernah punya selesaian karena sajak dapat dibalik secara sungsang dan baitnya dibalik ke atas atau ke bawah, maknanya tidak akan berubah. Larik sama fungsinya dan kedudukannya dengan bait, karena larik itu sendiri merupakan bait. Dengan revolusi tipografi semacam ini, Afrizal mengubah arus dasar plot pikiran dan tema yang mengalir dari awal larik hingga akhir bait ke arah komunikasi kata per kata di dalam sajak.

Revolusi tipografi ini membawa pembaruan pada kedudukan kata di dalam sajak. Chairil Anwar menempatkan kata yang komunikatif dari perasan sinar wahyu, sebagaimana yang dimaksudkan William Blake (17757—1827) tentang logos. Kata jadi terang bercahaya dan mumpuni dalam kedudukannya yang ningratis dan tanpa substitusi. Pribadi kata begitu kuat dan angker, bagaikan kharisma pahlawan. Sutardji menem-patkan kata dalam alegori puitik, di mana kata difungsikan dalam wujudnya yang asli tanpa beban pemaknaan simbolik atau metaforis. Kata tidak dinobatkan menjadi agung, tetapi muncul dalam suasana dan situasi purba. Kata pada Afrizal Malna dipilih dari lingkungan sehari-hari sehingga tercipta habitat keseharian yang memun-culkan sifat kerakyatjelataan dari kata itu sendiri. Kata-kata itu tampil dengan cerdas dan berwibawa, mencerminkan kecanggih-an sebuah dunia yang benar-benar modern. Modernisasi datang bukan dari pose luar dengan aksesori vocabuler dan hiperbolis, tetapi justru karena kesahajaannya mengangkat dirinya sendiri ke dalam kelas kualitas yang prima, tanpa dipercanggih, tetapi menjadi canggih secara alami.

Pembaruan terhadap pilihan dan kedudukan kata membawa pergeseran pada penempatan lirikus dari “aku lirik” kepada “benda-benda”. Afrizal Malna menggeser peran aku lirik kepada benda-benda yang menunjukkan bahwa muncul makna penting dari estetik aku lirik ke estetik benda-benda yang dipertaruhkan sederajat dengan kedudukan manusia. Pergeseran itu terasa membawa maknawi utuh seperti tampak dari beberapa baris yang mencerminkan kedudukan benda-benda sebagaimana telah didedahkan oleh Korrie Layun Rampan dalam Angkatan 2000-nya: “lalu bapak menyusun dirinya kembali, dari body lotion, styling foam, dan pil strong of night: Indonesia raya! Sumpah Pemuda! Pembangunan! Kenapa aku membangun kamar mandi seperti itu juga, siih....” (“Kisah Cinta Tak Bersalah”). “Ada anak-anak menari, menyanyi, dalam novel yang lain. Mereka memakai tubuh ibunya sendiri. Dan menemukan Sitti dalam tradisi yang lain, antara masa lalu yang melepaskan sepatunya dalam sekolah:// Sitti, ilmu pengetahuan itu, seperti novel penuh batu, dia yang tak ada, dan semangka” (“Sitti Nurbaya Berlari-lari”).

Pemilihan Afrizal Malna kepada materi benda, menurut catatan Korrie Layun Rampan (2000) memperlihatkan perbedaan yang mencolok dengan individualisme Chairil Anwar dan sifat esoterik Sutardji Calzoum Bachri. Biografi aku lirik pada Chairil mencerminkan pilihannya pada pemilahan terhadap habitat penyair yang menolak kehadiran habitat lainnya. Sutardji memang memasukkan benda-benda dan memfungsikan benda dalam katalogus puisi, tetapi karena sifat katanya yang bertujuan mendukung misteri atau mensugesti sifat-sifat arkhair, kata-kata itu berbeda fungsinya dalam estetik massal. Afrizal Malna dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dari interaksi massal, seperti diucapkan-nya sebagai kredo dalam Arsitektur Hujan, “Hiduplah orang-orang Lain Bersama Kita”. Dari kisan analogis “Pengantar Bersama Seorang dan Massa,” di buku itu Afrizal menunjukkan hubungan timbal balik antara “seseorang” dan “massa” dalam hubungan cerita sebuah kalung, “Saat mengenakan kalung itu, saya seperti mengenakan diri orang-orang lain pada leher saya. Saya bayangkan: Apakah melakukan sikat gigi setiap pagi dan sore, juga telah mengubah banyak hal pada tingkah laku saya. Ada identitas lain yang melapisi benda-benda di sekitar saya; seperti puisi lahir memperlihatkan adanya ikatan dan oposisi lain kemudian menyusun hubungan-hubungannya sendiri dalam ikatan ini. Walau masih sempat saya dengar di radio, berita kematian orang yang tidak saya kenal. Saya tahu kemudian saya telah berpikir bersama berbagai kejadian yang berlangsung di sekitar saya.... Dalam hubungan komunikasi seperti itu, ketika ada yang percaya bahwa dia adalah seseorang, saya segera melarikan diri ke tengah massa. Karena pada massa, saya bisa memenuhi identitas untuk tidak percaya saya hanya sebagai seseorang.”

Estetik massal ini merupakan penemuan Afrizal yang unik dalam sejarah sastra Indonesia, menunjukkan bahwa sumber keindahan itu memang berada di tengah massa. Karena itu, penyair ini menyatakan bahwa hal penting dari penciptaannya adalah menelusuri biografi teks, bukan biografi “aku lirik”. Biografi teks itu memperlihatkan perlainan dalam komunikasi verbal seperti yang dilakukan Chairil maupun Sutardji, karena Chairil dan Sutardji memilih menggunakan medium tradisional dalam sapaan wicara antarsubjek, meskipun terlepas dari imbangan manusiawi, yaitu menghidupkan benda-benda sebagai persona yang melahirkan sifat antropomorfisme.

Perubahan struktur tipografis membawa pembaruan pada komposisi yang dibangun dalam tanda-tanda dan penanda kompositoris. Estetika komposisi yang dibangun dalam pengaturan partisipasi benda-benda, peristiwa, pertanyaan, aku lirik, dan pikiran diaransemen didalam perfeksi yang sejajar dan objektif. Afrizal menyajikan bahan dan bentuk yang orisinal dalam tataran estetika Angkatan 2000 pada penciptaan aransemental, setelah ia berjuang melewati “Penyair Anwar” dan “Matahari Bachri” dalam Abad yang Berlari (1984) untuk sampai pada puisi-puisi instalatif yang kompositoris sebagaimana ditunjukkan oleh indeks dan sebagian puisi dalam Arsitektur Hujan (1995) seperti dua fragmen puisi berikut ini. “Harga cabe naik lagi, 1000 rupiah yang lalu. Berita-berita dari pemerintah jadi seragam penuh ancaman, bersama inflasi, dan tumpukan kredit bank. Siapa bermain di situ, dingin dan basah, penuh nyonya-nyonya mencukur kakinya di salon. Bicaranya seperti jam-jam tidurku yang berbusa.... (“Kesibukan Membakar Sampah”), “Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam kristal-kristal vitamin C, lembar-lembar fotocopy: Tolong cumi kering setengah kilo; Minyak goreng satu botol; bawang putih ....Dan tidur yang tersisa pada rambut seorang ibu, tiba-tiba melempar selimut: siapa yang telah menyusun pagi jadi seperti ini? Suaranya, seperti siaran berita yang menggebrak meja” (“Orang-orang Jam 7 Pagi”).

Perkayaan angkatan ini ditandai oleh meluas dan mendalamnya materi yang digarap para penyair, sehinga melahirkan wawasan estetik baru atau memperluas wawasan estetik yang telah ada, sehingga memperlihatkan pendalaman. Perkembangan yang menarik dari angkatan ini tampak dari perluasan dan pelebatan wawasan estetik Afrizalian. Pada puisi-puisi nirbait, pelebaran itu mencapai esensinyaa sebagai buah estetik baru pada Dorothea Rosa Herliany. Dengan pola terusan atau sungsang, puisi-puisi penyair ini mencapai kematangan dan klasisitas lewat bentukan nirbait yang konsisten, bahkan kadang tanpa enjambemen, sehingga mencirikan sebuah penemuan yang mempribadi. Dengan model kaleidoskop yang gerai puisi-puisi nirbait penyair ini meninggalkan benda-benda untuk memasuki peristiwa-peristiwa yang rawan, “kota pun terbakar gairah pertempuran, hutan-hitan/yang kabur, dan tari-tarian purba/cinta masih bersarang dalam jiwa yang meronta/dalam pintu luka yang menganga. Perihnya terangkum/dalam vas bunga, di atas meja taman/lalu cemas apa lagi yang akan datang....” (“Konser Matahari”).

Lebih lanjut Korrie Layun Rampan menyatakan, pergeseran estetik aku lirik kepada benda-benda diperluas oleh Agus R. Sarjono dengan menempatkan benda sebagai persona yang mandiri di dalam pemanusiaannya sebagai pribadi yang memiliki eksistensi sebagai manusia. Jika pada Afrizal Malna benda-benda berada pada posisi komunikan yang disuruh oleh komunikator untuk berbicara, maka pada puisi-puisi Agus benda-benda aitu menduduki posisi merdeka dan menyandang sifat antropomorfisme, sehingga masing-masing benda mampu hidup dan berkpmunikasi seperti layaknya manusia. Dalam sejumlah puisinya, misalnya dalam “Rendezvous” (bagian dari Kenduri Air Mata) memperlihatkan pengembangan estetik pemanusiaan benda-benda. “Kamu cantik, ucap padang golf pada bunga/rumput yang berayun diasuh angin. Bunga rumput/itu pun tertunduk. Dikenangkannya padian/sayur-mayur dan lenguh kerbau yang bergegas/pergi sebelum tiba pagi....” (“Rendezvous”), “Maukah kaudengar kisahku, rengek Boldozer/ sambil mencekal jalur-jalur pematang dan jemari sungai. Tidak/meskipun kami ingin. Kami sibuk. Lihatlah/ traktor-traktor dan surat keputusan dan pidato pengarahan/ telah tiba. Kami mesti berangkat sebelum terlambat/dan air mata menjadi jerat....” (“Pada Suatu Hari”).

Perkuatan dari pengucapan-pengucapan yang cerdas dan cerkas menunjukkan persambungan estetik referensial yang mempertaruhkan pengungkapan budaya lokal dan mancanegara untuk mencapai kepribadian keakuan puisi-puisi yang mandiri. Konvensi Chairil Anwar yang diperluas Goenawan Mohamad dan kemudian berkembang dari proses pembelajaran restoratif yang dinamik menghasilkan wacana-wacana kesemestaan yang membebaskan Barat dan Timur dari batas-batas geografis dan dunia pemikiran. Para penyair angkatan ini tanpa canggung mempertemukan berbagai unsur vital dari berbagai realitas yang menjadi trend pemikiran abad manusia zaman kita dan menyatakannya sambil dengan pengucapan estetik yang mencirikan penemuan zamannya. Dalam puisi-puisi itu, aku lirik bergeser menjadi aku massal yang mencerminkan peniadaan keakuan, sehingga puisi menjadi netral dalam pemberian tanda dan menyikapi penandaan dari lirik. Sementara keakuan yang masih dipertahankan mencerminkan peleburan dari elan vital individu kepada elan vital massa, benda, atau suatu idea. Puisi-puisi Arif B. Prasetyo, Cecep Syamsul Hari, Remmy Novaris D.M., Beni R. Budiman, Tjahjono Widijanto, Tjahjono Widarmanto, Dimas Arika Mihardja, Nenden Lilis A., Omi Intan naomi, Medy Lukito, Wowok Hesti Prabowo, Sitok Srengenge, Kusprihyanto Namma, Aslan A. Abidin, dan lain-lain menunjukkan sifat-sifat untuk pengucapan estetik yang demikian. Pergeseran dari aku lirik ke pengucapan epika memperlihatkan kuatnya arus kisah dari sifat lirik murni. Sajak-sajak Joko Pinurbo dan H.U. Mardiluhung menunjukkan penemuan estetika yang demikian, di mana tokoh dan peristiwa saling memperkuat dan memperebutkan posisi di dalam dramatisasi tragedi.

Pergeseran atavisme kepada pengucapan esoterik yang mencirikan warna lokal dieksploitasi secara menarik dengan inovasi baru sehingga mampu meniadakan sifat keasingan. Dengan membangun imaji-imaji tempat dan imaji-imaji budaya, serta berbagai peristiwa sakral, puisi-puisi warna lokal ini ke luar sebagai bagian estetik angkatan ini yang diucapkan dengan segar oleh Pieters Sombowadile, Iverdison Tinungki, Nurdin Supi, Putu Fajar Arcana, Tomy Tamara, I Wayan Arthawa, Tan Lioe Ie, dan lain-lain. Dalam puisi-puisi Oka Rusmini, warna lokal mencapai perluasan karena dibangun dari akar-akar tradisi yang mencerminkan kedudukan manusia di tengah alam dan budaya tempatan. Dunia esoterik tidak hadir dalam keterasingan, tetapi hadir secara meriah dan tajam karena ia tidak hanya menyajikan segi-segi eksotisme, tetapi justru menngasah kritik sosial yang mencerminkan kepedulian terhadap dunia nyata. Ia memperlihatkan perkembalian estetika Chairil Anwar yang membangun subjek atavisme di dalam rangkaian warna aku lirik, dengan memberi tambahan pada penting dan dilematisnya kedudukan wanita berkasta tinggi di tengah masyarakat yang sepenuhnya modern.

Ikhtisar sejarah puisi Indonesia modern yang telah dikemukakan, setidak-tidaknya menunjukkan hal penting. Pertama, estetika puisi Indonesia modern selalu mengalami perkembangan yang cukup dinamis. Kedua, dalam dinamika perkembangan estetika puisi Indonesia modern dari periode awal hingga perkembangan yang mutakhir tercatat tiga tonggak prestasi yang pernah digapai oleh penyair, yakni estetika Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, dan Afrizal malna beserta rombongan penyair lain yang secara umum dapat dikelompokkan ke dalam estetika mereka bertiga—tentu dengan keunikan, pergeseran, dan perkembangannya sendiri. Ketiga, sebagai sebuah ikhtisar, sejarah puisi Indonesia modern masih perlu terus digali oleh para mahasiswa sebagai bahan studi yang tidak pernah habis-habisnya. Keempat, dari ikhtisar ini mahasiswa dapat tergugah untuk lebih jauh menjelajah dengan cara mencari antologi puisi dari periode ke periode berikutnya, membaca dengan intensif, dan menemukan kebenaran sejarah dengan kerja keras dan keringat sendiri. Deemikianlah, lacak jejak tanda dan diri Nanang Suryadi dalam puisi-puisinya. Puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini, ternyata sebagai perpanjangan tangan konsepsi estetis perpuisian Indonesia. Makna perpanjangan di sini ialah bahwa Nanang Suryadi intens masuk pada wilayah yang telah pernah digarap penyair sebelumnya.

Demikian, salam budaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar